19 Singa kelaparan

Ke esokan harinya, andre bersiap-siap untuk berangkat menuju bandara di antar sopir keluarga meri. Tapi meri tak juga menunjukkan batang hidungnya. Andre merasa sedikit kecewa karena rencananya akan batal tanpa melihat wajah kekasihnya itu.

Di kamar, meri kalang kabut karena terlambat bangun. Dia melihat jam dan segera masuk ke kamar mandi. Setelah bersiap-siap meri segera turun berharap andre belum berangkat.

Andre sudah berangkat 10 menit sebelum meri turun. Dia sangat kecewa mwndapati kenyataan itu. Dia berjalan keluar rumah tanpa semangat di jiwanya. Menunduk lesu menatap kakinya yang berjalan terseret karena kekecewaan. Tiba-tiba meri melihat sepasang kaki didepannya, dia berharap itu andre, tapi mendapati itu adalah kakak sulungnya, wajah meri semakin lesu.

"kakak, apa ini?" tanya meri gugup melihat kunci mobil ferrari nya berada di telapak tangannya.

"aku memberimu izin untuk mengemudi sendiri, aku sudah bicara pada ibu. Ayah akan keluar pagi ini dan kembali jam 10 malam karena akan ada rapat direksi di hotel baru. Kau harus kembali sebelum ayah berada di rumah. Mengerti" ujar randy sambil mengisyaratkan peringatan dengan telunjuknya.

"kakak, kau memang yang terbaik" meri memeluk kakaknya itu dan segera melesat menuju ke garasi mobilnya. Mengeluarkan mobilnya dari pekarangan dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara yang dapat membangunkan ayahnya.

Meri melaju di jalanan yang masih lengang karena memang pada jam 6 pagi jalanan masih belum ramai oleh kendaraan. Meri berusaha mengejar ketertinggalannya, berharap andre belum chek in. Karena akan terlambat jika dia sudah masuk ke dalam bandara.

Setelah berada di depan ruang chek in bandara, meri menghubungi andre masih dengan nafas yang ter engah-engah karena berlari dari tempat ia memarkirkan mobilnya.

"aku mohon angkatlah" pinta meri gugup sambil menatap layar informasi untuk melihat status dari jadwal tiket andre.

📞"halo"

📞"kau ada di mana?" tanya meri setelah mendengar andre menjawab telfonnya.

📞"di belakangmu" jawab suara di ujung telfon namun terdengar dekat.

Meri berbalik dan menemukan tubuhnya sudah berada dalam pelukan seseorang. Meri mendongak melihat wajah orang yang memeluknya. Wangi parfum andre sudah cukup baginya untuk bisa tahu bahwa itu adalah kekasihnya. Dia hanya ingin menatap wajah orang yang dicintai dan sebentar lagi akan meninggalkannya.

"aku pikir sudah terlambat" ujar meri masih memeluk andre dengan erat.

"tidak, aku tahu kau akan datang jadi aku tidak masuk dengan segera" jawab andre. "gadis nakal, kau mengingkari janjimu lagi" sambung andre sambil membenamkan dagu nya di puncak kepala meri.

Meri "...."

"pertama kau menyetir mobilmu sendiri, kedua kau menemuiku di bandara tanpa ada yang menemanimu. Ketiga, kau berlari kemari. Kau sudah berjanji tidak membuatku khawatir tapi berlari kemari itu tidak baik untuk kepalamu. Kau harus lebih berhati-hati" andre melepaskan pelukannya dan melihat wajah kekasihnya itu.

"maaf, aku takut terlambat dan tidak melihatmu pergi" meri menundukkan kepalanya.

Andre melihat itu dengan gemas. Dia mengacak rambut meri kemudian mengangkat dagu wanita itu agar menatapnya.

"ini bandara, jangan coba-coba menciumku" meri gugup menatap andre dengan posisi siap untuk saling berciuman. Pipinya merona laksana kepiting rebus.

Andre hanya tersenyum dan menarik meri menuju ke parkiran mobil.

"kau mau kemana, pesawatmu akan segera berangkat" ujar meri setelah mereka berada di dalam mobilnya.

"tiketku jam 7 malam bukan jam 7 pagi" jawab andre kemudian membawa meri ke sebuah hotel yang berada tak jauh dari bandara.

Melihat andre memesan sebuah kamar, hati meri menjadi tidak karuan. Dia sangat senang bisa berlama-lama dengan kekasihnya, tapi membayangkan apa yang akan terjadi seketika membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun mulai berkeringat.

Andre menggenggam tangan meri dan merasakan betapa basah telapak tangan kekasihnya itu.

"aku berubah pikiran. Aku akan mengambil pembayaran atas pelanggaranmu hari ini" ucap andre setelah berada di kamar dan menutup pintu yang berada di belakangnya.

