webnovel

Jendela Kenangan

Tidak ada yang salah dengan satu hari ini, selain hari Jumat biasa pada hari pertama di bulan Agustus. Dan seperti hari-hari biasanya, Kedai Mang Ujang selalu menjadi pilihan pertama sebelum pulang ke pondokanku. Tak banyak yang terlalu istimewa dari kedai sederhana yang selalu ramai selepas petang itu, selain tempatnya yang bersih, nyaman dan terlebih dekat dengan klinik tempatku bekerja.

Satu lagi, di tempat itu pulalah aku selalu dapat melepaskan jenuh kepenatanku dari rutinitas di klinik yang terbilang monoton. Aku biasa menghabiskan waktu selepas magang kerja untuk makan ataupun sekedar nongkrong di tempat itu. Mang Ujang orangnya baik, ramah, sopan dan selalu dapat membuat betah para pengunjungnya.

Tapi entah kenapa, petang ini terasa begitu aneh, ketika sengaja kuputuskan untuk duduk berhadapan dengan lelaki yang entah karena apa pula, kami berjumpa untuk yang keempat kalinya dalam satu hari ini.

Dingin. Demikian sekilas kesan pertama yang kulihat dari sosok lelaki yang duduk di hadapanku ini. Rambutnya hitam, lurus, tipis dan panjang sedikit melebihi bahunya. Kumisnya lembut, dengan cambang dan bewok tipis membuat tatapan tajamnya tampak sedikit menyeramkan ketika sedang serius.

Ya, empat kali kami berjumpa dalam satu hari ini. Dan ini adalah kali keempat kami kembali berjumpa, bersitatap dan sama-sama berhemat cakap.

"Hai? Maaf, boleh duduk di sini?" sapaku mengejutkan keseriusannya saat menghitung angka dari nota-nota dihadapannya.

"Eh, hai? Silahkan… silahkan…" balasnya ringkas sambil menyatukan nota-nota yang berjajar rapi di atas meja.

"Udah biarin, ngga usah diberesin, selesein dulu ngitungnya." sahutku.

"Sebentar, saya rapikan dulu. Nanti bisa dilanjutkan di rumah, koq."

"Udah pesen makanan?"

"Terima kasih, tadi sudah makan dan masih kenyang. Ini kopi juga belum saya minum, mau? Hehe…"

Sedikit tawanya memecah kebekuan percakapan kami. Candaannya mencairkan suasana. Aku salah besar. Ternyata lelaki ini tak sedingin yang kukira. Sikap santainya menjadikan kami begitu akrab dalam sekejap. Sekalipun jawabnya pendek-pendek, tapi sudahlah, tak penting, setidaknya ada yang bisa kuajak ngobrol petang itu.

"Udah lama di sini?" kembali kumulai percakapan.

"Baru lima bulan ini pindah dari Bekasi." jawabnya.

"Maksudku, sudah lama duduk di kedai ini?" kembali kutanyakan maksudku.

"Hehe… kalo itu jawabnya lumayan. Nih, kopiku sampai menguap semua kepulannya." jelasnya.

Seperti kehausan, lelaki berambut sebahu itu langsung meneguk habis kopi di gelasnya. Tak ada sisa endapan selain hening untuk beberapa saat.

"Sering nongkrong di sini ya?" tanyaku.

"Begitulah, cuma biasanya sore hari, sambil istirahat, buat rekap harian, sambil menanti senja bermula."

"Oh, sore ya, pantes aja kita ngga pernah ketemu. Padahal selepas klinik tutup, saya selalu mampir kesini, tapi baru kali ini ya kita bertemu?"

"Yee… ini kali keempat ya kita beradu muka!" kali ini lelaki itu memprotesku.

"Eh, iya bener. Maksudku, di sini, di kedai ini."

"Kebetulan saja ini tadi ada kiriman sore, jadilah mampir kemari dulu. Lha ini, tumben jam segini sudah disini? Hehe… mau mentraktir kopi nih ceritanya?"

"Boleh… boleh… ngga sekalian makan?"

"Hehe… Sekali lagi terima kasih. Terus, gimana ceritanya tadi, koq jam segini sudah sampai sini? Jangan bilang kalau tadi menguntitku ya?"

