3 Sedikit Saja Sedihnya

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam, silakan masuk"

"Oh Pak RT. Silakan duduk Pak. Tumben pagi-pagi sudah kemari"

"Begini Bu. Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan. Namun sebelumnya, Kinan dan Kenan ada di rumah?"

"Ada Pak. Kinan dan Kenan masih di kamar. Bagaimana ya Pak?"

"Alangkah baiknya hal ini jangan disampaikan ke anak-anak dulu. Terutama Kinan yang masih kecil. Kapan Pak Taufik terakhir kali memberikan kabar kepada keluarga?"

"Oh, kira-kira sekitar satu minggu yang lalu. Sebab, ia memberi kabar kepada kami jika memang mudah mengaksesnya".

Jawab Sri Rihana dengan penuh kegelisahan.

"Begini Bu Sri. Kami mendapat info dari bagian laut, bahwa kapal yang dipakai untuk berlayar Pak Taufik mengalami hilang kontak, dalam hal ini diduga kapal tersebut mengalami keelakaan. Sampai sekarang kepastiannya belum bisa kami dapatkan"

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, bagaimana bisa Pak. Ya Allah, Mas Taufik, gimana keadaanmu di sana"

Sri Rihana tak kuat menahan ari matanya. Namun ia tetap berusaha tegar menghadapi semuanya.

"Berdoa saja Bu. Jangan lupa jaga anak-anak. Nanti kalo ada apa-apa pasti saya kabarin. Jika Ibu membutuhkan bantuan, maka saya dan warga di sini akan membantu Ibu"

***

Datang dan pergi silih berganti. Dunia adalah tempat perpijakan sementara. Kenyataan tentang kehilangan memang sangat menyakitkan. Namun mau bagaimana lagi, kenyataan dalam hidup hanya perlu diterima dan diikhlaskan.

Kinan harus menerima kenyataan bahwa Ayah yang sangat disayanginya itu pergi. Kecelakaan kapal di dasar laut merenggut nyawa Taufik, ayah Kinan dan Kenan. Huru hara tangis air mata bergelimang di antara mereka. Keputusasaan akan kelangsungan hidup dialami oleh Kenan. Di usia remajanya, ia kehilangan arah pulang, yaitu Ayah kandungnya sendiri.

Sri Rihana resmi menyandang status janda. Kepergian suaminya membuat setengah kehidupannya hilang. Namun ia tetap tegar dan bersabar. Ia memeluk dan menopang Kenan juga Kinan untuk tetap bersemangat menjalani hari-harinya tanpa seorang Ayah.

***

Menginjak usia 7 tahun, Kinan memasuki bangku sekolah. Tubuhnya masih terlihat mungul, namun parasnya terlihat dewasa. Kinan memiliki bentuk wajah yang mirip dengan Ayahnya. Gambaran kehidupan sosok Taufik bisa terlihat dalam sosok Kinan.

"Ibu, Kinan mendapat nilai 100 dari ulangan matematika. Kinan bahagia sekali, pasti Ibu dan Ayah juga bahagia kan?"

Riang Kinan sepulang dari sekolah.

"Pasti Nduk, siapa yang nggak bahagia punya anak yang cerdas. Semangat terus ya Nduk, belajar yang rajin"

Sambung Ibu Kinan.

Kinan tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di kelasnya, Kinan selalu menjadi juara. Guru-gurunya sangat bangga kepada Kinan. Selain cerdas, ia juga rajin membantu Ibunya. Tiap hari, sembari bersekolah ia juga menjualkan barang dagangan ibunya, makanan dan jajanan ia jajarkan di kantin sekolah. Seusai pulang, Kinan menyetorkan hasil jualannya kepada Ibunya. Begitu berulang-ulang sampai Kinan lulus sekolah dasar.

"Kinan ingin melanjutkan sekolah negeri Bu. Supaya Kinan mendapatkan banyak pengalaman lagi. Setahu Kinan, kalo kita sekolah negeri maka biayanya tidak terlalu tinggi. Nantinya bisa membantu kemampuan Ibu".

Kinan membuka dialog bersama Ibunya yang sedang duduk di teras rumah.

Ibunya hanya membalas kalimat Kinan dengan senyuman. Kelembutan senyumnya menyejukkan hati anak-anaknya.

Setelah mereka menatap langit yang sama. Ibunya mengalihkan pandangannya kepada Kinan.

"Anak Ibu sudah besar. Sudah pandai memikirkan banyak hal. Baiklah, kalo Kinan mau untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah negeri. Ibu bakal ngedukung kok. Nanti setelah Kinan selesai Ujian Nasional, kita pergi survei sekolah yah. Tapi syaratnya Kinan harus dapetin nilai yanh bagus. Supaya ringan untuk masuk ke sekolah negerinya"

Seorang Ibu, tak akan mau melihat anaknya sedih. Dengan penuh tanggungjawab dan usaha, Sri Rihana optimis untuk mewujudkan impian Kinan. Sama halnya dengan Kenan, Kinanpun berkesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan yang ia inginkan.

