5 Aku harus Tabah untuk Adikku

Melihat Bayu yang terguncang hatinya, Bude Sumiati mendekati Bayu, lalu memegang pundaknya.

"Jangan kamu yang pergi, biar orang lain yang menjemput bapakmu," kata Bude Sumiati.

"Aku tahu tempat judi juragan Broto, aku yang jemput Bapak, ya!" sahut Permadi.

Tanpa mereka duga, Adik kecil Saras yang berumur 8 tahun itu bersuara lantang. Permadi memang tahu betul tempat bapaknya berjudi, karena Permadi yang sering di suruh ibunya untuk menyusul bapaknya bila tidak pulang ke rumah. Permadi itu anak yang pemberani. Walau masih kecil.

"Biar aku yang susul, Mbak!" sahutnya lagi,

"Jangan. Kita tidak pergi ke mana-mana, kita di sini jaga Ibu untuk yang terakhir kalinya." tegas Saras.

Bayu berdiri dari duduknya, Saras memperhatikan adiknya yang berdiri, Saras lalu bertanya, "Kamu mau ke mana?"

"Aku akan membuat perhitungan dengan Bapak, gara-gara Bapak yang suka judi dan main perempuan, ditambah punya hutang sama Broto edan itu, makanya sekarang Emak meninggal kena serangan jantung. Aku sudah muak dengan sikap Bapak, Mbak!"

"Duduklah! Jangan bertidak gegabah! Ayo duduklah!" perintah Saras dengan nada tegas.

Bayu menyeka air matanya yang mengalir deras, ia terlihat marah bercampur kecewa dan juga sedih. Jiwa muda dan masih labil itu seperti gunung berapi yang siap meletus.

"Bayu, biar orang lain yang menjemput Bapak, kita jaga jenazah Emak di sini, sekarang kita tidak usah memperdulikan Bapak lagi."

Bayu pun duduk kembali setelah mendengar ucapan Saras. Walau terlihat kecewa karena tidak bisa pergi, tapi yang di katakan kakaknya benar, jadi ia menuruti ucapan Saras.

"Kita harus mengurus jenazah Emak dengan baik agar Emak tenang di alam sana. Duduk diam dan baca doa untuk Emak!"

"Bayu, betul kata Saras, biar orang lain saja yang menjemput bapakmu," suara Bude Sumiati dari belakang Bayu.

Lalu datang suami Bude Sumiati yang bernama Pakde Jarwo. Pakde Jarwo kakak kandung dari ibunya Saraswati.

"Katakan padaku di mana bapakmu, biar aku saja yang seret dia kemari!" geram Pakde Jarwo.

"Bapak pasti lagi berjudi, di rumah juragan Broto, Pakde!" sahut Bayu.

"Dasar kurang ajar si Tukiman! Bapakmu memang tidak tahu diri, aku betul-betul pingin tak hajar aja bapakmu itu! Kamu duduk sini saja! Biar aku yang seret bapakmu pulang!" geram Pakde Jarwo.

Pakde Jarwo pergi meninggalkan tempat itu dengan wajah yang merah padam seperti di bakar api amarah yang membara.

"Kenapa Bapak selalu membuat kesalahan, aku jadi semakin benci melihatnya!" geram Bayu sambil mengepalkan tangan.

Saras memandang Bayu yang terlihat marah, ucapan Bayu membuat hati Saras semakin teriris, bagaimana bisa seorang anak bisa membenci bapaknya?

"Bayu, jangan begitu, jangan bicara kasar pada Bapak."

"Mbak Saras, aku sudah muak melihat sikap Bapak yang arogan," geram Bayu.

Melihat suasana yang kurang nyaman, Paklek Giman berinisiatif untuk menjemput bapaknya Saras dengan mengajak istrinya.

"Sudahlah, biar Paklek dan Bulek saja yang mengurus bapakmu. Kalian duduk aja di sini," ucap Paklek Giman seraya menggandeng Bulek Nuning, mereka berjalan ke arah halaman rumah dan melewati kerumunan para pelayat.

***

Suasana rumah Saras ramai orang yang membantu menyiapkan perlengkapan untuk memandikan jenazah ibunya Saras, tapi di tempat yang berbeda, di rumah kediaman Juragan Broto Pakde Jarwo mengamuk hingga membuat Lek Giman dan Bulek Nuning ketakutan. Mereka takut terjadi pertumpahan darah antara Pakde Jarwo dan bapaknya Saras.

"Pak, ayo kita cepat pulang, aku takut lihat mereka," pinta Bulek Nuning.

"Iya Bune, aku juga takut!"

Mereka berdua segera mengendarai sepeda motornya balik ke rumah Saras untuk memberi kabar keluarga besar tentang kejadian tersebut. Raut wajah mereka begitu panik. Nada bicaranya gemeteran, dia berbicara dengan Bude Sumiati dengan suara bergetar.