"Yeee… siapa juga yang mau jadi ekormu. Ini kan hari Jumat, klinik tutup lebih awal, jadi bisa pulang lebih cepet."

Percakapan terhenti sejenak ketika Mang Ujang, Si Pemilik Kedai menyajikan sepiring nasi uduk, lengkap dengan lauk dan segelas teh hangat.

"Eh, beneran nih, ngga sekalian makan? Enak loh, nasi uduknya Mang Ujang. Tar nyesel loh. Lagian, buat ngetung nota-nota itu kan butuh energi, ato mau nambah kopinya?"

"Boleh deh kalau cuma kopi. Tapi nggak ganggu kan?"

"Loh… kan malah saya yang mengganggu kerjaanmu? Belum kelar kan tadi? Udah diselesein dulu aja. Sambil nunggu dibuatin kopi lagi, sambil nemenin makan, gimana?"

"Kayaknya asyik juga kalo sampai dipaksa gini. Hehe… ok deh, kopi saja."

"Mang… kopinya atu lagi ya?" teriakku.

"Siap… ditunggu bentar… cappuccino dengan gula setengah sendok dan diaduk sampai 30 kali kan?" suara Mang Ujang dari balik dapur.

"Terima kasih. Sambil menunggu, saya lanjut buat rekapan dulu ya?"

"Silahkan-silahkan. Ternyata beneran ya, kalo sering kemari? Tuh, Mang Ujang aja sampai tahu betul selera kopimu, tanpa diminta lagi."

"Kan tadi saya sudah bilang, kalau sering kemari. Cuma biasanya sekitar jam limaan."

"Emang kenapa kemari jam limaan?" tanyaku penasaran.

"Coba saja sendiri besok kemari sekitar jam limaan, duduk di sini, sampai menjelang magrib, sambil melihat keluar jendela." jelasnya begitu santai.

"Disini? Jam limaan? Emang ada apaan di luar sana?"

"Lihat saja sendiri besok. Kalau listrik tidak mati, pukul lima lebih lima belas menit, Kereta Pakuan pasti melintasi bantaran rel itu. Sekilas, tapi seperti memberi jeda, memisahkan frame antara hari dan senja."

"Maksudnya apaan tuh?"

"Sudahlah, besok kalau sempat dan ada waktu, buktikan sendiri saja."

Pembicaraan pun mengalir seiring gelas cappuccino kedua yang hampir sampai pada endap regukan terakhirnya. Jarum jam merajuk pada angka tujuh. Tak terasa sudah lebih dari satu jam kami berbincang. Sebuah perbincangan ringan namun sarat makna, tentang senja, kereta, cappuccino dan seorang lelaki yang baru kukenal hari itu.

Dan seperti hari-hari biasanya, sehabis mandi, saatnya memanjakan tubuh di ranjang kebesaran. Tapi kali ini, entah kenapa belum juga sampai lima menit meluruskan tubuh, pikiranku melayang tanpa arah dan tak bisa fokus. Otak ini justru terngiang dengan pembicaraan tentang senja, kereta dan cappuccino di Kedai Mang Ujang petang tadi.

Benak ini memprotes keras. Mengapa juga pembicaraan tadi berakhir dengan tidak jelas dan menggantung? Seolah-olah seperti sengaja agar esok masih dapat kudengar kelanjutan sisanya. Retorika di kepalaku tak pelak sampai juga pada sosok lelaki tadi, sales yang biasa mengirim tissue ke klinik tempatku magang.

"Aduh… apa yang salah dengan satu hari ini? Sejak pagi juga semua berjalan semestinya, kecuali… sebentar… eh, betul juga, seharian ini total empat kali aku bertemu dengan Si Tukang Tissue tadi. Kenapa juga sampai lupa menanyakan nama, apalagi nomor ponselnya?" batinku.

Kuingat-ingat lagi peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Dimulai dari tadi pagi di lobi. Gara-gara terburu waktu, secara tak sengaja kutabrak Si Tukang Tissue yang sedang membawa setumpuk kardus. Kemudian berikutnya di gudang. Lebih parah. Sampai-sampai tumpukan kardus yang sudah rapi tertata, jatuh berserakan di lantai.

