webnovel

Pindah Apartemen Baru

"Hari yang melelahkan, silakan beristirahat di apartemen baru anda, Nona Lorna."

"Kau mau kemana? apa kau langsung pulang?" tanya gadis berpakaian serba hijau.

"Tidak, saya harus pulang. Beberapa hari lagi saya dan istri saya akan melaksanakan upacara aqiqah untuk putri pertama kami. Maaf kalau saya terburu-buru dan tidak bisa merayakan penghargaan yang anda dapat malam ini," jawab pria yang menjadi lawan bicara gadis serba hijau.

"Kau akan melaksanakan aqiqah putri mu?" gadis bernama Lorna itu terkejut, dia melongo. "Kenapa tidak katakan padaku? apa kau sudah menyiapkan semuanya?"

"Baru menyiapkan hewan yang akan dipotong di upacara aqiqah. Untuk dekorasi, dan perlengkapan acara masih hendak dipersiapkan."

Lorna, baru saja pulang dari sebuah acara penghargaan bergengsi di sebuah studio pertelevisian Indonesia. Solois yang sedang naik daun dengan sebidang prestasi berkilau. Hari ini-tepatnya pada hari penghargaan itu dilaksanakan- sang manajer harus segera kembali ke rumahnya untuk membantu istri dan keluarga menyiapkan acara aqiqah.

Tak bingung bingung, Lorna segera menelepon sebuah jasa layanan aqiqah terpercaya di daerah Jabodetabek, meminta agar jasa layanan itu segera membantu acara aqiqah anak si manajer Lorna. Lorna tidak ingin manajernya-orang yang selalu membantu Lorna-kesusahan dan tak ada yang membantu.

"Maaf aku tak bisa ikut membantu mu dan datang ke sana sekarang. Tapi aku sudah mengirimkan jasa layanan untuk segera membantu kalian, dan aku sudah menyewakan gedung untuk acara aqiqah anak kalian. Tapi ku pastikan aku akan datang di acara mu nanti," ujar Lorna.

"Astaga Nona, anda terlalu berlebihan menolong saya. Saya sudah berhutang banyak pada anda, tidak perlu merepotkan diri anda sampai sejauh ini," sanggah manajer Lorna.

"Tidak perlu cemas, aku dengan senang hati membantu mu." Lorna tersenyum dan memeluk manajernya, sudah dianggap seperti kakak kandung, tak ada kecanggungan di antara mereka berdua.

Lorna tetap profesional, meski manajernya pria dan usia mereka tak terpaut jauh, Lorna tidak pernah menyimpan rasa. Begitupun sebaliknya, mereka sama-sama ingin menjaga karier Lorna agar mereka berdua sama-sama punya penghasilan demi memenuhi penghidupan masing-masing.

Lorna mengantarkan sang manajer sampai pintu apartemen, tidak bisa berlama-lama karena jarak rumah si manajer yang jauh.

"Hati-hati Yaris, aku titip salam untuk istri dan keluarga mu." Lorna melambaikan tangannya, mengucapkan salam perpisahan sebelum Yaris-manajer Lorna-pulang dari sana.

"Terimakasih Nona, saya pamit pulang. Selamat malam, tetap hati-hati Nona. Sebab anda tinggal sendirian. Kalau ada sesuatu tolong kabari saya secepatnya."

Lorna mengangguk setuju, tidak ragu dan tidak menolak. Lorna hanya punya Sean sebagai orang yang dipercayainya. Sosok yang sudah menemaninya dari awal berkarier sampai sesukses ini. Lorna tak pernah bisa melupakan jasa manajernya tersebut.

Kembali merasa sepi, pindah ke apartemen mewah sendirian tidak dapat mengobati rasa kesepian Lorna. Lorna memang sukses, tapi hidupnya monoton. Tapi setidaknya Lorna punya banyak pengalaman hidup yang berharga dan menyenangkan.

"Vas bunga ini aku letakkan di sini saja," gumam Lorna.

Lorna sudah menyelesaikan kegiatan berberes rumah. Setelah menata rapi semua perabotan yang tadinya berhamburan, Lorna akhirnya bisa menghela nafas lega dan duduk santai di atas sofa sebelum akhirnya mandi dan tidur.

"Ada kotak lagi?" Lorna mengeluh, dia menghela nafas kasar. Bangkit lagi dari sofa empuk miliknya dan kembali membereskan sisa-sisa kekacauan setelah kepindahannya di apartemen tersebut.

