9 Teman Akrab

Langit malam yang bertabur bintang dan juga bulan sabit di angkasa membuat Dira tidak henti-hentinya melamunkan seseorang yang menemaninya menunggu jemputan saat senja tadi.

Angkasa Putra.

Nama singkat yang masih terngiang-ngiang dalam pikiran Nadira. Gadis itu duduk di sebuah kursi belajar di kamarnya yang ia letakkan dekat jendela kamar yang menampilkan bagian taman samping rumah. Membuatnya nyaman berpangku tangan pada bingkau jendela itu. Matanya menelisik hawa malam yang sejuk. Bibirnya tersenyum samar dengan deru napas teratur yang nyaman.

Nadira menggeleng pelan, "ah, apaan sih kok gue jadi mikirin mas Asa. Baru juga kerja sehari. Udah Diraaa udaahh.. mungkin gue cuman kagum kali ya.." gumamnya pada diri sendiri.

Terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya. "Raaa makan malem! Ayo keluar. Papa sama Mama udah nungguin tuh." Teriak Rendra.

"Iyaaa baaanngg." Teriak Nadira lebih kencang. Yang berada di luar kamarnya hanya menggeleng dan terkekeh kecil.

***

Selasa. Hari kedua Nadira bekerja di perusahaan Omnya sendiri. Hari ini ia memakai kemeja wanita polos berwarna merah muda yang dipadukan dengan rok span biasa berwarna hitam. Memakai arloji kesayangannya dan tak lupa flat shoes bludru warna hitam. Hari ini rambutnya ia kuncir ke belakang menjadi satu. Terlihat fresh dan tampak cantik dengan gaya pakaiannya hari ini.

Meisya dan Pradipta selalu memberi semangat pada Dira disetiap paginya. Juga Rendra yang selalu berusaha menjadi seorang kakak yang baik untuk Dira. Kali ini Rendra menjadi senang mengantar-jemput adiknya itu, katanya bisa bercanda dengan Dira saat di dalam mobil lebih menyenangkan daripada di dalam rumah.

"Makasih bang udah anter.." ucap Dira setelah ia tertawa karena lelucon receh yang sempat Rendra ucapkan.

"Haha iya.. abang kuliah dulu ya. Ntar jemput jam berapa?"

"Emm.. nanti deh Dira sms. Takutnya nanti lembur dadakan. Gimana bang?"

"Iya Ra.. gapapa ya udah ya.. sana masuk."

"Hehe okay abaanngg.." kemudian gadis itu mengecup singkat pipi kiri Rendra dengan gemas. Rendra hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku adiknya.

***

"Pagi Lisa.." sapa Dira ketika ia melewati meja resepsionis yang ternyata Lisa sudah berada disana pagi ini dengan senyuman anggunnya yang khas.

"Pagi juga Dira.. wah cantik banget hari ini." Puji Lisa ramah.

"Hehe makasih Lisa.. kamu juga cantik hari ini..ya udah aku duluan ya.."

"Oh iya iya silakan Ra.." ucap Lisa melambaikan tangannya.

Sesampainya di meja kerjanya Dira langsung duduk dan menyalakan komputer juga mencolokkan flashdisknya langsung agar data yang ia cari sudah masuk disana. Map yang ia bawa ia taruh meja.

Dira menghembuskan napas pelan dan menyandarkan punggungnya sebentar. Masih pagi. Dira tidak perlu terburu-buru menyiapkan dokumen.

"Pagi Dira.." sapa Dinda dengan senyuman hangatnya.

"Eh iya pagi juga mbak Din.."

"Kenapa kok lesu gitu pagi-pagi gini?" Tanya Dinda yang menghentikan langkahnya dan mendekati meja kerja Nadira.

"Ah gapapa kok mbak. Maklumin aja aku baru kerja pertama jadinya agak nggak fit aja nyiapin berkas banyak pagi-pagi gini.."

Dinda mengangguk paham. "Oh gitu.. pelan-pelan aja Dir.. kalo ada yang gak ngerti bisa tanya ke aku kok. Aku soalnya juga sering dampingin tugas admin sebelum kamu."

"Oh gitu.. oke oke makasih ya mbak Din.."

"Iya santai aja Ra.. ya udah aku ke meja ku dulu.."

"Iya mbak silakan.."

Ada perasaan tidak enak dalam benak Dira. Yaitu mengenai jabatannya. Jabatannya yang bisa dibilang diposisi atas dalam ruangan dan bidang ini. Posisi yang memantau anggotanya bekerja sehari-hari dan juga sebagai faktor utama untuk berkas-berkas yang butuh acc secara langsung.

Perasaan yang dirasakan Dira adalah ia yang paling muda dalam ruangan ini. Dan dalam ruangan ini hanya Dinda dan Karina yang akrab dengannya. Yang lainnya tidak, hanya menyapa singkat, memberikan berkas, memberitahu secara formal dan tidak ada basa-basi. Namun Dira berusaha tidak tegang berhadapan dengan lainnya. Dira tetap tersenyum dan menyapa mereka walaupun mereka belum bisa akrab dengan dirinya.