"tapi, kenapa kau terburu-buru?" meri mulai gugup saat andre membaringkannya di kasur.

"aku berpikir semalaman dan susah tidur, aku bahkan harus meminta bantuan kakak sulungmu agar rencana ku ini berhasil. Aku tidak ingin kau menyesali apa yang tertunda lagi" andre menindih tubuh meri dengan posisi sedikit menyamping.

"apa kakakku tahu kau akan membawaku chek in di hotel?" tanya meri sambil terus menatap andre yang mulai membuka kancing kemejanya.

"menurutmu?" tanya andre balik, tanpa menatap meri dan fokus pada kancing kemeja meri yang setengahnya sudah terbuka.

"ku rasa kau membohonginya. Kau mungkin hanya mengatakan ingin membawaku berjalan-jalan" sindir meri meremehkan andre.

"aku tidak berbohong. Aku mengatakan mau menghabiskan waktu sepanjang hari ini bersamamu sebelum kembali ke new york. Menghabiskan waktu untuk apa dan di mana, aku tidak mengatakannya dan kakak mu pun tidak bertanya apa-apa" jawab andre dengan senyum liciknya membuat meri hanya bisa tersenyum.

"aku selalu tahu kau bisa melakukan apapun yang kau mau, tapi aku tidak tahu kau memanfaatkan kakakku untuk tujuan pribadimu" ujar meri dengan nafas yang mulai tidak beraturan mendapatkan kecupan lembut andre di perut dan dadanya yang sudah terekspose.

"aku akan melakukan apapun jika itu untukmu" ucap andre di sela-sela kegiatannya yang terus mencumbu tubuh meri.

Meri merasa tubuhnya mulai tegang seperti terbakar. Tanpa dia sadari, dia juga menikmati permainan andre. Meri membelai kepala andre dan terkadang menjambak rambutnya, namun dengan rasa yang berbeda. Bukan kemarahan atau kejahilan, tapi birahi yang membuncah seakan memenuhi rongga dadanya.

"tidakkah menurutmu... Ahh. Ini terlalu cepat" meri masih terus berusaha menahan andre agar tak melakukan hal yang berlebihan, walau bibirnya seakan menghianati akalnya.

Akal meri menolak hal itu, karena usianya yang terbilang muda. Namun bibirnya terus saja mengeluarkan desahan menikmati permainan itu.

"tidak. Ini waktu yang tepat" ujar andre menatap meri dan membelai wajah kekasihnya itu.

"aku belum siap" meri membalas tatapan andre dengan tatapan ragu dan masih ada kecemasan.

Andre tak menghiraukan perkataan meri dan mulai mencium bibir meri dengan penuh gairah. Meri memejamkan matanya untu menikmati ciuman itu, namun seketika pikirannya kembali mengingat kejadian saat jackob dengan kasar memaksakan ciumannya.

Meri mendorong andre hingga ciuman itu terlepas. Andre menyadari kilatan kecemasan dan ketakutan di mata meri.

"cepat atau lambat, kita harus menghapus kejadian itu. Pelan-pelan saja" andre menatap kekasihnya itu dengan perasaan iba. Andre memikirkan hal ini dari semalam. Jika dia tidak bisa menghapus kenangan itu dari benak meri saat berada di Indonesia. Kenangan itu akan tetap muncul ketika mereka akan memulai semuanya di New York.

"aku tidak akan memaksamu jika kau belum siap" lanjut andre lagi.

Meri merangkul andre dan mendaratkan ciuman bertubi-tubi di bibir pria itu. Andre membalas ciuman itu dengan lembut dan tetap mengontrol nafsunya agar tak terkesan kasar. Dia harus sangat berhati-hati agar meri tak mengingat kekerasan yang sudah dialaminya.

"bantu aku menghapusnya" bisik meri di telinga andre saat ciuman itu berakhir.

Andre tidak menjawab, hanya tersenyum dan kembali mendaratkan ciuman di bibir wanitanya itu. Kemesraan itu berlangsung lama dan sangat erotis dengan suara desahan yang terlepas dari bibir wanita cantik itu.

Mereka kini sudah berada dipuncak birahi dan siap untuk menuntaskannya. Meri membantu andre melepaskan pakaiannya hingga tak tersisa sehelai benangpun.

"apa menurutmu ini tidak terlalu pagi untuk adegan sepanas ini" ujar meri menatap andre yang sudah mau masuk ke intinya.

"apa kau mau menundanya?" tanya andre lembut karena tak ingin melakukannya jika wanitanya itu memang belum siap.

"aku sudah merusak banyak syarafku karena menahannya waktu itu, hari ini aku tidak mau merusaknya lagi" jawab meri sambil tersenyum malu kepada andre.

"aku akan memperlakukanmu dengan baik meri" ujar andre yang mengerti maksud dari perkataan meri.

