1 Prolog

Akhir musim dingin, seluruh keluargaku mati. Kedua orang tuaku dan ketiga saudaraku mati dengan mulut penuh busa. Aku ingat bagaimana mereka berteriak merintih kesakitan, mengaung dan menggeliat - geliat sebelum mereka mati. Aku tahu rasanya. Awalnya saat cairan itu masuk kedalam mulut, lidahku seperti terbakar dan seketika aku tidak bisa merasakannya. Lalu tanpa terasa cairan itu seolah merayap masuk ke tenggorokan. Aneh sekali, tidak seperti yang kubayangkan. Cairan ini seperti lipas berkaki seribu, menyengat dan membakar. Kerongkonganku mungkin sudah hancur. Aku mencekiknya dengan erat agar lipas itu segera mati. Tapi percuma saja, tenggorokanku seolah sedang direbus, bergerak seperti air mendidih. Argh! Aku mencekiknya sekali lagi. Kali ini mati kau! Alih-alih mati, lipas itu malah kembali merayap lebih dalam. Ia kali ini menyebar ke seluruh tubuhku. Mereka bergerak di seluruh aliran darahku dan tanpa komandoku tubuhku kejang- kejang. Saraf rasa sakitku seperti dipasak. Mulai terdengar seperti suara seorang mendengkur. Suara siapa itu aku tak tahu karena yang lain sudah kupastikan telah mati. Mungkin itu suaraku. Seperti suara sapi yang disembelih. Mengerikan. Mengenaskan. Aku melihat keselilingku dengan pandangan yang kabur. Bukan hanya pandanganku, seluruh inderaku terasa menguap dan hilang di udara. Suara detik jam mulai tertelan oleh kehampaan. Bau anyir darah yang tumpah dan tergenang di seluruh penjuru mulai sirna. Aku mulai kehilangan kesadaranku. Hahaha. Menyenangkan. Semuanya telah berakhir. Hari ini, di malam akhir musim dingin yang panjang dan gelap.

Jam sepuluh lewat satu menit empat puluh tiga detik.

Aku mati.

avataravatar