1 1. Prolog

Wanita bersurai kecokelatan yang duduk sendirian di bangku taman kota sore itu, tampak resah.

Pandangannya menyapu sesisi taman, dengan harapan dapat menangkap kehadiran seseorang yang sedari tadi ia tunggu.

Dengan perasaan bercampur aduk, wanita itu mengulir layar ponsel lalu menempelkan benda pipih miliknya di telinga. Namun tak lama kemudian, ia menurunkan kembali ponsel yang menempel di telinga secara perlahan, saat  bertemu tatap dengan seorang pria bersetelan jas rapi tengah berjalan ke arahnya.

Wanita itu seketika bangkit. "Akhirnya kamu datang juga," ucapnya sedikit lega.

Pria di hadapannya menatap wanita itu tanpa minat. "Aku nggak bisa lama-lama. Dan langsung saja." Pria tadi mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya. "Tiga milyar cukup?" katanya lagi sambil mengulur selembar cek dengan nominal tidak sedikit itu secara tak acuh.

"Ap--apa? Maksudnya apa?"

"Aku nggak mungkin bertanggung jawab. Jadi, kamu tahu harus menggunakan uang ini untuk apa. Terima ini."

"Nggak!"

"Jangan bermimpi, aku akan menikahimu. Enggak akan," ucap pria itu lirih, tetapi serasa mampu memutus denyut nadi.

Harga diri wanita itu seolah ditukar dengan angka-angka yang tertera pada secarik cek yang kini dilayangkan padanya. Persis seperti senapan yang siap meluncurkan timah panas, tepat menembus kepala.

Bulir bening mengalir begitu saja. Ia merasa manusia paling hina sekarang. Merasa terbuang seperti sampah.

Bagaimana dengan benih yang ditanam pria berengsek itu di dalam sana? Bagaimana ia akan melanjutkan hidup setelah ini?

"Jangan macam-macam denganku, atau keluargamu akan mendapat masalah. Kamu tahu aku bisa melakukan apa saja. Paham!" tegas pria itu penuh penekanan kemudian melempar ceknya di udara.

Air mata menderas bersamaan dengan pria itu memutar tubuh, berlalu menyisakan punggung yang perlahan-lahan menjauh. Menyisakan dirinya yang tersedu sambil satu telapak tangan menyentuh perut, berakhir dengan meremasnya kuat.

Jagat raya wanita itu seolah meredup, menggelap dan runtuh seketika.

"Ada apa, Mbak?" tegur seorang wanita paruh baya berseragam orange, yang tengah memegang tongkat sapu lidi di tangannya.

Wanita bersurai kecokelatan yang masih tersedu di sudut bangku taman kota itu mendongak, menghapus sisa air matanya, kemudian beranjak tanpa suara. Ia meninggalkan petugas kebersihan yang menyapanya tadi tanpa sepatah kata.

Petugas kebersihan itu menghela napas pelan--sudah biasa diabaikan. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, menyapu dedaunan kering yang berserak, kantong plastik, botol bekas tergeletak, juga secarik kertas bernilai milyaran rupiah itu ikut ia tangkup pada pengki dan berakhir di tong sampah.

Segalanya juga seolah berakhir bagi wanita bersurai kecokelatan yang tersedu di bangku taman tadi. Ya, segalanya ....

***

Waktu memang masih menunjukkan pukul 07.00 pagi, tetapi aktivitas di dalam kediaman keluarga Admaja sudah tampak.

Seorang chef mengenakan seragam kebesarannya, lengkap dengan topi menjulang dan apron yang melekat, terlihat sibuk di dapur bersih nan luas itu.

Setidaknya ada tiga chef andal yang bekerja secara bergantian, mengolah bahan makanan yang nantinya akan berakhir di perut setiap anggota keluarga Admaja.

Menu dengan sarat gizi seimbang dan mengugah selera, selalu siap membentang di atas meja makan.

Di tempat lain, para asisten rumah tangga berseragam setelan senada, juga tengah melakoni tugas masing-masing. Alat penyedot debu bergerak lincah di atas lantai berbahan marmer, memastikan kebersihan setiap sudut ruangan terjaga.

Jendela kaca, juga bingkai lukisan yang tersebar hampir di setiap dinding ruangan juga tak pernah luput dari perhatian. Apalagi, bingkai lukisan itu adalah hasil  tangan terampil Tuan Putri keluarga ini.

