3 Sahabat Rasa Saudara

"Emak pasti capek, setiap hari kerja jualan di pasar sampai siang, dan setelah itu mencari dagangan sayur ke sawah atau kebun, kasian Emak, ia pasti lelah seharian bekerja," batin Saras.

Langkah kaki Saras bergerak cepat menuju ke rumah Munifah teman masa kecilnya. Munifah teman Saras yang sudah sukses, dia punya rumah megah dan punya banyak sawah. Munifah juga punya mobil mewah hasil kerjanya menjadi TKW di Singapura selama 4 tahun.

Rumahnya yang jaraknya kira-kira 500 meter dari rumah Saras, jadi dia tidak perlu berjalan jauh menuju rumah Munifah teman masa kecilnya itu. Sejak lulus SMA dia sudah menjadi TKW ke Singapura.

"Andai dulu aku ikut dia ke Singapura, pasti aku juga saat ini sudah makmur hidupku, tapi saat itu Bapak melarang aku pergi jauh karena Bapak ingin aku menikah saja dengan orang kaya agar dia bisa dapat uang mahar dari menantunya yang kaya, heh! Dasar Bapak ini serakah!"

"Dan sekarang malah aku jadi jaminan bayar hutang-hutangnya, sunguh nasibku kurang beruntung memiliki orang tua macam dirinya."

Sepanjang perjalanan Saras bicara sendiri, lalu langkah kakinya berhenti di sebuah rumah megah dengan halaman yang sangat luas, pagar rumahnya yang tinggi menambah gagah rumah itu. Rumah Munifah memang yang paling bagus di desa tempat tinggalnya.

Saras melihat Munifah sedang berada di teras sambil duduk di ayunan. Wajahnya yang cantik, putih bersih sekali kulitnya, rambut hitam tergerai indah, kecantikannya terpancar dengan jelas walau dari kejauhan. Munifah sekarang sudah menjadi orang kaya di desanya, Munifah cantik dan juga sangat baik hati walaupun dia sudah kaya, tapi tidak menjadikanya orang yang sombong.

'Ah, kamu cantik sekali, aku tidak menyangka sekarang dirimu secantik itu, padahal dulu kulitmu hitam dan kusam serta banyak jerawatnya," batin Saras.

"Saras! Sini ..." seru Munifah saat melihat kedatangan Saras.

Mendengar ucapan Munifah, Saras maju dan melangkah mendekati Munifah dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.

"Saras, aku kangen!" ucap Munifah sembari menggenggam erat tangan Saras. "Duduk sini!" imbuhnya.

Saras langsung duduk saat Munifah menarik tangannya agar duduk di ayunan. Mereka berdua saling tersenyum bahagia.

Saat duduk di ayunan sejenak, Saras terhibur hatinya dia menikmati gerakan pelan ayunan itu. "Nyaman sekali hidupmu Nif, beda sekali denganku yang hidupnya sangat menyedihkan!"

Munifah yang melihat Saras bersedih, ia pun bertanya, "Saras, kenapa kamu?"

"Munifah, aku lagi ada masalah, aku rasanya ingin pergi jauh dari desa ini, Nif!" ucap Saras dengan pandangan mata yang sendu.

"Memangnya ada apa?" tanya Munifah.

Saras menunduk dan menghela napas panjang, ia seakan ingin mengeluarkan semua perasaan yang menyesakkan dadanya.

"Munifah, bapakku punya hutang dengan juragan Broto, bila aku tidak bisa membayar, maka aku akan dijadikan istri sebagai jaminan untuk membayar hutang bapakku."

"Ah, mana bisa begitu, bapakmu gak waras, ya? Memangnya bapakmu hutang uang berapa, ke juragan Broto?" Munifah kesal mendengar cerita Saras.

"Bapak hutang 10 juta, itu belum termasuk bunga 20% dari uang itu, bayangkan saja, aku membayar hutang bapakku, dengan apa? Sedangkan buat makan aja aku susah!" kata Saras.

"Terus, sekarang bagaimana?"

"Aku tidak tahu, tapi tadi juragan Broto si rentenir itu, ke rumah minta aku mengembalikan uangnya, kalau tidak, aku akan dibawa sebagai jaminan."

"Dasar orang gila! Mana bisa begitu?"

"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi?"

"Saras, jangan bersedih, aku akan membantumu," ucapan Munifah bagaikan air hujan di musim kemarau buat Saras.

