6 Menunggu Hari Kerja

"Ya gitu Del. Gue hari senin udah mulai kerja.." ujar Nadira selepas ia menceritakan pada Dela tentang pertemuannya dengan Brahma kemarin.

Mereka berdua sedang berada di sebuah kedai minuman dekat jalan raya yang menuju rumah Dela.

"Yah gitu yaa.. gue gak bisa ya ngikut lo?" Tanya Dela sendu.

"Maafin gue. Gue gak bisa bawa lo juga Del.. ya bukannya apa-apa. Gue aja dibawa masa iya gue bawa temen juga. Soalnya gue juga gak enak sama om gue, dia udah baik bawa gue dengan gampangnya."

"Ah iya gapapa Ra.. gue paham maksud lo. Ya emang gak bisa sih kalo udah dibawa tapi juga pengen bawa temen lain. Itu namanya gak ada sungkan-sungkannya." Ujar Dela.

Mereka terdiam sejenak menikmati minuman masing-masing. Namun Dira berujar lagi.

"Emang belum ada info lowongan lain ya Del?"

Dela menggeleng lemah.

Nadira jadi simpati terhadap sahabatnya itu. Akan tetapi di detik berikutnya Dira tersenyum tiba-tiba, seolah ia baru saja mendapat ide.

"Del. Gimana kalo lo kerja di perusahaan papa gue?" Tawar Dira ramah.

Kedua mata Dela berbinar. "Hah? Serius lo nawarin gue?"

"Iyalah gue serius. Emang lo mau masuk bagian apa sih pengennya?" Tanya Dira.

"Emm.. apa ya.. lebih pengen ke bagian marketingnya sih."

"Kalo gitu ntar malem gue coba tanyain deh ke papa gue." Ujar Dira senang.

Dela pun sangat merasa terbantu juga dengan tawaran Dira barusan.

*

"Jadi Dira milih kerja niiihhh?" Tanya Rendra dengan nada mengejek.

Nadira memanyunkan bibirnya sebal sambil menggerutu tidak jelas.

Pradipta terkekeh. "Sudahlah Ren.. jangan godain adik kamu mulu. Jangan kasih dia omelan yang gak bermutu."

"Iya iyaa paaa.. enggak. Rendra gak nyangka aja. Anak childish kayak dia? Kerja? Demi apa coba? Mana sifatnya introvert lagi! Paling kesana kesini juga sama si Dela itu. Cari pacar sanaaa.. masa mau pacaran sama sesama cewek sih!" Ejek Rendra.

Seperti biasa, Rendra mengejek karena bermaksud bercanda dan dari maksud ejekannya sebetulnya ingin membuat Dira sadar. Tapi cara Rendra saja yang salah dalam hal berkata, mungkin terlalu menjurus. Alhasil, Dira membanting sendok makannya dengan keras dan semua yang ada di meja makan pun kaget.

Terutama Rendra yang tadinya sedang terkekeh kecil langsung memilih diam dan berhenti mengunyah.

Nadira bangkit dari duduknya. "Denger ya kak! Aku emang introvert. Gak kayak kakak yang punya banyak teman dan selalu punya agenda kesana kemari tiap hari. Gue seperti ini ada alasannya kalo kakak mau tau!! Dan asal kakak tau, gak semua orang bisa dipercaya. Termasuk itu teman-teman selingkup, ataupun orang yang suka sama kita." Ujar Dira mengatur napasnya karena menahan untuk berteriak.

"Banyak dari mereka yang menyukai kita karena berbagai alasan. Misalnya because money, popular, beauty, and smart. Dan aku pernah disukai mereka dalam empat faktor itu. Dan aku gak suka itu. Kakak nggak usah ungkit-ungkit Dela. Karna cuman dia yang bener-bener berada dalam posisi seorang sahabat yang real. Camkan itu!" Sambung Dira tajam. Kemudian gadis itu tidak menghabiskan makan malamnya dan berlalu pergi ke kamarnya dengan langkah yang tenang.