Berikutnya di kasir, saat aku mencari-cari Tasya dan secara kebetulan pula, lelaki tadi hendak menyerahkan nota tagihan. Sempat ngobrol sebentar gara-gara salah paham. Kukira cuma seorang tukang panggul, eh… ternyata salesnya. Muka ini sempat merah juga tadi. Ironisnya, aku justru malah dikiranya cuma resepsionis klinik. Enak aja. Untung impas tadi.

Tapi yang keempat? Aduh… kenapa juga nasi udukku dibayari tadi? Kenapa juga tidak kepikiran kalau lelaki tadi sengaja pulang duluan, sekalian membayari nasi udukku? Ah, jadi berhutang makanan kan kalau begini jadinya? Pantas saja, Mang Ujang tertawa lepas sewaktu mau kubayar, ternyata sudah keduluan dibayari oleh lelaki misterius tadi. Aduh… kenapa bisa seperti ini?

Semakin malam semakin tak jelas saja suara-suara yang memenuhi kepalaku. Ingin sungguh rasanya menyalakan ponsel lalu minta nomor Si Tukang Tissue tadi pada Tasya, sahabatku sekaligus resepsionis di klinik kami. Tapi aku tak bernyali rupanya.

"Kenapa pula tadi sampai lupa kenalan, lupa minta nomornya juga? Ah, besok saja, lagian di nota terakhir tadi pasti ada nomor ponselnya." gerutuku seorang diri.

Pikiranku justru semakin tidak fokus. Sesekali terlintas deru kereta listrik yang rodanya bergesekan dengan rel besi yang menyangganya, sesekali pula terpampang gambaran akan cakrawala senja. Lalu secangkir cappuccino yang diaduk perlahan sebanyak 30 kali.

"Senja, seperti apakah senja akan terlihat dari balik jendela Kedai Mang Ujang? Seistimewa itukah senja akan terlihat merona di sana? Kenapa juga mesti pukul lima? Juga kereta, benarkah Kereta Pakuan yang melintas pukul lima lebih lima belas menit akan membelah hari dan mengantar senja hingga ke peraduannya? Lalu cappuccino, kenapa juga mesti 30 kali diaduknya?" gumamku.

Entahlah, dalam senyum ketidakmengertianku kali ini, setidaknya kusadari sungguh, bahwa baru sekali ini aku bisa bebas dari bayang-bayang pekerjaan yang selalu menyita waktu, terbebas dari masalah-masalah di klinik. Tapi kenapa juga justru kembali kepikiran soal kereta, senja dan segelas cappuccino yang ditambahi setengah sendok gula dan diaduk sampai 30 kali?

"Eh, kayaknya masih punya cappuccino… buat aaahh…"

Perlahan kuaduk seduan cappuccino di gelas itu. Kuamati dengan seksama, ada apa gerangan dengan secangkir cappuccino lengkap dengan tambahan gula setengah sendok dan diaduk sebanyak 30 kali.

"Aduh… kenapa aku jadi seperti ini? Untung seorang diri, ngga ada yang ngeliat. Maaf ya, Tukang Tissue, kalau jadi penasaran seperti ini?" gumamku.

Tak ada yang istimewa dengan rasa cappuccino ini, bahkan tadi benar-benar kutambahi gula setengah sendok, lalu kuaduk dan kuhitung sampai 30 kali. Ah, bohong besar semua ini. Tak ada yang istimewa, selain bayang-bayang cerita Si Tukang Tissue yang melintas berseliweran diantara kepulan asap dari gelas cappuccinoku. Dasar sales, kali ini kemakan juga aku!

Hari berganti. Mentari seolah tak pernah bosan tampil dan menjadi yang pertama menandai bergantinya sebuah hari. Sudah hari sabtu. Itu artinya… hari libur. Yes, bisa santai pagi ini. Kunyalakan ponselku kemudian kubaca beberapa pesan yang masuk. Tak ada yang penting. Tidur lagi ahhh… Tapi belum juga sampai lima menit, aku teringat kalau ada janji dengan Tasya.

