2 PART 1

AIRPORT....

Malam itu awan seakan menangis tanpa henti, membasahi bumi hingga tak ada satu titik pun yang kering. Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, namun belum ada tanda – tanda kedatangannya. Kegelisahan nampak jelas diwajah pria itu. Dinginnya malam dan suara petir yang bergemuruh membuat pikirannya semakin kalang kambut. Ia seperti anak yang kecil yang kehilangan orang tua di tengah keramaian..

Sudah lebih dari sepuluh kali ia menelpon dan memberi pesan melaui WA, namun tak kunjung dibalas. Rasa lapar yang ia tahan sejak keberangkatan dari Pontianak pun seakan tak tertahan lagi. Ia lalu duduk sembari memandangi langit ibu kota.

Tak lama kemudian  suara klakson mobil berbunyi kencang ditambah sorot lampu yang terang. Matanya ingin sekali melihat siapa seseorang yang berada didalam mobil itu, namun cahaya lampu dari mobil tersebut seakan membiaskan penglihatannya.

Laki – laki dari dalam mobil itu berteriak memanggil namanya. Sebuah harapan yang telah dinantikan telah tiba. Akhirnya ia bisa sedikit bernafas lega. Kekhawatirannya seakan sirna, takala mendengar suara pria tersebut dari dalam mobil.

"Vano. Gue kira loh gak akan datang" katanya. Wajahnya begitu gembira. "Sorry ya, habis jalanan macet bangat, maklumlah Jakarta, kalau hujan pasti macetnya gak karuan". Ujarnya. Pria itu lalu menyuruh Dimas untuk segera masuk ke dalam Mobil.

…..

Pertemanan adalah hal yang tak mengenal jarak & waktu. Ia seolah bisa menembus segala dimensi takala kita menemukan teman sejati. Seperti halnya pertemanan Vano & Dimas. Pertemanan mereka yang sudah lebih dari sepuluh tahun, membuat mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Kebaikan dan kejelekan diantara mereka pun sudah seakan hal yang lumrah. Mereka seolah memahami bahwa pertemanan memang tidak ada yang sempurna.

Pertemanan  mereka bukan lagi hanya sekedar tentang tawa & tapi juga duka. Semua hal itu sudah mereka lalui bersama. Pernah suatu ketika Vano diperas oleh salah satu kakak kelas di belakang sekolah. Dimas yang melihat kejadian itu pun tidak tinggal diam. Ia bak pahlawan yang menolong Vano saat membutuhkan dirinya.

Dimas memang tidak gentar dengan siapa pun. Apalagi sampai berani menganggu teman terdekatnya yaitu Vano. Karena kedekatakan itulah, acap kali hubungan pertemanan mereka disalahartikan  oleh teman – temannya. Mereka menganggap kedekatan diantara keduanya sudah seperti sepasang kekasih. Dimas yang selalu hadir di saat Vano membutuhkannya, bagaikan seorang pria yang tak ingin kehilangan kekasihnya.

Meski teman – temannya mengartikan berbeda kedekatan diantara mereka namun Dimas enggan menghiraukannya. Ia seolah membiarkan itu bagaikan angin lalu. Yang selalu terlintas dalam benaknya adalah bagaimana pertemanannya dengan Vano tetap sedekat ini.

Karena kedekatan itulah Vano merasa empati terhadap dimasa dalam situasi sulit. Terutama jika sudah menyangkut masalah ekonomi. Seperti halnya saat ini. Kedatangannya ke Jakarta pun karena berkat bantuan Vano. Beberapa hari yang lalu Dimas sempat bercerita kepada Vano bahwa ia harus putus sekolah dan bekerja serabutan di Pontianak. 

Mendengar ceritanya, Vano merasa tergerak untuk membantunya. Ia pun menawarkan kepada Dimas untuk bekerja di restoran milik ayahnya di Jakarta. Dimas yang merasa tidak enak hati mulanya menolak ajakan Vano. Karena ia merasa selalu merepotkannya di saat susah seperti ini. Tapi bagi Vano, itu adalah hal yang biasa.

Kehidupan Vano &  Dimas bak langit dan bumi. Vano terlahir dari keluarga yang kaya raya dan hidup berkecukupan. Hal yang berbeda dengan Dimas. Sejak usia tiga tahun ia harus hidup mandiri bersama neneknya. Sang ibu sudah lama meninggal Dunia saat usia baru memasuki satu tahun. Sang ayah yang merantau ke luar negeri sebagai TKI pun tak kunjung memberikan kabar.

Meski kehidupan Dimas berbeda jauh dengan Vano, namun ia merasa sangat beruntung karena Vano dengan tangan terbuka bisa berteman dengan dirinya yang tidak memiliki apa – apa. Dimas memang tak memiliki banyak teman, namun kedekatannya dengan Vano seraya ia memiliki seribu teman, bahkan mungkin lebih.

…..

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dan menembus macetnya Jakarta, mereka pun sampai di sebuah apartemen dikawasan Jakarta Selatan. Dari luar, penampakan apartemen 30 lantai ini terlihat mewah. Masuknya saja harus dengan penghuni setempat. Apartemen ini memang memiliki tingkat keamanan dan privasi yang cukup tinggi. Tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalam.