Tidak bisa disebut apartemen, ini terlalu luas. Khusus orang konglomerat yang punya harta ratusan miliar. Lorna yang sudah sangat sukses akhirnya bisa mengecap sedikit kekayaannya dengan tinggal di kawasan penthouse tersebut.

"Apa nanti aku harus menyewa pembantu? tapi aku takut, banyak kasus pembunuhan dan pencurian yang dilakukan oleh para pembantu," ucap Lorna ketakutan.

Lorna khawatir, tapi dia juga merasa serba salah.

Tidak mau memusingkan diri dengan pikiran negatif. Lorna akhirnya memutuskan untuk pergi keluar dan membawa sampah kardus miliknya keluar apartemen. Tidak tahan dengan sampah yang menumpuk dan merusak keindahan pemandangan kamar.

"Eh?" Lorna terhenti, belum mendarat kakinya di lantai, masih tergantung di atas ketika hendak meletakkan kardus bekas barang-barang kepindahannya.

Lorna tidak tahu kalau ada seorang pria yang familiar terlihat berada tak terlalu jauh dari hadapan Lorna. Seorang pria berdiri dengan membawa sebuah kantong belanjaan, entah apa isinya Lorna tak peduli.

"Tetangga? Hm, besok aku akan menyapanya. Sudah malam, tidak baik menunda langkahnya. Dia baru saja pulang dari luar," cicit Lorna ingin tak peduli.

Tes

Tes

Oke, lupakan perkataan Lorna tadi. Sekarang dia menjilat ludahnya sendiri dengan berjinjit, mengendap-endap mengikuti pria berambut pirang yang sedang menekan tombol lift untuk naik ke lantai atas.

Rupanya pria itu punya penthouse di lantai atas, tidak tahu lantai berapa. Gedung itu terdiri dari delapan lantai, dan Lorna berada di lantai dua.

Yang membuat Lorna menjadi penasaran dan ingin ikut campur bukanlah karena wajah tampan pria berambut pirang tersebut. Melainkan karena rembesan noda berwarna merah yang menetes dari kantong belanjaan pria tersebut.

Apakah pembunuhan?

Bisa jadi kasus mutilasi.

Tidak ada waktu untuk memastikan dengan dugaan semata, perlu didatangi dan dicari tahu kebenaranya.

Lorna terlalu mudah penasaran, tidak peduli dengan keselamatan dirinya. Langsung bertindak tanpa berpikir panjang, ceroboh bisa disebut sebagai sifatnya.

Drap

Drap

Drap

Derap langkah kaki Lorna menggema di sepanjang tangga gedung tempat apartemen Lorna berada. Tidak bisa menggunakan lift, maka Lorna menggunakan tangga darurat. Sungguh orang yang tidak berpikir panjang, padahal ada satu lift tadi tapi harus sedikit mengeliling ke sisi lain lantai tersebut.

Nasi sudah menjadi bubur, tinggal 20 tangga lagu dan Lorna akan sampai ke lantai tiga. Semoga saja pria yang diikuti Lorna itu tidak menuju ke lantai yang lebih tinggi lagi.

Dan... Tidak dapat.

Lorna keliru, lift itu menuju ke lantai delapan. Lorna akan jatuh pingsan bila sampai ke lantai delapan menggunakan tangga darurat.

Drap

Drap

Drap

Berlari kepayahan, Lorna ngos-ngosan menuju lift yang terletak di seberang tempat dia berdiri. Cukup jauh, Lorna kemudian masuk ke dalam lift tersebut dan menyusul ke lantai delapan. Sama seperti tempat yang dituju oleh pria mencurigakan yang membawa wadah berdarah tadi.

"Semoga saja sempat," ujar Lorna. Lorna tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memergoki dan juga melaporkan tindak kejahatan pria yang membawa kantong belanja berisi sesuatu yang berdarah di sana.

"Aku tidak yakin kalau dia orang baik-baik, ini jam tiga malam dan dia datang ke sini membawa kantong belanjaan yang meneteskan darah. Aku tidak ingin dia menebar teror dan melakukan pembunuhan di sini." Lorna berekspresi serius, alisnya menukik tajam.

Kakinya sudah berancang-ancang untuk berlari keluar lift sesampainya di lantai delapan. Berniat untuk berlari cepat sebelum targetnya masuk dan bersembunyi di balik kesunyian apartemen yang terisolasi dari lingkungan luar.

"Berhenti!" Lorna berlari dan menahan tangan pria berambut pirang itu agar tidak masuk ke apartemennya. "Segeralah mengaku! kau melakukan pembunuhan kan?!"