91 Anak siapa itu?

Ke esokan harinya, meri terbangun dengan perasaan lega seakan tak ada lagi yang mengganjal di hatinya. Dia sudah menemukan serpihan yang pernah hilang berkat soni.

Setelah menyiapkan diri dan mengabari keluarganya di bangka bahwa dia menunda kepulangannya karena harus ke paris mendadak. Mereka mengerti karena begitulah sikap meri sejak dulu. Dia seperti burung dara yang terbang bebas tapi tahu jalan pulang jadi mereka tak terlalu mengkhawatirkannya.

Pukul tujuh, meri dan junior yang masih terlihat mengantuk berjalan keluar dengan koper besar terseret mengikuti langkah pengendalinya.

"ibu, aku masih mengantuk" ujar junior sambil menggosok matanya dengan tangannya.

"kau bisa tidur di pesawat nanti. Oke"

"apa kita akan ke tempat oma sekarang?" tanya anak itu memeluk erat leher ibunya yang menggendongnya.

"bukan. Kita akan menemui oma setelah menemui orang lain. Dia seorang laki-laki yang bisa mengajakmu bermain. Dia dulu selalu mengajakmu berbicara. Tapi junior pasti tidak ingat, ibu saja baru ingat"

Tak ingin menanggapi lagi, junior membenamkan wajahnya di bahu meri dan memeluknya erat.

Ibu dan anak itu sukses membuat segala pandangan terpusat kepada mereka. Staff resepsionis bahkan mencubit pipi junior yang masih memeluk erat leher meri.

Mereka berangkat ke paris dengan penerbangan pertama di jam 7.45 pagi. Jarak hotel dan bandara yang dekat memudahkan mereka untuk check in tepat waktu.

Anak kecil berkulit putih dengan pipi yang terlihat seperti bak pao itu duduk manis di kursinya. Meri selalu memantau jika junior merasa ada yang salah dengan perasaannya atau jika mungkin dia merasa ketakutan.

Selama perjalanan, meri merasa gugup, bahkan lebih gugup dari saat ia melangsungkan pernikahan dengan andre dulu. Dia merasa seperti akan bertemu kekasihnya yang telah lama dia rindukan.

Setelah memberi tahu alamat tujuannya, taksi itu membawa meri menjauh dari bandara paris itu. Bangunan dengan rangka besi kokoh dan artistik memanjakan mata meri.

Tak kalah, junior juga menatap gedung-gedung yang berada di pinggir jalan melalui kaca jendela mobil. Untuk ke amanan, meri memegang pinggang junior untuk menahan jika terjado guncangan mendadak.

Perumahan dengan taman luas di hiasi air mancur serta kolam ikan di bawahnya itu nampak familiar. Meri mengingat sedikit demi sedikit kenangannya di istana ini.

Mereka tiba pukul 5 waktu paris. Dengan anggun bersama junior yang berjalan memegang tangan meri, mereka berjalan masuk setelah security itu mengenali wajah meri. Meri meminta semua orang yang ia temui merahasiakan kedatangannya hingga ilham sendiri yang akan melihatnya.

Meri tahu jadwal ilham karena sudah lebih dulu berkoordinasi dengan bibi grace yang mengatakan tuannya biasa pulang sekitar pukul 10 malam. Ilham selalu melewatkan jam makan malamnya sejak kembalinya ia dari cambridge. Pelayan yang bekerja di rumahnya merasa khawatir tapi tak bisa berbuat banyak.

meri beristirahat sejenak di ruang keluarga dengan junior yang begitu antusias melihat rumah sebesar istana inggris itu. Merasa rindu, meri segera terjun ke dapur tanpa memperdulikan rasa lelah yang ia alami.

Lagi dan lagi, hanya bibi grace yang bisa mengerti ucapannya. Koki lain harus menggunakan jasa bibi grace untuk bisa mengartikan bahasa mereka.

Setelah makan malam, barulah meri meminta seorang anak buah ilham untuk membawa tasnya ke kamar lamanya. Junior sudah kelelahan dan ingin segera tidur.

"nyonya, kamar itu belum sempat di bersihkan. Kami akan membersihkannya dulu" ujar bibi grace

"tidak perlu bibi grace. Biar aku yang membersihkan, debunya pasti tak seberapa. Aku akan menidurkan junior di kamar ilham dulu setelah itu kau boleh membantuku merapikan kamarku"

Dongeng anak kecil mulao terdengar mengisi ruangan kamar dengan nuansa kelam itu. Junior akhirnya tertidur pulas setelah seharian berada di pesawat.