Bagi Dimas, melihat sebuah bangunan berjulang tinggi dengan kemegahannya adalah hal yang baru. Maklum saja, ia belum pernah ke Jakarta. Tapi bagi Vano itu adalah hal yang biasa. Mengingat latar belakang keluarganya yang kaya raya. Sehingga tak mengherankan ia bisa menempati apartemen mewah dikawasan super srategis di Jakarta.

Vano memilih apartemen tersebut bukan semata – mata karena dekat dengan kantornya, tapi juga soal masalah keamanan dan privasi. Baginya, privasi adalah hal yang paling utama saat memilih tempat tinggal. Ia tak mau jika apa yang menyangkut ranah pribadinya menjadi mudah dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Apartemen tipe dua kamar dengan luas 75 meter persegi ini dipilih Vano sebagai tempatnya beristirahat. Vano memang sengaja memilih apartemen dua kamar. Satu kamar khusus untuknya, dan satu lagi untuk tamu yang berkunjung. Apalagi sang ayah hampir setiap minggu datang.

Dimas dibuat terheran – heran saat melihat betapa mewahnya isi dalam apartemen Vano. Berbagai macam barang bermerk menghiasi seisi ruangan.

"Kenapa melamun?"Tanya Vano.

"Bagus sekali tempat mu Van. Aku jadi merasa malu" katanya.

"Mengapa harus malu, kau kan teman ku. Lagi pula kita kan bukan baru pertama kali kenal" Ujar Vano.

Vano lalu menunjukan kamar yang bisa digunakan oleh Dimas, tepat disamping kamarnya.

Didalam lubuk hatinya,Dimas merasa sangat malu tapi sekaligus terharu. Ia tak prnah menyangka bahwa Vano bisa sebaik ini dengan dirinya. Apalagi memperbolehkannya tinggal di apartemen mewah miliknya. Apalagi Vano pun juga menawarkan pekerjaan kepada dirinya. Dimas bahkan sampai bingung bagaimana caranya ia membalas kebaikan temanya tersebut.

…..

MORNING....

Waktu menunjukan pukul 07.30 pagi dan sang Mentari sudah menampakan dirinya.  Vano  pun sudah rapi dengan gaya casual sambil menyaksikan acara TV sembari menunggu Dimas yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Ia menunggu. Namun, sudah hampir 20 menit berlalu, Dimas tak kunjung keluar. Vano akhirnya menghampiri Dimas yang sedang terlelap tidur.

Ia melihat Dimas begitu sangat kelelahan. Ia pun ragu untuk membangunkannya. Akan tetapi karena sudah janji dengan ayahnya, ia mencoba membangunkan Dimas. Dengan suara pelan ia membisikan di dekat telinga Dimas. Namun, bisikan itu seolah tidak membangunkannya. Vano lalu menyentuh tubuhnya. Hangat. Itulah yang ia rasakan. Jatungnya   berdebar kencang. Mukanya memerah. Di dalam hatinya, Vano memang menyimpan perasaan kepada Dimas. Namun, perasaan itu tak pernah ia utarakan hingga saat ini. Menyakitkan rasanya, saat cinta itu hanya dibalut dengan sebuah kata pertemanan.

Karena mengingat masa lalu, Vano jadi malamun ia sampai tak sadar saat Dimas membalikan badannya. Dan tak sengaja bibir dan pipih mereka bersentuhan satu sama lain. "Vano" kata Dimas sembari memuka mata. Vano tersipu malu. Ia tidak bisa menutupi wajahnya yang memerah. Ia lalu bergegas keluar.

Bahagia adalah hal paling sederhana. Meski ciuman itu tak sengaja, namun terasa begitu nyata. Vano bagaikan terbang ke langit. Ia seperti bermimpi bisa merasakan hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dimas memang tidak pernah tahu bahwa selama ini Vano memendam perasaan untuknya. Bagi Vano, Dimas bukan hanya sekedar teman. Ia adalah kekasih yang tak berbayang. Sebenarnya Vano ingin sekali mengungkapkan perasannya. Namun, ia takut hal itu hanya akan menghancurkan pertemanan diantara mereka.

Biarlah, cinta ini selamanya ia pendam sampai tak ada lagi rasa yang harus diungkapakan. Biarlah rasa ini menjadi mati suri, agar kepedihan itu menghilang dengan sendirinya. Menyimpan sebuah perasaan memang tidak mengenakan. Apalagi sampai memendamnya terlalu lama.  

Namun bagi Vano  bisa sedekat ini dengan Dimas sudah lebih dari cukup. Ia tak mengharapkan lebih jika memang takdir seolah tidak menggariskan itu semua.

…..