Satu lagi pemanis ruangan yang tidak boleh dibungkus debu sesenti pun adalah tembikar. Karya seni dari tanah liat ini juga salah satu kerajinan tangan dari putri

pasangan Admaja dan Claudya. Adalah Trisha--gadis penyuka seni yang masih tercatat sebagai mahasiswi seni tahun ketiga di salah satu universitas ternama di Jakarta. Namanya, Trisha Putri Admaja.

"Ya?"

"Sayang, kamu nggak kuliah hari ini?" Admaja menyapa putrinya yang kini tengah duduk menghadap kanvas putih, dengan palet cat warna di salah satu tangan.

Trisha mengehentikan aktivitasnya sejenak."Aku kuliah siang, Pa." Trisha tersenyum sebelum melanjutkan melukis.

Admaja merapat, memperhatikan lukisan putrinya itu dari dekat. "Kamu melukis hamparan padang golf kita?"

"Hmm," jawab Trisha kemudian kembali memainkan kuasnya di atas kanvas.

Pagi ini suasana padang golf masih berselimut embun, bak permadani hijau yang terhampar di depan mata, menggoda jemari lentik Trisha untuk mentransfer pemandangan sejuk itu ke dalam bingkai lukisan.

Admaja tersenyum, menyentuh lembut puncak kepala Trisha. Putri kesayangannya itu dirasa tumbuh dewasa begitu cepat. Serasa baru kemarin, setiap kali Admaja pulang dari kantor, gadis ini berlarian menyambut, lalu menarik atensinya pada lembar-lembar buku gambar yang penuh dengan coretan hasil imajinasinya. Bakat melukis Trisha sudah tampak sedari kecil.

"Ayo sarapan dulu, Sayang."

Trisha mendongak. "Sebentar lagi, Pa. Sebentar lagi ini selesai."

"Baiklah, Papa tunggu di bawah, ya."

Trisha mengangguk lalu tersenyum, membuat Admaja membalas senyum, kemudian mengusap puncak kepala Trisha sekali lagi sebelum beranjak.

Gadis itu kembali asyik memainkan kuasnya, sampai tidak menyadari kehadiran Snowy--kucing kesayangannya.

Snowy tiba-tiba melompat ke pangkuan, hingga palet cat warna yang berada di tangannya terjatuh ke lantai. Trisha terlonjak kaget oleh tingkah kucing jenis Persia itu.

"Snowy! Nakal, ya," dengkus Trisha kemudian mengangkat kucing berbulu putih dan lebat itu dari pangkuan. "Liat, semuanya berantakan, Snowy, kamu mengacaukannya, tapi mana bisa aku marah. Kamu terlalu menggemaskan." Trisha tersenyum lalu membawa kucing kesayanganya itu ke dalam pelukan. "Snowy, apa kamu udah makan?"

"Permisi, Non. Tuan dan Nyonya sudah menunggu di meja makan. Nona diminta untuk sarapan dulu," ucap seorang kepala asisten rumah tangga kepercayaan keluarga Admaja, menginterupsi.

"Baik, aku segera turun."

"Oh ... ya ampun kenapa ini, Non?"

"Maaf, itu ulah Snowy, Bi." Trisha melirik ke arah wanita yang berdiri di samping kepala asisten rumah tangganya itu. "Siapa, Bi? Sepertinya aku baru lihat?"

"Oh, ini pekerja baru, Non. Namanya Esti."

Esti mengangguk sopan. "Saya Esti, Non."

"Salam kenal, Esti. Aku Trisha." Trisha mengulurkan tangannya.

Esti terdiam sejenak, tidak menyangka seorang Tuan Putri seperti Trisha sudi mengulurkan tangan kepadanya. Esti buru-buru menjabat tangan Trisha setelah sadar.

"Dan ini Snowy," ucap Trisha ramah, memperkenalkan kucing kesayangannya. Esti mengangguk sopan.

"Semoga kamu betah kerja di sini, ya."

Esti lagi-lagi mengangguk sopan.

"Baiklah, aku tinggal, ya. Bi, maaf merepotkan, jadi harus bersihin semua ini. Bibi tahu sendiri tingkah Snowy."

"Nggak apa-apa, Non. Sini Sonwy biar saya yang urus. Nona sarapan dulu."

"Oke, terima kasih," sahut Trisha, menyerahkan Snowy kepada Rahayu--kepala asisten rumah tangganya--kemudian beranjak.