Jam sudah pukul sembilan lewat saat meri dan bibi grace sudah selesai membersihkan kamar itu. Bibi grace segera turun untuk membuat air hangat sedangkan meri masuk ke kamar mandi dan memanjakan tubuhnya yang merasa gerah dengan air dingin.

Para petugas keamanan dan pekerja di rumah itu berjejer rapi di dekat pintu menyambut tuan mereka. Sangat disiplin dengan kerapian tingkat tinggi.

Tubuh tinggi semampai berkulit putih dengan rahang tegas serta tubuh yang sedikit mengalami penurunan bobot itu melangkah masuk dan segera menaiki tangga menuju kamarnya.

Bibi grace berdiri kaku dengan kutut gemetar menunggu teriakan kemarahan tuannya itu. Sejak saat meri tak lagi di rumah, ilham melarang siapapun masuk ke kamarnya saat ia tidak berada di rumah. Dan saat ini, tubuh mungil tak berdosa dengan wajah polos itu terbaring di kasur kebesarannya.

"Bibi grace" teriak ilham yang di ikuti dengan hembusan nafas berat dari wanita yang namanya di panggil itu.

Mendengar suara teriakan keras itu, junior terbangun dan terkejut menatap ke arah ilham yang berdiri di luar pintu menatapnya. Meri yang saat itu baru saja selesai memakai pakaian dengan rambut masih terbungkus handuk berlari keluar kamar.

Dia baru saja berencana memindahkan junior ke kamarnya setelah ia mengeringkan rambut, tapi ia kalah cepat dengan teriakan ilham yang akhirnya membangunkan anak kecil yang kebingungan itu.

"tuan. Itu.." bibi grace menjelaskan terbata, suaranya hilang tercekal di tenggorokannya.

"siapa yang berani masuk ke kamarku saat aku tidak ada di rumah. Dan anak siapa itu?" bentak ilham.

"aku" suara meri begitu jernih hingga amarah yang setinggi gunung menjadi runtuh ke dasar palung di lautan.

Suara itu sangat familiar di telinga ilham bahkan setelah dua tahun lebih mereka terpisah tanpa komunikasi. Ilham menatap wanita dengan piyama hitam motif monokurobo melangkah mendekatinya dengan tergesa-gesa.

"tuan. Aku.." bibi grace masih berusaha menjelaskan tapi tangan meri memegang pundaknya untuk menenangkannya seolah mengatakan dia yang akan mengatasinya.

"pergilah, aku yang akan menjelaskannya" ujar meri.

Sebagai bawahan yang patuh dan setia dengan tuannya, bibi grace tak bergerak sedikitpun. Ia melihat ke arah ilham, meminta persetujuan apa dia harus pergi atau tetap tinggal.

"pergilah" kata ilham dengan lembut.

Tak menunggu sedetikpun, wanita itu langsung berbalik badan dan pergi dari hadapan dua manusia yang sedang bernostalgia itu.

"ibu" panggil junior dari dalam kamar yang melihat ibunya berdiri bersama seorang pria di depan kamar.

Ilham membalikkan badannya menatap anak kecil yang duduk di kasurnya itu. Sangat manis dengan piyama putih yang di kenakannya. Ilham merasa ada sesuatu yang hangat mengaliri tubuhnya yang sudah dua tahun terasa dingin hanya dengan menatap wajah anak lelaki itu.

"apa kami membangunkanmu?" meri menghampiri junior ke dalam kamar tanpa meminta izin terlebih dulu kepada sang pemilik.

Junior berdiri memeluk leher ibunya itu, membelakangi ilham yang sudah masuk ke dalam kamar melihat kejadian itu.

"apa kau terkejut?" tanya meri sambil mengusap punggung anaknya itu.

Junior mengeratkan pelukannya sambil membenamkan dagunya di pundak meri.

"aku akan memindahkannya ke kamarku. Kau sebaiknya beristirahat" meri mengangkat junior yang masih bergelantungan di lehernya seperti seekor kera.

Tangan hangat dan kekar itu menahan lengan meri agar tak bisa melewatinya. Mereka saling melempar pandangan yang hanya bisa di mengerti oleh hati yang terpisah lama dengan badai kerinduan di dalamnya.

"apa anak ini junior?" tanya ilham dengan suara bergetar tak sanggup menahan gelombang bahagia di hatinya.

Meri hanya mengangguk.

"biarkan aku menggendongnya" pinta ilham mengulurkan tangannya akan meraih tubuh anak itu.