Pradipta, Meisya apalagi Rendra. Ketiganya terdiam. Baru kali ini Nadira semarah ini. Mungkin karena Nadira ingin meluapkan semuanya karena sudah terlalu muak dengan berbagai olokan dari Rendra.

Pradipta langsung menatap putranya tajam. "Kamu cukup keterlaluan Rendra. Sudah dibilangin buat nggak ganggu Dira masih saja ngolokin yang enggak-enggak. Dia itu masih dalam masa beradaptasi dengan alur hidupnya, masa kamu tidak paham?"

"Ya maaf pa, habisnya Rendra juga kasihan sebenernya sama Dira. Tahun demi tahun dia lewatin gitu aja tanpa tau gimana rasanya punya banyak teman dan bisa hangout kemana pun. Juga punya pacar. Dira nggak gitu, dan Rendra pengen Dira itu berubah pa.. maa.. Rendra cuma pengen Dira itu juga kayak Rendra. Menikmati hidup namun punya tujuan."

Meisya menepuk bahu putranya sambil tersenyum. "Tapi caranya nggak seperti itu Ren.. bukan dengan mengolok-olok Dira hampir setiap hari. Kan kamu bisa ajak dia ngobrol sambil keluar. Kamu itu seorang kakak, Dira butuh sosok kakak yang baik di hidupnya. Bukan cuma peran kita sebagai orang tua aja. Coba kamu renungin, selama ini sikap kamu ke adik kamu cukup baik atau enggak?"

Perkataan Meisya begitu membuat Rendra merasa bersalah.

Pradipta tersenyum sejenak. "Habiskan makan malammu dan segera tidur. Besok kamu mulai magang lagi kan?"

Rendra mengangguk.

"Jangan terlalu dipikir berat. Malam ini biar papa yang bicara sama Dira. Menenangkan dia." Ujar Pradipta tenang dan mengakhiri makan malamnya.

Sedangkan Meisya mengangguk setuju. Rendra hanya menunduk dan masih merasa bersalah.

**

Tok tok tok tok!

"Masuk. Gak dikunci." Teriak Dira dari dalam kamarnya.

"Ngambek banget ya?" Tanya Pradipta.

Nadira yang tengkurap di ranjang empuknya sambil memeluk gulingnya hanya mendengus kecil.

"Rendra gak bermaksud begitu. Ada nasehat sebetulnya dari semua kata-katanya tadi." Ujar Pradipta lembut dengan mengelus rambut putrinya yang tergerai.

"Dira tau."

"Kalau tau kenapa ngambek?"

"Cara kak Rendra itu salah pa.. kalo dia mau nasehatin aku ya nasehatin aja. Jangan gitu hampir tiap hari. Kan pikiranku sendiri jadi mikirin sesuatu yang negatif ke diri aku sendiri."

"Iya. Rendra udah dibilangin sama Mama.. dia gak bakal begitu lagi. Mungkin besok dia bakal minta maaf sama kamu.."

"Nggak mungkin lah Pa..!!"

"Kenapa?" Tanya Pradipta heran.

"Asal papa tau aja. Kak Rendra itu manusia paling gengsi dalam persoalan meminta maaf. Dira udah hafal banget sama sikap dia pa.. Dira jadi gak suka dan benci bangt sama kakak Dira sendiri."

"Maafin saja kakak mu itu. Tau sendiri kan dia punya banyak teman. Mungkin dia terbawa dengan cara berbicara mereka yang terbilang 'enjoy' dalam hal apapun. Papa minta kamu jangan bilang benci lagi ya ke kakak kamu."

"Kenapa?"

"Tidak baik Ra.. dia kakak kamu. Kelak, dia pasti akan menggantikan posisi papa dalam hidup kamu. Kalian akan saling menjaga bukan? Sekali lagi, jangan katakan benci pada kakakmu sendiri. Itu tidak baik."

