4 Memikirkan Jawaban

"Bar? Apa gue kelihatan tua amat ya?" Tanya pria berbadan tinggi namun terlihat berisi itu.

Yang dipanggil dengan sebutan 'Bar' menoleh lalu mengerutkan dahinya. Lelaki itu seumuran dengan pria yang mengajaknya bicara malam ini. Namanya Akbar.

"Emang kenapa bro?" Tanya Akbar yang memang tidak paham maksud temannya itu.

"Ya gue nanya aja. Apa gue ini emang kelihatan tua? Sampe ada yang panggil gue dengan sebutan 'pak'." Ujar pria tadi.

Akbar tertawa keras-keras sambil memegangi perutnya.

"Kenapa lo malah ketawain gue?" Tanya pria tadi.

"Hahahaha gue gak nyangka aja ada yang panggil lo dengan sebutan itu." Ucap Akbar dengan masih tertawa.

"Yeee lo malah ledekin gue. Gue tuh tadi pergi ke Mall beli satu novel, eh ketemu sama cewek yang menurut gue cantik. Dia nabrak gue dan kemeja gue kena es krimnya. Terus ya dia minta maaf gitu dan pergi. Tapi gue ketemu lagi pas dia kesusahan bawa belanjaannya waktu mau nyegat taksi ya gue bantuin. Ya terus gue sama dia berdialog sih sedikit tapi akhir-akhir dia panggil gue 'pak'. Kepikiran aja sama panggilan itu. Apa bener gue kelihatan setua itu?" Ujar pria tadi.

"Oh gitu ceritanya. Menurut gue emang sih lo kelihatan tua kalo dipandang sama cewek-cewek diluar sana. Karna lo punya jenggot tuh dikit di dagu lo. Jujur aja nih lo itu sebenernya ganteng Sa. Tapi lo kurang merawat diri sama perbaiki penampilan sih. Lo musti berubah nih. Udah deh mulai besok tuu jenggot lo cukur, rambut lo juga potong sana rapihin la sedikit biar kelihatan makin cerah. Gue jamin penampilan lo berbeda walaupun style biasa-biasa aja." Ujar Akbar memberi solusi.

Dan pria yang dipanggil 'Sa' oleh Akbar mengangguk paham dan berpikir bahwa besok pagi harus menuruti saran yang diberikan Akbar temannya.

Angkasa Putra. Lebih akrab dipanggil Asa, namun suka juga dipanggil Putra. Umur 26 tahun. Anak pertama dari tiga bersaudara. Lahir di keluarga yang cukup mampu dan berwatak baik. Penampilannya simple dan menarik. Kulitnya tidak putih namun bersih agak kuning langsat. Berbadan tinggi dan berisi. Dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan sebagai bagian dalam bidang mutasi pegawai.

Akbar menepuk bahu Angkasa yang terdiam. "Hei! Udahlah jangan terlalu lo pikirin bro. Santai aja. Umur lo tuh masih muda. Lo masih selalu bisa berkarisma. Nih ya sekarang mendingan lo kerjain berkas-berkas daftar mutasi dari bos lo. Besok kan akan dibahas di rapat pagi." Ucap Akbar mengingatkan.

Teman Angkasa yang bernama Akbar ini juga bekerja satu kantor dengan Angkasa, hanya saja beda bidang. Angkasa di bidang mutasi sementara Akbar di bagian Diklat layaknya yang mengurusi surat luar perusahaan untuk bisa mengadakan rapat bersama dan membuat agenda. Mereka sahabat sedari jaman SMK yang berjurusan Administrasi Perkantoran. Makanya, mereka sekarang bisa bekerja dalam perusahaan.

*

Nadira menggeliat malas. Lampu tidur yang berada di nakas dekat ranjangnya ia nyalakan. Dilihatnya jam alarm yang di letakkan di atas nakas itu menunjukkan masih pukul setengah 3 pagi. Pantas saja langit masih gelap yang Dira lihat dari kaca jendelanya yang tirainya dibiarkan setengah terbuka.

Dira mengerjapkan matanya. "Aahh Kamis." Gumamnya lirih. Terselip kegelisahan dalam benaknya. Lalu ia terduduk dan memposisikan bantalnya untuk sandaran punggungnya pada kepala kasur.