"Aduh, kenapa juga kemarin mengiyakan ajakan Tasya? Jadi ngga bisa istirahat kan kalo gini. Sudah bangun belum ya sepagi ini? Atau kutelepon aja ya? Ah, tar juga Tasya pasti menghubungi kalau sudah siap berangkat." keluhku.

Jarum jam tepat menunjuk angka tujuh ketika ponselku berderit dan mengejutkan sejenak lamunanku.

"Jadinya gimana nih? Perlu bawa mobil sendiri atau gimana?" protesku.

"Naik kereta aja gimana? Lebih cepat sampai, anti macet dan kaga ribet. Lagian cuma ke satu tempat, kan? kaga mampir-mampir ke tempat lain, kan? Tar malah ribet kalo bawa mobil." sahut Tasya dari seberang ponsel.

"Ok… kutunggu ya?"

Ponsel kututup, kemudian segera bersiap. Hari ini kami mau jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Refreshing, melepas penat, menyegarkan otak dan pikiran.

Pukul delapan tepat, kami sudah sampai di stasiun. Untung jaraknya dekat. Jalan kaki tak sampai lima belas menit juga sampai.

"Bentar, Tas, kita jadi naik kereta nih?"

"Iya… ngga apa-apa kan? Lebih cepet, ngga sampai satu jam paling udah sampai Bogor."

"Kereta Pakuan lewat Bogor juga kan?" tanyaku spontan.

"Aduh… kelamaan, kalo mesti nunggu Kereta Pakuan… yang barusan lewat tadi Kereta Pakuan. Itu artinya, setengah jam lagi baru ada Kereta Pakuan berikutnya. Tuh, lihat jadwalnya, bener kan, setengah jam lagi?" balasnya.

"Terus kita naik kereta apaan? Emang ada kereta lain yang lewat Bogor?"

"Makanya jangan kebanyakan kerja. Sesekali jalan-jalan gini, biar tau. KRL yang melintasi jalur Bogor-Jakarta cuma butuh waktu dua setengah jam sekali jalan. Itu juga kereta ekonomi. Satu jam setengah kalo Kereta Pakuan."

"Maksudnya? Bogor-Jakarta cuma satu setengah jam?"

"Iya, Dokter Sherly… dari ujung Stasiun Bogor hingga ujung Stasiun Kota cuma satu setengah jam naik Kereta Pakuan. Berhenti cuma di beberapa stasiun. Tak seperti yang ekonomi. Tiap stasiun berhenti. Penumpangnya berjubel, panasnya minta ampun."

"Nah, kenapa juga ngga nunggu Kereta Pakuan? Apalagi kalo tau kereta ekonomi selalu penuh dan pengap?"

"Tenang. Ini udah siang. Jam sibuk udah lewat tadi."

"Ngga ahh… Kita nunggu Kereta Pakuan aja… Ogah kalo mesti berdesak-desakan, tar ngga dapat tempat duduk, apalagi kalo mesti berdiri sampai Bogor!"

"Iya-iya… Itu artinya, kita mesti nunggu setengah jam lagi loh disini?"

"Ngga apa-apa, Tasya. Nikmati aja!"

Perbincangan terhenti sejenak ketika sebuah kereta masuk stasiun. Sempat kuperhatikan sesaat, memang agak lengang. Tak seperti yang dibilang Tasya tadi.

"Itu Kereta Pakuan, Tas?" tanyaku penasaran.

"Bukan… itu KRL biasa. Lengang kan?"

"Ok deh… kita naik itu aja kalo gitu." usulku.

"Hahaha… Dokter Sherly yang cantik, itu kereta menuju Beos, menuju Stasiun Kota, bukan ke arah Bogor. Kita nanti naik yang ke arah sebaliknya. Makanya kita menunggu di jalur ini. Tuh, lihat, ada petunjuk arahnya." terang Tasya.

"Ups… Salah ya? Maaf deh, soalnya baru mau sekali ini."

…Kereta Pakuan, seistimewa apakah kereta express jurusan Jakarta-Bogor itu?

Apa bedanya dengan KRL selain tiketnya yang lebih mahal?...

Next chapter