"ilham, dia sedang terkejut dan merasa takut. Tunggulah sampai ia tenang dulu" penolakan itu bukan karena meri semata-mata tak ingin ilham menyentuh junior. Dia hanya tidak ingin memaksa junior karena akan berdampak buruk pada kesan pertamanya untuk ilham. Hubungan mereka bisa saja tidak akan harmonis jika dipaksakan.

Dengan kecewa, ilham menurunkan tangannya dan menggigit bibir bawahnya menahan air matanya.

"aku akan menidurkannya dulu. Pergilah mandi, jika tidak lelah ayo kita bicara"

Ilham mengangguk kemudian masuk ke kamar mandi. Sementara itu, meri kembali ke kamarnya menenangkan junior dan menidurkannya setelah menjelaskan apa yang baru saja dia dengarkan.

Sebagai anak dan ibu yang memiliki keterikatan batin yang kuat, junior dengan cepat mengerti dengan apa yang di katakan ibunya. Diapun tidur setelah menitipkan ucapan selamat malam kepada uncle tadi.

Junior memanggilnya dengan sebutan uncle, di hati meri dia ingin junior memanggilnya papa. Tapi bukan hal buruk memulai dengan sebutan uncle.

Suara pintu di buka terdengar di telinga meri dan ilham sudah berada di balik pintu. Meri berdiri menyelimuti junior kemudian keluar untuk berbicara dengan ilham. Agar junior tak terganggu, ilham meminta meri berbicara di kamarnya.

"sudah lama. Bagaimana kabarmu?" tanya ilham tenang. Setelah mandi, ia sudah mulai bisa mengendalikan emosinya.

"aku baik. Bagaimana denganmu?" meri sedikit canggung tapi juga merasa kecewa.

Dalam benaknya sepanjang jalan ia memikirkan reaksi ilham yang akan memeluknya saat melihatnya. Tapi pria di hadapannya itu bahkan tampak tenang tanpa raut terkejut sedikitpun.

"tidak terlalu baik" jawab ilham

"kenapa? Apa kau sakit?"

"apa kau pikir aku akan baik-baik saja tanpamu" kalimat itu seperti godaan manis dari mulut laki-laki. Tapi karena itu berasal dari mulut pria dengan wajah tembok es, itu terdengar seperti keluhat, kemarahan dan kerinduan bercampur aduk.

"maafkan aku"

"apa kau kembali kepada andre?" sejak awal melihat meri hanya itu yang ingin di ketahuinya.

Meri menggelengkan kepalanya, menunduk lemah dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "apa kau sudah menikah?"

Tubuh meri di tarik keras ke dalam pelukan ilham yang sudah menahannya sejak pertama kali dia melihat meri. "apa kau pikir aku bisa menikah saat kepala dan perasaanku cuma bisa mengingatmu" ilham menghujani puncak kepala meri dengan ciuman kerinduan.

"mengapa tidak muncul di hadapanku?" meri membalas pelukan ilham dengan melingkarkan tangannya di pinggang pria itu.

"aku sudah bilang tak akan mengejarmu. Aku akan membiarkan kau yang mengejarku. Tak ku sangka butuh waktu selama ini"

"maafkan aku" meri meminta maaf kedua kalinya karena melupakan kenangannya bersama ilham.

"apa sesulit itu mengingatku? Kenapa lama sekali untuk mengingat semuanya?"

"aku belum mengingat semuanya. Aku hanya tahu dari soni" jawab meri.

Ilham melepaskan pelukannya menatap meri. "lalu mengapa kau memelukku dan menangis seperti ini" dengan lembut tangan ilham menghapus jejak air mata di wajah meri. "bagaimana jika soni berbohong?"

"otakku memang belum mengingatmu dengan jelas. Tapi hatiku sejak awal mengenali suaramu. Aku hanya tergerak karena perasaanku mengatakan kau yang selalu memanggilku waktu itu"

"memanggilmu? Kapan?" tanya ilham

"aku belum ingat kapan, tapi itu sepertinya saat terakhir aku melihatmu kemudian koma"

"gadis ini. Kau terhitung lamban mengingatku dengan otak jenius mu itu. Tapi setidaknya hatimu masih merasakan kehadiranku, itu sudah cukup" keduanya tak berhenti saling mengeratkan pelukan satu dan yang lainnya. Hingga mereka lupa bahwa mereka memiliki junior yang seharusnya mereka perhatikan.

avataravatar
Next chapter