"Bu. Kinan beruntung memiliki Ibu sepertimu. Sri Rihana, sosok yang tak pernah marah ku lihat. Memiliki jiwa yang teduh, dan menyejukkan. Bahagiaku melihat senyummu. Kinan berjanji akan menjalankan perintah serta nasihat dari Ibu"

Sambung Kinan dengan tenang.

Sepeninggal Ayahnya, tak terasa sudah menginjak 3 tahun. Ayahnya sudah tenang di alam sana. Tenang dengan dunianya sendiri. Kenan tumbuh mendewasa, ia mirip dengan Ayahnya. Mau bekerja keras, dan tidak mudah mengeluh. Kenan melanjutkan pekerjaan Ayahnya menjadi seorang nelayan. Bagi Kenan, melanjutkan perjuangan ayahnya adalah sebuah pengabdian seorang anak untuk orang tuanya.

"Kenan, kamu boleh berlayar. Namun, jangan lupa akan arah pulang. Ibu dan Kinan mengharapkan yang terbaik untukmu"

Pesan Ibu ketika Kenan akan berangkat berlayar.

Hari demi hari Kinan lalui dengan hidup berdua bersama Ibunya. Untuk menopang hidupnya, Ibunya membuka warung kelontong. Kinan membantu Ibunya menghidupi usahanya tersebut.

***

"Kinan besok sudah mulai aktif di SMP Negeri Bu. Semoga di sinilah awal kesuksesan Kinan. Terimakasih Ibu dan Mas Kenan yang sufah mendukung Kinan sejauh Kinan melangkah".

"Tentunya, Kinan sayang. Ibu akan terus mendukungmu tanpa henti. Kamu sudah masuk sekolah negeri, maka ibu harap kami bisa memanfaatkannya dengan baik. Banyak loh anak-anak yang ingin masuk sekolah negeri, namun mereka tidak lolos. Kinan termasuk anak yang beruntung".

Hal-hal baik mengiringi langkah Kinan untuk menggapai citanya. Ibu dan kakaknya mendukung penuh atas apa yang Kinan lakukan. Walaupun Kinan berada dalam keluarga yang sangat sederhana, namun Ibu dan kakakmya tetap saja mengusahakan yang terbaik untuk Kinan. Kinan menjadi sebuah harapan besar di tengah keluarganya.

Di sekolah, Kinan memiliki teman. Parasnya yang anggun menjadikan sorot mata yang melihatnya terkagum. Kinan sangat ramah, hingga banyak orang mengenalnya. Namun memang benar, tak semua di sekeliling kita menyukai kita. Kadangkala ada saja yang membenci kita. Sama halnya dengan Kinan, kebaikan apa saja yang sudah Kinan lakukan seakan hilang di mata Indri, teman satu kelasnya. Indri menanam kebencian yang tak tahu apa sebabnya. Bisa jadi iri kepada Kinan, atau hal-hal lain.

"Kinan, kamu pasti yang ngambil uang di dompetku? Tadi pagi, uang di dompetku tersisa 100.000. Setelah aku cek, uang itu udah nggak ada. Awas aja ya Kinan, kalo emang itu terjadi. Akan kulaporkan ke wali kelas kita"

Tegur Indri di waktu istirahat sekolah dengan penuh amarah.

"Indri, mana mungkin aku berani membuka tas mu, bahkan sampai dompetmu hanya untuk mencuri uang. Ibuku tak pernah mengajari itu, dan aku nggak mungkin melakukannya. Perbuatan itu dilarang, lagian mau untuk apa?"

Jawab Kinan dengan tenang. Karena bagi Kinan, tak ada kebenaran yang harus ditakutkan. Di posisi itu, Kinan merasa tidak bersalah, dan Kinan tetap merasa tenang.

"Ye elah nggak usah ngelak. Aku tau kok kamu butuh uang. Ayahmu udah nggak ada, kakakmu berlayar dan nggak pernah pulang. Ibumu hanya mengandalkan warung kelontong. Mau alasan apa?"

"Mungkin kamu belum cermat mencarinya Ndri. Perhatikan dulu kamu nyimpan uang dimana. Jangan buru-buru menuduh orang. Maaf ya, aku harus segera pulang. Aku nggak bakal ngaku dan nerima tuduhan itu. Karena aku bukan pelakunya".

Kinan memberi penegasan sembari bergegas pulang.

avataravatar
Next chapter