"Yu, Kang Jarwo sama bapaknya Saras berkelahi di rumah juragan Broto!" kata Paklek Giman.

"Ayo cepat ke sana Yu! Ayo cepat! Kang Jarwo ngamuk!" sahut Bulek Nuning.

"Kok, ngamuk? Apa Tukiman menolak di bawa pulang?"

"Tidak, Yu! Kang Jarwo melihat bapaknya Saras mabuk dan main perempuan di rumah juragan Broto, makanya ngamuk, Yu!" jelas Paklek Giman.

"Tugiman, gimana?" tanya Bude Sumiati.

"Tadi masih berkelahi, makanya kami balik ke sini buat kasih tahu Yu Sumiati." Bulek Nuning memberikan penjelasan.

"Biarkan saja Tugiman dihajar suamiku," jawab Bude Sumiati dengan percaya diri.

"Tadi Kang Tugiman lari pontang-panting, Yu! Tapi terus ke tangkap sama Kang Jarwo dan dihajar sampai babak-belur."

Bude Sumiyati memandang ke arah Bulek Nuning, "Gimana, ceritanya? Aku kok, gak paham, Ning?"

"Kang Tugiman berusaha lari saat Kang Jarwo datang, tapi Kang Jarwo cepat main tangan dan mereka berkelahi, tapi tadi Kang Tugiman kelihatan kalah sama Kang Jarwo," jelas Paklek Giman.

"Oalah, sokor kuwi, rasakno ben kapok! Kalau bisa dihajar saja sampai remuk badannya, huh! Aku ikut emosi melihat tingkahnya itu!" geram Bude Sumiati.

"Sabar, Yu! Tapi kita harus misahkan mereka, Yu!" Bulek Nuning mencoba menenangkan hatinya.

"Gak usah, aku yakin suamiku yang akan menang, paling juga nanti Tugiman badannya remuk," jawab Bude Sumiati.

"Loh, kita gak misahin mereka?" tanya Bulek Nuning.

"Gak usah, wong suamiku ahli pencak silat kok di lawan," jawab Bude Sumiati lagi.

"Yu terus bagaimana mereka?"

"Ning, biarin aja, kamu bantu di sini saja, wes gak usah ngurus Tugiman, orang tidak tahu diri macam dia perlu dimusnahkan!"

Semua terdiam dengan ucapan Bude Sumiati. Mereka semua sebenarnya tidak suka dengan Tugiman yang suka judi dan mabuk-mabukkan setiap hari, padahal dia cuman tukang becak.

"Iya, Bude! Aku tidak butuh Bapak tukang mabuk dan tukang main perempuan. Aku muak dengannya, aku tidak sudi punya Bapak seperti dia!" geram Bayu.

Saras menepuk pundak adiknya pelan, "Bayu, tidak baik bicara seperti itu pada orang tua, bagaimanapun dia Bapak kita."

"Aku tidak sudi, punya Bapak seperti orang itu, Mbak! Aku benci Bapak!"

Saras juga tidak suka dengan Bapak yang seperti itu, tapi bagaimanapun Tugiman adalah bapaknya.

Bude Sumiati mendekati Saras, matanya berkaca-kaca menahan gejolak hatinya yang dilanda kesedihan ditinggal adik kandungnya yaitu ibunya Saraswati.

"Aku tidak menyangka ibumu telah tiada, Nduk!" ucapnya sembari mengusap air matanya.

Tiba-tiba adik kecil Saras menangis dan memeluk Saraswati, "Mbak Saras, aku ingin Emak bangun!"

Kata-kata Sundari bagai pedang tajam yang menyanyat hati Sarai. Air matanya tanpa permisi mengalir deras bagai air terjun grojokan sewu.

"Sundari, sini Nduk! Jangan bersedih," ucap Saras sambil memegang tangan adik kecilnya.

"Aku ingin Emak bangun. Tolong, suruh Emak bangun, Mbak!" Permadi adik Saras yang dari tadi diam, ikut angkat bicara sambil menangis.

Bayu merangkul Permadi, ia pun ikut menangis tersedu, "Kita harus kuat, ya! Biarkan, Emak tidur dengan tenang."

Tangan Saras menggapai kedua adik laki-lakinya itu, sedangkan tangan satunya memeluk Sundari yang ada di pangkuannya.

Suasana haru menyelimuti rumah Saras. Orang-orang yang mempersiapkan pemakaman almarhum ibunya sudah pada tahap mau memandikan jenazah Ibunya..

Jenazah ibunya Saras diangkat menuju pelataran, Isak tangis adik-adik Saras tak terbendung lagi, mereka menangis melihat kejadian itu.

Saras memeluk ketiga adiknya itu dengan penuh kasih sayang, walau hatinya hancur, tapi dia mencoba tegar untuk menjaga adik-adiknya.

Bersambung...

avataravatar
Next chapter