79 Berpisah

"apa hari ini kau kuliah pagi?"

"tidak, hari ini aku libur" jawab meri sambil menikmati sarapannya.

Tersisa setengah jam lagi sebelum mereka berangkat ke bandara internasional boston. Letak bandara yang lumayan jauh membuat mereka harus bergegas.

Setelah menghabiskan sarapan, andre terus saja memeluk meri seakan tak ingin di pisahkan. Ini akan sama sulitnya saat meri yang pergi meninggalkannya. Meri sampai merasa suaminya itu berubah menjadi anak kecil yang selalu ingin dimanja. Wajah andre terbenam di dada meri, menikmati aroma mint yang menyegarkan dari tubuh wanita di pangkuannnya itu.

"apa kau yakin bisa pergi ke beijing dengan sikap seperti ini?" goda meri yang melihat andre masih terus mengeratkan pelukannya dan bermain di belahan dadanya. "aww. Itu sakit, jangan menggigitnya" protes meri.

Kulit putih mulus itu seketika berubah menjadi kemerahan karena gigitan andre. Dia seakan memberikan tanda bahwa tubuh itu adalah miliknya dan tidak boleh di ganggu.

"sepertinya tidak akan mudah, tapi ini harus" jawab andre dengan senyuman ceria di wajahnya.

"berjanjilah satu hal padaku"

"apa?"

"berusahalah untuk bisa kembali sesulit apapun itu" meri mengulurkan satu jari kelingkingnya kepada andre.

"aku berjanji" andre mengaitkan jarinya di jari kelingking meri. "dan kau berjanjilah, untuk menungguku sampai sebuah kabar datang kepadamu"

"oke. Aku berjanji" mereka menutup janji itu dengan sebuah kecupan singkat seakan itu adalah stempel kebesaran mereka.

Suara bel berbunyi dengan tempo yang teratur.

Ilham dan rafa sudah berada di luar pintu saat meri membukanya. Mereka tampak mempesona dengan cahaya karimatik di wajah mereka seperti biasanya.

Awalnya meri menawarkan untuk mereka masuk terlebih dahulu tetapi karena mereka harus berlomba dengan waktu, rafa menolak masuk dan meminta agar mereka sebaiknya segera berangkat.

Dengan setelan kemeja biru langit tanpa dasi dengan celana kain formal, andre semakin tampak dewasa dan bersahaja. Entah mengapa, meri merasa suaminya itu lebih tampan dari hari biasanya. Lengan kemeja yang di gulung setengah memperlihatkan lengan bawahnya yang begitu kekar. Terpesona, itulah kata yang tepat bagi meri saat itu.

Mereka berempat berjalan menuju mobil andre terparkir. Mobil ilham hanya bisa memuat dua orang, karena itu mereka menggunakan mobil VW andre. Setelah memasukkan mobil ilham ke dalam area parkir apartemen, merekapun melaju di jalanan yang padat dengan aktivitas kendaraan.

Selama di perjalanan, tidak banyak percakapan yang terjalin, itu karena meri merasa ingin bungkam dan lebih memilih menikmati suasana kebersamaan dengan suaminya. Ilham yang berperan sebagai pengemudi sedangkan andre dan meri yang duduk di belakang seperti tuan dan nyonya.

Sesekali terdengar candaan dari mulut andre tapi kemudian berakhir tragis. Tak ada yang merespon leluconnya karena rasa cemas akan segera berpisah. Meri melingkarkan tangannya dilengan andre kemudian menyandarkan kepala di bahu andre.

Setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam, mereka akhirnya tiba di boston logan internasional airport. Di depan terminal keberangkatan, meri masih sibuk menahan rafa dan andre agar masuk setelah beberapa menit lagi.

"meri, cepat atau lambat kami juga tetap akan pergi" rafa menasihati adiknya itu.

"kakak, kembalilah secepatnya. Jaga dirimu baik-baik" meri memeluk rafa kemudian menggenggam tangannya. "tolong jaga suamiku dan bawa dia pulang bersamamu"

Ketiga pria yang mendengar itu hanya membalas dengan tersenyum merasa tergelitik saat kalimat itu terucap dengan ekspresi manja dari seorang wanita sekuat meri.

"bukankah seharusnya kau yang meminta suamimu itu yang menjagaku?" jawab rafa dengan ekspresi yang di buat cemberut.

"kalian harus saling menjaga"

Andre menarik meri ke dalam pelukannya karena melihat istrinya itu berusaha keras untuk terlihat kuat dan tidak menangis.

"ini tidak akan lama jadi berbasabarlah dan jadilah gadis baik selama aku pergi. Turuti semua perkataan kakakku selama itu tidak menyulitkan hubungan kita"

"Mmm, aku akan mengingatnya" meri tersenyum menatap andre yang masih bisa berpikiran negatif kepada ilham.

"dan ingat perkataanku. Saat aku terlambat datang, akan ada paket untukmu sebagai hadiah dariku. Jadi pastikan kau menerimanya, juga teruslah menempel dengan ilham seperti saat kau masih sekolah. Dia akan menjagamu untukku"

"apa yang kau katakan?. Kau seperti tidak akan kembali lagi"

"aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu yang buruk terjadi"

Kalimat suaminya itu seakan ini adalah pertemuan terakhir mereka. Meri yang sejak di mobil berusaha untuk tak meneteskan air mata kini sudah tak bisa membendungnya lagi.