Dira menarik napasnya panjang lalu menghembuskannya lewat mulut. Kemudian gadis manis itu tersenyum dan bangkit dari posisi tengkurapnya menjadi duduk menghadap papanya yang duduk di pinggir ranjangnya.

"Iya. Dira gak gitu lagi. Makasih papaa.." ujarnya sambil berhambur masuk ke dalam pelukan hangat Pradipta.

"Yasudah tidurlah. Besok kamu harus belanja keperluan setelan kantor kan? Jadi ditemani mama?"

Nadira mengangguk semangat.

"Haha baiklah. Besok papa akan pergi dengan Rendra ke lapangan golf. Anak itu perlu diajari hal yang cerdas." Kekeh Pradipta pelan.

Nadira tertawa kecil. "Iya pa.. selamat malam papa.."

"Malam juga Dira.." kemudian Pradipta mengelus sekali lagi pucuk kepala Dira dan mulai melangkah keluar dari kamar putrinya.

*

*

*

"Pagi Rin.. aaiiihhh sabtu-sabtu gini masih aja disuruh masuk." sapa seorang perempuan berambut hitam lurus yang selalu dikuncir satu dan berponi.

Merasa disapa, Karina menoleh pada sumber suara yang ternyata pemilik suara riang pagi ini baru saja memasuki ruang kerja mereka. "Hai, pagi juga Dinda.. maklumin aja Din, namanya juga perusahaan swasta ya gini.." balas Karina dengan senyuman ramah.

Dinda langsung duduk di meja kerjanya dan sibuk menyalakan komputer juga mengeluarkan dokumen yang ia bawa dalam map.

"Nggak telat kok tegang banget mukanya Din?" Tanya Karina.

Meja dua perempuan itu berhadapan, namun dibatasi oleh sekat tipis di tengah mereka yang membatasi antar meja.

"Duh iya nih. Semalem gue abis begadang, terus gue lupa harus input data ulang tentang informasi pengeluaran dana bulan ini. Mana nanti di rapat rutin harus dibahas juga pengeluarannya. Bantuin gue dooonggg.." mohon Dinda dengan wajah memelasnya.

Karina terkekeh kecil. "Ya udah lo ketik dan cek ulang aja sesuai daftar bulanan rutin yang selalu lo catet itu. Ntar buat presentasenya gue yang edit abis itu di print deh." Ujar Karina ramah.

Dinda melongo sejenak. "Etdah! Baik banget sih looo.. makasih yaa.."

"Sama-sama Dindaaa.. kita kan sahabat.. eh iya, tumbenan lo begadang? Biasanya lo gak pernah nih tidur lebih dari jam 9 malam? Hayoooo ngapain?"

Mendengar itu Dinda menggaruk tengkuknya dan tersenyum malu. "Hehehe emm itu.. kan semalem gue galau nih, terus gue bikin story kan di whatsapp?"

Karina mengangguk tahu.

"Naahh.. si itu.. Akbar yang kerja di divisi Diklat komen tiba-tiba. Ya lo tau lah dia dari dulu emang berusaha deketin gue. Tapi entah kenapa semalem gue serasa gue emang mau welcome buat dia Rin.. dan akhirnya kita video call sampek jam 2 malem karena kebanyakan ngobrol tau gak. Ya gitu deh alhasil gue lupa ngerjain kerjaan gue sendiri juga lupa waktu." Ujar Dinda dengan raut wajah tak terbaca.

Karina tersenyum melihatnya, "ya gapapa lah buat enjoy aja. Siapa tau kalo kalian emang saling cocok kan bisa coba dijalanin dulu."

Dinda tersipu malu. "Ah apaan sih lo.. eh iya, Akbar rencana ngajakin jalan sama nonton film. Rencananya sih ngajakin kamu sama Asa. Mau gak? Malem minggu di minggu depan?"