"Esti, pekerjaan pertamamu, bersihkan ini. Ayo, aku tunjukkan di mana kamu harus mengambil peralatan kebersihan." Rahayu melangkah lebih dulu dengan Snowy yang berada di dalam dekapan. Esti mengekor di belakang.

Pandangan Esti mengedar saat menyusuri tiap sudut rumah megah milik majikannya. Mata berbinar sekaligus takjub tidak dapat ia sembunyikan. Pilar-pilar berdiri kokoh sepanjang lorong yang entah akan menuju ke mana, ia masih mengekor di belakang kepala asisten rumah tangga, pimpinannya itu. Sepanjang lorong ia bisa melihat hamparan hijau nan luas dari padang golf yang tersuguh nyata. Selama ini, ia hanya bisa melihat pemandangan seperti itu dari layar televisi saja. Saat senggang nanti, ia berencana mengabadikannya lewat kamera ponsel.

"Pagi, Ma, Pa ...." Trisha menyapa kedua orang tuanya yang sudah duduk manis di ruang makan.

"Ayo sarapan dulu, Sayang," sambut Claudya hangat.

Trisha mengangguk, menarik kursinya kemudian sudah bergabung di meja yang sama.

Menu sarapan pagi ini adalah semangkuk oatmeal, roti gandum dengan telur mata sapi berpadu dengan irisan gading panggang yang masih menguarkan asap tipis. Menu sarapan ringan, tetapi mengenyangkan. Tak lupa buah-buahan segar seperti anggur dan potongan apel turut serta menghias meja. Segelas orange Juice, susu putih dan tentu saja air mineral berjajar rapi menunggu bermuara, entah mana nanti yang akan diteguk, tergantung selera.

Suasana meja makan lengang. Semua tengah menikmati sarapan di piringnya masing-masing.

"Gimana kuliahmu, Tris?" Claudya memulai obrolan.

Trisha mendongak menatap mamanya, menelan terlebih dahulu potongan roti yang tersisa di dalam mulut sebelum menjawab. "Biasa-biasa aja, Mah."

"Lancar, 'kan?"

"Hmm. Minggu depan bakal mengunjungi pameran lukisan buat tugas. Seperti biasanya aja, Mah."

Admaja menghela napas samar. Anak gadis satu-satunya itu lebih menyukai dunia seni ketimbang bisnis. Trisha tidak berminat mengambil peran dalam keberlangsungan perusahaan-perusahaan yang ia bangun selama ini. Gadis berusia 21 tahun itu lebih nyaman berada di depan kanvas kosong kemudian memindahkan seisi dunia yang ia lihat ke dalam lukisan. Atau lebih rela tangannya kotor oleh tanah liat di genggaman, kemudian mengubahnya menjadi guci-guci cantik berbagai ukuran yang kini tersebar di setiap sudut ruangan.

Sebagai seorang Papa, Admaja tidak ingin memaksakan kehendak. Ia tidak keberatan dengan pilihan putrinya itu. Baginya, kenyamanan dan kebahagiaan putrinya jauh lebih penting.

Trisha meneguk air mineral pada gelas bening hingga tandas. Mengusap mulut dengan sapu tangan, ia telah selesai dengan sarapannya.

"Kalau, Mama gimana? Produk serum wajah terbaru kapan diluncurkan?

Ah, ya, selain Admaja, mamanya--Claudya juga bergelut dalam bisnis keluarga. Ia merupakan CEO dari klinik kecantikan dan perawatan tubuh yang sudah memiliki cabang di seluruh pulau Jawa. Tidak heran di usianya yang sudah menginjak kepala lima, Claudya masih terlihat awet muda.

PT. Claudy Beauty Center yang ia pegang, bernaung dalam satu perusahaan yang sama milik suaminya--PT. Admaja Group. Admaja Group merupakan kerajaan bisnis yang didirikan Admaja sendiri sejak 21 tahun lalu, yang kini sudah berkembang menjadi salah satu perusahaan raksasa dan menguasai berbagai sektor bisnis. Beberapa di antaranya di bidang perbankan, hiburan, kecantikan, properti, juga pemegang saham pada perusahaan-perusahaan besar sekaligus investor pada perusahaan rintisan. Jadi, sudah bisa dipastikan kekayaan keluarga ini tidaklah main-main.

***

Bersambung ☺️

Selamat datang di Jagat Raya Trisha ✨

Jika teman-teman suka boleh dimasukkan ke collectionnya ya ....

Jika ada kritik dan saran silahkan disampaikan dengan cara yang baik. Terima kasih 🙏

avataravatar
Next chapter