***

"Gila! Gue tadi hampir kehilangan arsip gue tau gak. Mana itu tentang pengeluaran minggu lalu. Eh ternyata keselip dan kecampur sama berkasnya surat-surat. Coba kalo gak ketemu gimana? Aish, bisa pusing gue ditanyain pak Brahma." Gerutu Karina saat berjalan bersama Nadira dan Dinda menuju kantin.

"Ah lo sih Rin kebiasaan gak buat copyannya. Udah gue bilang berkali-kali kalo lo itu pelupa masih aja gak mau dengerin." Ujar Dinda mengomel.

"Yah gue males sih buat copyannya. Soalnya jadiin kerja dua kali lipat dong." Keluh Karina.

"Mbak Karin ada-ada aja deh.. ya kan bisa di copy pelan-pelan. Yang penting kan kesimpen semua dan kalo ilang dadakan tinggal nge-print aja deh." Ujar Dira.

"Haha iya Dira lain kali gue gitu deh.." ucap Karina mengalah.

Mereka bertiga duduk dalam satu meja bundar dengan tiga kursi. Siang ini Lisa tidak bergabung karena ada tamu besar yang datang ke perusahaan dan ia harus menemani Diani untuk ikut menyambut tamu besar tersebut yang mempunyai niatan untuk menjalin kerja sama antar perusahaan.

Nadira diam saja menikmati makanan yang ia pesan. Enggan menyahut topik yang sedang Karina dan Dinda bahas. Dira bermain dengan pikirannya sendiri, hingga dua orang perempuan di hadapannya itu pembicaraannya terdengar samar di indera pendengarannya.

Ada hal lain yang diam-diam membuat pikiran Dira kemana-mana. Membuat matanya melirik kesana kemari mencari. Mencari entah, mungkin seseorang?

Dan lagi-lagi dalam pikirannya terpikir hanya satu nama. Angkasa Putra.

"Dira?" Panggil Dinda dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Dira.

Dira mengerjap, "eh? Apa mbak?"

"Ngelamunin apa? Itu makanan gak bakalan habis kalo ngelamun sampek sore disini." Sahut Karina dengan kekehannya.

"Ah.. anu.. hehe gapapa mbak aku lagi mikirin sesuatu aja." Jawab Dira.

"Mikirin apa sih? Baru juga dua hari aja udah ada pikiran..hahaha." ujar Dinda.

"Eh iya Dira kamu kemarin pulang jam berapa?" Tanya Karina.

"Ya sore lah mbak. Emang kenapa?"

"Gapapa sih. Sore jam berapa? Kamu kan kemarin keluar dari sini yang paling terakhir. Nah kemarin aku abis mampir di toko butik samping kantor itu yang dekat halte. Kayaknya aku kemarin lihat kamu deh sama Asa ya? Lagi ngobrol gitu kalian."

Dira menggaruk kepalanya gugup. "Ah iya.. itu mas Asa nemenin aku nunggu jemputan. Sama nanyain kaki ku masih sakit apa enggak.. ya gitu aja sih mbak."

Karina mengangguk paham. "Oh gitu.. kayaknya kalian udah kelihatan akrab aja.. mau aku sapa sih tapi udah keburu doi aku dateng jemput."

Dira langsung nyengir dibuatnya. "Ya sebelumnya pernah ketemu sama mas Asa di Mall. Dan aku gak sengaja numpahin es krim ke kemejanya. Dan baru nyadar kemarin pas ngobrol kalo aku sama dia sebelumnya pernah ketemu. Ya gitu doang sih mbak.."

"Eheemm!! Kayaknya ada yang kesemsem sama Angkasa nih. Kalo jelasin ceritanya kok pakek grogi segala kayak jelasin sesuatu yang ribet." Sahut Dinda karena saar Dira menjelaskan tadi suara Dira tidak normal. Melainkan disertai nada gugup dan tersenyum malu.

Nadira tambah gugup dibuatnya dengan berulangkali ia memainkan garpu dan sendoknya.

Sedangkan Karina diam, tidak ada reaksi apapun. Namun tidak ada yang tahu, bahwa dalam perasaan dan pikirannya yang paling dalam dan sangat dalam. Ada sebuah rasa kecil, rasa yang entah saat ini ia merasakan ketidaksukaan atas kedekatan Nadira dan Angkasa.

***

"Jika ada waktu, kemarilah. Sebentar saja. Temani senja di sore ini. Sekali lagi. Kita nikmati tawa dan canda bersama. Yang ditemani seduhan teh hangat dan beberapa roti kering dalam satu nampan kecil."

-Nadira Aisyah-

"Aku tidak tahu akan sebuah rasa. Sebuah rasa yang awalnya sulit ku pahami. Hingga rasa itu perlahan-lahan menampakkan dirinya. Rasa itu bernama, rasa takut kehilangan."

-Karina Adzana-

avataravatar
Next chapter