Karina terdiam sebentar. Raut mukanya terlihat agak serius dan berpikir. "Din.. lo tau kan kalo gue ada hubungan sama mas Aris? Ya walaupun dia gak satu kerjaan dan gak satu tempat sama gue, gue gak bisa jalan sama cowok lain seenaknya. Kecuali, Akbar bisa nerima kalo gue ajak mas Aris aja."

"Mas Aris yang lo ceritain itu? Mas Aris yang kerja sebagai PNS kepala Humas di pemerintahan kabupaten itu?"

Karina mengangguk dengan senyumannya.

"Yaahh Rin.. lo tau sendiri Akbar sama Angkasa itu akrabnya kayak gimana. Yang pasti kalo lo ngajak mas Aris kan Akbar belum kenal jadinya nanti suasana kaku. Ini gak bermaksud apa-apa kok, ya cuman pengen ngumpul aja. Jangan terlalu mikir yang gimana-gimana lah Rin.."

"Enggah semudah itu Dinda! Kalian semua terlalu sering dan sengaja cocok-cocokin aku sama Angkasa kan? Jujur gue gak suka. Kita semua teman. Dan bagi gue Angkasa juga teman. Sama kayak lo ke gue. Akbar ke gue. Braga ke gue. Fandi ke gue. Angkasa sama kayak mereka. Gak bisa lebih. Gue udah gak bisa nahan ini lagi. Kalo kalian cocok-cocokin gue sama Angkasa lagi, gue gak akan mau kumpul sama kalian lagi." Ujar Karina lalu meninggalkan meja kerjanya.

Dinda bengong dibuatnya. Baru kali ini Karina semarah ini. Biasanya jika protes, perempuan itu tidak terlalu marah dan bicara panjang seperti tadi. Tidak. Karina benar-benar marah kali ini.

Dengan tangan sedikit bergetar karena kaget atas kemarahan Karina tadi, Dinda mengetikkan kalimat untuk dikirim pada kontak seseorang yang baru-baru ini dekat dengannya.

To : Akbar

Akbar, kayaknya Karina gak bisa ikut deh.. bilangin ke Angkasa juga ya. Gue takut, dia kali ini marah tauk!.

08:50 AM

Agak lega setelah Dinda mengirim chat itu pada Akbar. Dan mungkin rencana mereka untuk pergi berempat akan batal. Di antara Dinda maupun Akbar terselip rasa kecewa sedikit karena dibalik rencana itu, Akbar ingin melakukan pendekatan serius pada Dinda. Hanya saja, ia tidak percaya diri jika harus jalan berdua saja.

*

*

*

"Oh iya om, hari Senin nanti gak bakal telat kok sampai disananya."

"Iya. Jangan lupa data-data kamu yang om bilang tadi harus lengkap dan kamu bawa yaa.. sekalian sama hasil editing presentase tentang data mutasi yang sudah om kirim barusan melalu email kamu. Semoga kamu cepat menguasainya ya. Karena di bidang kamy nanti akan banyak bersangkutan dengan divisi Diklat dan Mutasi pegawai."

Nadira mengangguk. "Iya om Brahma. Dira paham kok, tenang aja.. Dira pasti bawa semuanya dan siap saat hari Senin tiba."

"Yasudah. Om yakin kamu bisa masuk dunia kerja dengan lebih baik. Baiklah, om akhiri telponnya ya.. assalamu'alaikum.."

"Wa'alaikumsalam.. salam buat tante Ratna sama kak Firlan ya om.."

"Iya Dira.."

Dira mematikan sambungan teleponnya dengan Brahma lebih dulu. Bibirnya tidak berhenti untuk tersenyum. Ini sudah hari Sabtu dan dua hari lagi ia resmi memasuki dunia kerja.

*

**

***

See you in next chapter

avataravatar
Next chapter