Sejenak hati Saras menjadi tenang. Saras menatap Munifah dengan mata berkaca-kaca penuh rasa haru.

"Sungguh, kamu akan membantuku?"

"Iya, aku akan membantumu!" ucap Munifah sembari tersenyum.

"Alhamdulillah, aku sungguh sangat bahagia mendengar ucapanmu, terima kasih, ya!" ucap Saras sembari memeluk tubuh sahabat tercintanya itu.

"Tapi ada syaratnya!" ucap Munifah sembari memandang tajam ke arah Saras.

"Apa syaratnya?"

"Ikut denganku jadi TKW ke Singapura. Kerja di bar seperti aku."

"Baik, aku setuju lagi pula aku sudah bosan tinggal di sini, aku ingin menjadi orang sukses seperti dirimu."

"Hehehe, aku akan membuatmu jadi orang sukses, tapi kamu harus menuruti semua ucapanku, oke!" ucap Munifah seraya tersenyum bahagia karena Saras akan ikut dengannya bekerja di Singapura.

"Munifah, kapan aku bisa ambil uangnya? Aku sudah tidak sabar untuk membayar hutang ke Broto!" tanya Saras.

"Sabar, aku siapkan uangnya dulu. Insya Allah besok sore atau siang kamu datang lagi ke rumahku dan ambil uangnya ya, Oke!"

"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu ya!" pamit Saras sembari berdiri dari duduknya.

"Iya, sana pulanglah dulu kasih tahu sama Emak kamu ya!"

"Baiklah," Saras menjabat tangan Munifah dengan penuh kasih sayang dan Munifah tersenyum melihat Saras yang wajahnya sumringah.

"Nah gitu, kalau senyum kamu terlihat cantik Ras!" goda Munifah.

"Ah, kamu bisa aja!" Saras tersipu malu.

Mereka berdua tertawa ringan saat saling memeluk, Saras bisa merasakan ketulusan hati Munifah padanya. Sahabatnya itu memang sahabat terbaik bagi Saras.

"Baiklah, aku pulang dulu ya!" pinta Saras.

"Iya, besok kamu datang dan siapkan dokumen yang aku minta."

"Baik, aku akan siapkan."

"Saras, kamu pasti diterima oleh juragan aku, soalnya kamu baik dan juga cantik," ucap Munifah.

"Terima kasih ya! Aku akan selalu ingat kebaikan kamu. Baiklah aku pulang ya! Assalamualaikum."

"Wa alaikum salam," jawab Munifah sambil melambaikan tangannya.

Saras pergi dari rumah Minifah dengan hati bahagia. Munifah yang berjanji akan membantu membayar hutang bapaknya, membuat Saras pulang dengan hati riang gembira, sepanjang perjalanan menuju rumah, Saras tersenyum bahagia.

Saat langkah kakinya memasuki pekarangan rumah, Saras heran kenapa banyak orang yang ada di dalam rumahnya, orang-orang itu sibuk mengeluarkan perabotan dari dalam rumahnya.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?"

Setengah berlari Saras menuju halaman rumahnya yang sudah penuh dengan banyak orang. Saras heran dengan senyuman orang-orang yang berada di halaman rumahnya, mereka menyambut kedatangan Saras dengan isak tangis.

"Ada apa ini, ya Allah!" batinnya. Jantungnya berdebar kentang menyaksikan apa yang dia lihat. Sanak keluarga banyak yang menangis di halaman rumahnya.

Hati Saras semakin bingung, tatkala sampai di depan pintu rumah, di ruang tengah ada banyak keluarga dan tetangga yang sedang duduk, mengelilingi jasad yang terbujur kaku dan ditutup dengan sebuah kain batik panjang.

Saras menatap tubuh yang terbaring di tengah ruangan, "Ada apa ini? Siapa yang terbaring di sana?"

"Saras, duduklah," bisik Bulek Nuning, sepupu dari ibuku.

Bude Sumiati juga ikut menuntun Saras untuk duduk di samping tubuh yang terbaring di tengah orang-orang yang menangis itu.

"Bulek, Bude, ini ada apa?"

Pandangan Saras melihat sekeliling ruangan. Neneknya yang duduk lesu di ujung ruangan, memeluk adik perempuannya. Neneknya memandang Saras dengan derai air mata. Hati Saras semakin bingung, dia melihat sekeliling untuk mencari ibunya, tapi dia tidak melihat ibunya di ruangan itu.

Bersambung...

avataravatar
Next chapter