"Duh pagi nanti gue harus udah kasih jawaban ke papa deh. Gimana nih ya kok jadi bimbang sama berat gini." Gerutunya pelan.

"Kata Dela, kalo milih lanjutin S1 bakal stres karena tugas makin sulit dan bakal sering revisi skripsi ke dosen. Terus denger-denger, kalo milih kerja cepet-cepet gini bakal nyesel karena kerjaan kalo udah kerja makin jadi beban dibandingin PR anak sekolahan yang numpuk." Lanjutnya.

Dira mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gemas saking frustasinya.

"Aaarrrgghhh terus gue harus gimana? Padahal gue udah niat pengen kerja. Tapi sekarang kenapa gue ngerasa bahwa dunia kerja itu kelihatan horor.."

Gadis itu sangat bingung dengan pilihannya sendiri. Karema Dira takut, takut jika pilihan yang ia pilih nanti akan membuat dirinya sendiri sulit dan tidak berjalan lancar.

Sebenarnya Dira ingin melanjutkan kuliahnya di Bandung, jurusan Manajemen. Tapi Dira sepertinya sudah tidak ada niat untuk belajar lebih dalam lagi karena Dira ingin segera bekerja tanpa adanya beban skripsi yang menurutnya rumit untuk dikerjakan.

Dira memijat pelipisnya pelan. "Bodo ah. Gue pilih kerja aja kalo gitu. Ngelanjutin kuliah udah gak memungkinkan karena gue akuin kalo gue ini tipikal mahasiswi yang malas dalam tugas. Oke Dira! Lo harus semangat bekerja. Entah apapun itu resikonya. Gue harus lebih semangat dalam menghadapi tugas kantoran nantinya. Oke seorang Dira memilih untuk bekerja." Ucapnya semangat sambil mengepalkan kedua tangannya ke udara dengan senyum ceria.

Namun, di detik kemudian gadis itu kembali merenung lagi. Yah, ini memang pilihan berat baginya karena menyangkut masa depan.

*

Dira memilih beranjak dari kasurnya dan menyibak tirai kamarnya yang langsung menampilkan pemandangan taman samping rumahnya. Jendelanya juga ia buka sehingga angin dingin pagi hari langsung menyapa kulit lembutnya. Gadis itu agak merasa kedinginan dengan menggosokan kedua tangannya pada lengannya.

Pukul 04.20 pagi. Dira mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat subuh dan berdoa kepada-Nya agar diberi petunjuk apakah ia akan memilih kerja atau melanjutkan s1 saja. Itu benar-benar membuat kepala Dira serasa pusing sekali. Ya maklum saja, mungkin bagi kebanyakan orang pilihan seperti ini tidaklah rumit. Tapi bagi Dira ini rumit karena berbagai faktor yang memang ia inginkan mendukungnya untuk bekerja daripada kuliah lagi.

Ya. Namun tetap saja. Dira tetaplah Dira, sekali bingung ya sampai nanti masih bingung.

Selesai sholat perasaan Dira mulai membaik dan kembali memikirkan keputusannya. Gadis itu tidak seperti biasa setelah sholat akan tidur, kali ini ia melangkah keluar kamar dan membuka pintu utama lalu duduk sendirian di teras rumah yang disediakan dua kursi rotan dan satu meja disana.

"Tumben sudah bangun?"

Suara bariton itu mengagetkan Dira setelah akhirnya ia bernapas lega bahwa papanya juga baru saja keluar menuju teras dan mendekatinya.

"Eh papa. Iya Dira udah gak ngantuk aja."

Mendengar jawaban Dira, Pradipta paham apa yang sedang dipikirkan Dira saat ini.

"Jangan terlalu dipikir berat Dira. Papa kan juga tidak memaksa kamu untuk kuliah ataupun kerja. Hanya saja papa seperti ini karena kamu tidak baik hari demi hari hanya di rumah saja." Ujar Pradipta lembut dan mengusap pucuk kepala putrinya pelan.

"Iya pa Dira paham kok bagaimana maksud papa."

"Dulu, papa juga bimbang seperti kamu. Namun papa memikirkan apa dampaknya untuk diri sendiri kelak, dan papa berakhir seperti ini dengan kalian. Itu adalah hal terpuas papa yang pernah papa jalani dari nol hingga sekarang."