Sembari menunggu Dimas yang sedang mandi Vano pun menyiapkan beberapa menu sarapan pagi. Vano memang dikenal pandai memasak sejak dibangku Sekolah tak terhitung sudah berapa perlombaan masak yang pernah ia juarai. Masak dan Vano sudah seakan tak bisa dipisahkan. Seperti cintanya dengan Dimas…

Vano sebenarnya bisa saja untuk meneruskan mengelola restoran ayahnya, dan sudah berkali – kali pun sang ayah memintanya, namun Vano lebih memilih untuk menentukan karirnya sendiri. Meski lahir dari anak orang kaya, namun Vano tetap ingin mandiri, bahkan apartemen yang ia tempati ini merupakan hasil kerja kerasnya.

"Wah, kelihatannya enak bangat nih" Ujar Dimas sambil melihat makanan yang tersaji di meja makan.

 "Iya dong, siapa dulu ya masak" sahut Vano dengan nada meledek.

Setelah selesai makan, mereka pun bergegas berangkat ke restoran milik ayahnya Vano di kawasan Kemang.

Bisa sedekat ini, apakah mimpi. Tidak. Ini bukan mimpi, ini adalah kehidupan nyata. Kehidupan ku. Tapi sekali pun ini adalah mimpi, aku tetap akan merasa senang karena bisa sedekat ini dengannya. Dengannya, sang punjangga hati yang aku rindukan cintanya sejak dulu.

…..

Setelah melewati kemacetan ibu kota, mereka pun sampai. Mereka disambut dengan penuh kehangatan, layaknya sebuah keluarga

"Van, papa kira kamu gak jadi datang" Ujarnya sambil memeluk anak semata wayangnya

"Ya, pasti datanglah pah" Jawabnya.

"Oh ya pa, ini Dimas temen ku waktu di SMA, papa masih ingat kan?" Ujar Vano.

Sejak dibangku sekolah Dimas memang sering bermain ke rumah Vano. Tak heran ia sudah sangat akrab dengan keluarganya. Bahkan Dimas sudah seperti anaknya sendiri.

Vano merasa sangat beruntung, karena sang waktu mempertemukannya kembali. Apalagi kali ini dengan kondisi yang berbeda. Vano bisa dibilang adalah anak yang beruntung, selain karena terlahir dari orang kaya dan karir yang cermelang, ia juga memiliki orang tua yang sangat pengertian. Sang Ayah khususnya, sudah menerima bahwa dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda.

Sejak bercerai dengan sang istri, ayahnya memang membesarkannya seorang diri.

Meski pada awalnya ia sedih karena mengetahui anak semata wayangnya memiliki orientasi seksual berbeda. Namun perlahan - lahan, sang waktu melunturkan itu semua. Ia mulai bisa menerima jati diri anaknya, bahkan cintanya kepada Dimas. Bahkan pernah suatu ketika Vano merasa bingung dengan perasaannya kepada Dimas. Dan sang  Ayah adalah tempat mengadu terbaik. Ia bukan sekedar orang tua, bahkan partner curhat baginya.

….

BERSAMANYA...

Keesokan harinya Dimas  mulai berkerja, dan setiap malam setelah restoran tutup Vano sudah siap menunggu . Padahal Dimas sudah memintanya  untuk tidak menjemputnya. Ia merasa tidak enak hati, dan merepotkan dirinya. Namun rasa cinta Vano kepadanya seakan melelahkan rasa lelahnya.  

.....

Bersama orang yang dicintai

Memang terkadang membuat kita menjadi buta

Bahkan lelah dan letih puh seakan menjadi abstrak

Karena bersamanya semua terasa ringan dan indah

…..

Saat akhir pekan tiba tak jarang Vano dengan sengaja seharian berada di restoran ayahnya hanya untuk sekedar melihat sang kekasih hati. Sampai – sampai ayahnya pun terheran- heran mengapa anaknya sekarang jadi sering ke restoran padahal dulu sama sekali menolak untuk meneruskan bisnisnya ini.

PELUKAN HANGATNYA…..

Malam itu Jakarta diguyur hujan yang begitu deras serta petir yang bergemuruh, untungnya Vano dan Dimas sudah sampai di Apartemen. Namun, sebelum memejamkan mata, Dimas seperti mendengar suara ketakutan dari kamar Vano. Ia pun dengan perlahan – lahan menuju kamar Vano.

Dilihatnya Vano yang sedang ketakutan sembari memeluk bantal. Vano memang memiliki phobia terhadap suara petir. Suaranya yang begitu kencang terkadang membuat dirinya takut bahkan sampai menangis. Tapi kini, ia seolah kadatangan pangeran. Pangeran hatinya yang siap melindunginya.

Dimas pun mendekatinya. Memeluknya. Seraya Vano adalah kekasihnya.

...

Kehangatan itu janganlah cepat berlalu. Bisakah.

Bisakah sang waktu berhenti sejanak agar aku bisa terlelap dalam pelukan hangatnya.

...

Malam itu menjadi pelukan hangat bagi Vano. Ia seperti bermimpi bisa tidur bersama dengan orang yang ia cintai, meski Dimas memandang hal berbeda. Namun baginya, bisa sedekat ini dengan Dimas adalah anugrah yang paling berharga dalam hidupnya.

.....

Andai malam bisa sepanjang waktu

Mungkin aku akan lebih memilihnya

Dibandingkan siang…

...

avataravatar
Next chapter