Melihat air mata istrinya, perasaan andre semakin kacau. Sejak semalam ia seakan ragu meninggalkan meri di cambridge, di tambah dengan tangisnya saat ini membuat dia merasa berat melepaskannya.

"jangan menangis. Itu akan membuatku semakin sulit melangkah masuk ke bandara" hanya isak tangis yang terdengar dari bibir wanita dalam pelukannya itu. Andre berusaha menenangkannya dengan membelai rambut istrinya itu dan menghujaninya dengan ciuman.

"dia akan baik-baik saja. Pergilah selesaikan masalah ini dengan cepat dan kembalilah untuk menjemputnya" ilham menepuk bahu adiknya itu sebagai bentuk dukungannya.

"Mmm, jika aku tak kembali tepat waktu atau bahkan tidak kembali. Tolong jaga dia untukku, dia mungkin akan menyulitkanmu di awal tapi bersabarlah lebih lama. Dia akan membaik dengan sendirinya" andre melepas pelukannya dan menatap meri yang tangisnya semakin menjadi-jadi mendengar suaminya menitipkannya pada ilham jika ia tak bisa kembali.

"istriku ini adalah kekuatanku, jadi jangan menangis karena itu benar-benar menyulitkanku. Lihat wajahmu sudah memerah, matamu bahkan bengkak. Berhentilah atau kau akan kesulitan melihatku pergi karena matamu sudah bengkak terlebih dahulu" andre tertawa menampakkan deretan gigi putihnya.

Meri membalas dengan senyum yang ia paksakan. "kalian harus kembali dan aku akan menunggu"

Sebagai perpisahan, andre mencium bibir dan kening istrinya itu kemudian berjalan menjauh dan hilang di telan keramaian. Meri masih berdiri di depan pintu mencari punggung suaminya itu tapi tak juga menemukannya.

"mereka akan baik-baik saja. Kita hanya bisa berharap yang terbaik, aku juga sudah meminta seseorang untuk mengawasi keadaan di sana. Jadi tenanglah dan jangan terlalu memikirkannya"

Di mobil, meri menatap layar ponselnya. Menunggu pesan dari suaminya yang baru beberapa menit berpisah darinya. Ini pertama kalinya ia melepas andre pergi jauh setelah resmi menjadi pasangan suami istri. Rasanya sangat berbeda saat ia melepas andre sewaktu di Indonesia karena saat itu mereka masih berstatus pacaran.

"mengapa dia tidak mengirimiku pesan" oceh meri frustrasi menatap ponselnya yang tak juga menampilkan pesan dari andre.

"itu baru beberapa menit yang lalu dia menciummu oke" jawab ilham melihat meri terus saja mengoceh karena andre tak membalas pesannya.

"baru beberapa menit dan aku sudah merindukannya"

"itu terlalu berlebihan"

"kau belum menikah jadi tidak tahu rasanya. Berhenti mengkritikku oke" meri menjadi kesal karena ilham yang tidak bisa memahami perasaannya.

Tak ingin berdebat lagi, ilham menghela nafas panjang dan menggerutu dalam hati. 'ucapannya tepat sekali, baru beberapa menit dan istrinya benar-benar menyulitkan'

Di bandara, andre menatap layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi pesan dari meri. Dia seakan sedang di teror oleh istrinya sendiri.

đŸ“©"aku masih di ruang tunggu. Sepuluh menit lagi jadwal pemberangkatanku"

Bukan balasan pesan yang masuk tetapi panggilan video. Andre sangat tersanjung melihat meri seakan sulit bernafas jika tak berada di dekatnya. Hari-hari sudah menjadi lebih baik dan berharap masalah ini selesai dan tak akan ada lagi gangguan untuk hubungan mereka.

"ada apa?" andre bertanya dengan nada yang datar dengan sengaja ingin menggoda istrinya itu.

"kau bertanya ada apa? Tentu saja aku merindukanmu" balas meri menampakkan wajah cemberut dengan bibir yang berkerut.

Tawa lepas terdengar di telinga andre. Bukan tawa meri melainkan tawa ilham yang merasa geli dengan sikap meri sejak mereka berpisah di bandara.

Meri melemparkan pandangannya dengan tatapan heran dan merasa tidak senang mendengar tawa itu.

"biarkan dia tertawa. Nanti saat dia sudah memiliki istri, dia akan menertawakan dirinya sendiri karena berubah menjadi makhluk yang berbeda" ujar andre menenangkan meri.

"aku benar-benar akan menertawakannya jika saat itu tiba" balas meri dengan sengaja membesarkan volume suaranya agar terdengar jelas oleh andre yang masih belum bisa menghentikan tawanya.

Kini giliran andre yang tertawa melihat ekspresi meri yang membulatkan tekad untuk mengingat kejadian saat ini.

Sebesar apapun keinginan andre untuk tetap melihat wajah meri, pada akhirnya jadwal penerbangannya telah tiba dan ia harus mematikan ponselnya selama ia berada di pesawat.

Walaupun belum merasa puas, melihat andre beberapa menit melalui telfon video membuat rindunya sedikit terbayar.

Tak masalah jika mereka harus berpisah untuk sementara dan membayar waktu yang terbuang dengan kebersamaan tanpa ada gangguan dari kerikil kecil lagi ke depannya.

avataravatar
Next chapter