Nadira menoleh menatap papanya yang sedang berbicara. Gurat-gurat sederhana yang terlihat sekali disamping kedua mata papanya ia amati. Setiap tahun usianya bertambah, dan entah mengapa Dira memikirkan keputusannya haruslah benar.

"Memang harus ya pa, kejar gelar sepuas-puasnya terus abis itu bisa kerja enak?" Tanya Dira.

Pradipta terkekeh pelan. "Cara berpikirmu itu salah. Memang banyak lulusan berprestasi dan bisa bekerja enak dan mapan. Tapi, skill bisa mengalahkan itu semua."

Dira mengernyit. "Maksud papa?"

"Dira, semuanya nggak harus sukses melalui gelar ataupun nama besar. Tidak juga harus dengan orang itu harus pintar. Cukup kamu mempunyai kemampuan dan berpikir cerdas juga niat, kamu akan tetap mendapatkan kesuksesan di jalan itu asalkan kamu selalu giat."

Dira merasa bahwa sekarang firasatnya baik untuk mengambil sebuah keputusan.

"Mau memilih kerja ataupun kuliah sama sekali tidak beban untuk kamu nak.. pengetahuan luas selalu bisa dicari melalui sumber apapun. Papa juga tidak mempermasalahkan kamu harus kuliah atau kerja. Itu semua keputusan kamu. Satu hal yang perlu kamu ketahui dalam dunia kerja maupun kuliah, adalah bagaimana kamu berusaha dan kamu lengkapi dengan berdo'a." Lanjut Pradipta.

Dan setelah berkata seperti itu Pradipta mengelus pucuk kepala Nadira lagi lalu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah untuk menyeduh kopi panasnya sendiri.

Nadira masih termenung dalam diam dengan perdebatan pikirannya. Sampai matanya tidak sadar bahwa cahaya mentari yang menyambut pagi sudah terlihat begitu indah di depan mata.

***

"Bro, lo pagi ini ada sambutan rapat ya?" Tanya pria berperawakan jangkung dan berisi.

"Iya nih. Surat diklat ada juga yang baru dateng. Kayaknya gue bakalan sibuk setiap pagi deh dalam minggu ini." Jawab temannya. "Eh gila gue baru sadar lo beda banget pagi ini." Sambungnya ketika melihat temannya ada yang berbeda.

Si jangkung tadi terkekeh. "Beda gimana sih Bar? Gue ya gue. Angkasa. Gak ada yang beda." Jawabnya terkekeh kecil.

"Gak. Lo beda banget sumpah. Nah gini dong lo cukur jenggot, rambut lo rapihin kan keren. Jadi kayak masih mahasiswa deh lo." Ujar Akbar memuji.

Angkasa terkekeh lagi. "Iya dah gue percaya. Ya udah gue naik ke lantai dua dulu ya."

"Yoii." Ucap Akbar sembari melambaikan tangannya pada Angkasa.

Angkasa merasa bahwa pagi ini sangat bersemangat. Memakai setelan dengan warna yang lebih cerah. Ia pagi ini memakai kemeja polos warna maroon dan celana jeans warna biru laut juga dilengkapi snikers warna maroon juga. Pantas saja temannya Akbar memujinya seperti mahasiswa.

Memasuki ruangan kantor bagian mutasi, Angkasa langsung menuju meja kerjanya yang memang letaknya dekat jendela dan bisa memandang jalanan luar gedung. Bibirnya tersenyum, entah kenapa hari ini ia ingin tersenyum. Bahkan, semua teman kantor pun banyak yang bertanya-tanya, tumben sekali seorang Angkasa sangat ramah dan menyapa semuanya.

*****

A/N

Halo

Terimakasih kalian yang sudah membaca cerita ini sampai chapter ini yaa.. makasih juga yang sudah ada menyimpan cerita ini di perpustakaan kalian. Semoga selalu mengikuti chapternya dan selalu suka

Saya pemula, kalau ada typo komen ya

Makasih juga yang baru jadi viewers walaupun masih dikit

Bagi yang suka boleh share cerita ini

Thank you

See you🤗

avataravatar
Next chapter