Mereka kembali bergelut dengan kenikamatan yang mereka rasakan. Namun saat andre akan mulai masuk, tiba-tiba telfonnya berdering. Merusak keintiman yang terjalin. Keromantisan itu kini berubah menjadi canggung karena bunyi itu.

"angkatlah. Kita bisa melakukannya nanti" ujar meri sambil mengecup lembut bibir andre yang masih berada di atasnya.

Andre merasa emosinya memuncak sampai mendidihkan otaknya. Hampir saja dia menyelesaikan semuanya jika saja telfonnya tidak mengganggu. Dia merasa ingin melempar ponselnya itu hingga tak berbentuk lagi.

"pergilah mandi, aku akan mengurus orang yang mengganggu kesenanganku" ucap andre dengan nada memerintah kepada meri dengan lembut namun kemudian berubah menjadi tatapan yang mematikan. "aku bersumpah akan memberinya pelajaran" ujar andre lagi yang kemudian menghempaskan tubuhnya di samping meri dan meraih ponselnya yang berada di meja samping ranjang.

📞"halo"

📞"andre, ku dengar kau akan kembali ke New York hari ini?" ujar seorang pria di seberang telfon yang tak lain adalah boy.

📞"kau bocah sialan. Apa kau menelfon hanya untuk bertanya hal itu?" rutuk andre dengan suara lantang.

"jangan terlalu emosi, kita bisa melanjutkannya nanti" ujar meri lirik di telinga andre sambil mengelus dada pria itu agar lebih tenang.

Boy yang mengetahui ada seorang gadis di samping andre memahami situasinya. Walau suara meri seperti berbisik, suara itu tetap terdengar jelas.

📞"sepertinya aku menelfonmu diwaktu yang salah. Lanjutkan aktivitasmu aku akan menelfon lagi nanti" tanpa menunggu persetujuan andre, boy langsung menutup telfon. Tak ingin mendengar sahabatnya itu marah karena dia tahu sifat andre yang tidak suka di ganggu saat melakukan sesuatu yang penting.

"wah, pria ini benar-benar cari masalah. Dia menelfonku di waktu yang tidak tepat sekarang mematikan telfon tanpa meminta persetujuanku" andre menatap layar ponselnya denga frustasi.

Meri menatap ekspresi diwajah andre itu dengan tersenyum. Merasa konyol dengan apa yang terjadi. Dia kemudian hendak berdiri sebelum akhirnya di tahan oleh andre.

"kau mau kemana?" tanya andre

"aku mau mandi, aku merasa gerah setelah bertempuran tak berujung tadi"

"kalau begitu, aku yang akan menuntaskan pertempuran itu" ujar andre yang sudah menarik meri kembali terbaring di ranjang. Andre mencium tengkuk leher meri untuk mengembalikan gairah wanita itu.

"andre, aku hilang selera" ujar meri jujur namun tak berusaha menolak perlakuan andre.

Mendengar hal itu, andre semakin marah kepada sahabatnya yang sudah mengacaukan rencananya. "pria itu, ku pastikan memberinya pelajaran setimpal" rutuk andre kesal. Sambil menatap meri setengah memohon.

"tidak tidak. Ucapkan terimakasihku padanya. Dia menyelamatkanku dari singa yang kelaparan, aku pasti mengingat kebaikannya itu" ujar meri masih menatap andre yang setia menunggu meri berharap mereka bisa menuntaskannya kali ini. "kau sudah merencanakan ini sejak semalam tapi kau bahkan tak menggunakan pengaman. Jika terjadi sesuatu kau pikir itu akan mudah" meri memperingatkan andre, jika tadi ponsel andre tak berdering, mungkin saat ini benih itu sudah berada di dalam tubuhnya.

Andre mencium dahi meri, menatap tajam wanita itu. "kau bukan pacar selingan untuk mengisi waktu luangku. Jadi aku tidak akan memakai benda itu. Jika terjadi apa-apa, aku tidak masalah jika menjadi ayah di usia muda" ujar andre santai. Belum sempat senyum dibibirnya mekar sempurna, dia sudah harus meringis karena meri memukul kepalanya dengan keras.

"kata-katamu barusan apa tidak ada yang salah?" tanya meri dengan pandangan membunuh.

"apa aku melakukan kesalahan lagi?" menjadi suatu kebiasaan bagi andre menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"aku semakin tidak yakin kau seorang sarjana psikologi, di tambah lagi julukanmu sebagai seorang jenius yang selesai dengan nilai cumlaude. Itu lebih mirip kau membayar dewan kampus agar memberimu gelar itu" sindir meri.

"aku tidak bisa berpikir logis pada kondisi seperti ini" ujar andre dengan nada manja.

"hari ini cukup sampai di sini. Kita akan lanjutkan lain waktu"

avataravatar
Next chapter