13 Pindah sekolah??

Hari sudah beranjak siang. Diva sudah memesan mie ayam dan es jeruk nipis. Kantin rumah sakit ini cukup sepi siang ini.. entahlah. atau karena ia yang terlalu lapar hingga ke kantin cepat cepat. Setelah tadi pagi datang beberapa pasien baru dengan gangguan jiwa yang cukup memprihatinkan. Tenaga dan pikiran Diva cukup terkuras. Kini ia bisa bernapas lega. 'Giliran waktumu Diva' batinnya seraya meminum seteguk air.

Diva mengernyitkan dahi ketika tiba tiba ponselnya bergetar. Muncul pesan popup dari Desi.

Desi : Kabar baik... Alhamdulillah mba Yumna dah turun panas... Walaupun masih agak anget dan pucet..

Diva : Bagus

Desi : Ada yang harus saya lakuin lagi gak?.

Diva : Gak ada. Makasih ya Des.

Diva menghela nafas lega. Detik berikutnya ia mengabaikan dua pesan yang datang beruntun. Tampaknya Desi lagi. Paling cuma bilang 'masama'. Dan satu pesan lagi dari si bocah tengik. Ia menatap malas layar benda persegi itu. 'pasti Zaky spam chat doang nih.. ahh udahlah...' Diva menaruh ponsel kembali kemeja. Ia mencoba abai dari bunyi getaran ponsel. Tak mau menunda makan siang lagi. Lambungnya sudah kosong dari pagi. Rasanya ada tali yang melilit sampai pinggangnya terasa semakin kecil. Walaupun Diva berniat melakukan program diet. Bagaimanapun ia tak mengharapkan langsing dengan menyengsarakan diri sendiri. Lagi pula itu baru 'niat'. Entah... apa tekadnya cukup kuat atau hanya macam impian anak kecil yang semangat diawal saja.

Setiap mie ayam selalu punya cita rasa berbeda. Tapi lain bagi Diva. 'enak atau enggak, kalau namanya mie ayam aku bakal tetep suka makan...' begitu fikir Diva. Itu adalah makanan favoritnya sejak dulu. Sejak tiba tiba ayahnya mengajak sekeluarga makan mie itu di pinggir jalan. Detik itu juga dia jadi suka olahan mie dengan suwiran ayam itu.

Karena bagaimanapun rasanya, setiap menikmatinya ia selalu bisa mengenang kenangan kehangatan keluarganya beberapa tahun silam.

Drrrrt.. Dddrrrtt... kali ini panggilan. Diva hanya melirik sekilas saat layarnya menyala. Satu nama bertulis 'Zakyt jiwa'. Itu jelas nomor adiknya. Siapa lagi kalau bukan Zaky. Diva mendengus kesal 'ni bocah kenapa sih? ganggu mulu!'

Mau gak mau Diva harus mengangkatnya, tatapan aneh dari banyak orang lumayan membuatnya risih. Ah yang benar saja. Dia dibuat malu hanya karena sebuah telfon.

Diva menyergap gelas buru buru. Minum akan menyegarkan pikirannya sebelum mendengar tong kosong berbunyi nyaring seperti Zaky. Tanpa sengaja gara gara tindakannya yang terkesan grasa grusu malah menyenggol sudut handphone hingga berputar putar. Wanita itu baru saja menyentuhkan mulutnya di bibir gelas. Dan saat itu juga matanya terbelalak saat benda persegi itu mulai menepi ke pinggiran meja. Malangnya Ia tak bisa berbuat banyak di waktu yang sempit itu.

Set! ponsel Diva kehilangan pijakan. Ahh maksudnya benda itu sudah pasrah dengan tarikan gravitasi. Jatuh bebas tanpa ada tedeng aling aling. Jika di lihat dengan kecepatan dua kali lebih lambat. Diva tak bergerak dari posisinya. layaknya patung yang matanya hampir keluar karena saking paniknya. Disaat seperti itu ia masih bisa menelan air, terlihat dari lehernya yang bergerak sedikit. Meski begitu akhirnya dia menutup mata kuat untuk menghindari pemandangan tragis itu. Ia yakin sebentar lagi Ia harus membeli handphone lagi atau sekedar memperbaikinya. Jelas Ia sudah membayangkan benda pipih itu akan remuk seketika.

Diva meletakan gelas perlahan seraya membuka sebelah matanya. Tak ada suara apapun. Padahal wanita itu yakin benda jatuh seberat itu, mustahil jatuh tanpa bunyi.

Dari sebelah matanya Ia langsung menangkap kehadiran cowok berkemeja putih yang tengah menyodorkan benda yang harusnya sudah jatuh beberapa detik lalu. Mendadak Tenggorokan Diva tercekat. Ia membuka sebelah matanya lagi dan membuat tatapannya terkunci dengan pria itu. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia bahkan lupa cara bernapas.

Ddrrt..ddrrtt... Bunyi itu berhasil membawa Diva kembali pada kesadarannya. hhh...Ia langsung menghembuskan nafas. Dan melempar pandang ke arah lain. Wanita itu tampak terengah. Ya.. faktanya Diva memang menahan nafas tadi. Kehadiran pria tampan ini cukup membuat pikirannya berantakan. Bahkan sekadar untuk bernapas yang ia lakukan tiap detik pun Ia lupa.

"Maaf dok...ini.." Ucap pria itu sopan. Ia bahkan memamerkan senyum yang membuat pipi Diva bersemu merah.

"ini dari...."

Diva segera merebut Ponselnya sebelum pria itu membaca nama kontak Zaky.

"Ma..makasih.." Entah kapan terkahir kali Diva merasakan hal aneh ini. Hanya dengan melihat wajah pria ini Ia sampai kehilangan kepercayaan dirinya.

"Iya...Terimakasih kembali... silakan angkat saja itu telfonnya.."

"i..iya..." Diva meringis kikuk. 'Bodoh! bersikap biasa aja sih! kenapa jadi salah tingkah gini!.' Kutuk Diva pada dirinya sendiri.

Drrt..drrt... tut! akhirnya Diva menerima panggilan Zaky setelah insiden memalukan tadi.

"Dari tadi kemana aja..!! aku dah...." lengkingan suara Zaky cukup memekakan pendengaran Diva. Wanita itu lantas dengan sengaja menjauhkan ponselnya. Malas mendengar ocehan tak bermutu dari Zaky. Ia mendesis sebal namun langsung tersenyum saat mendapati pria tadi masih berdiri ditempatnya.

Diva tersenyum kaku. 'issh..dia ngapain coba?. kenapa malah nungguin.. aku paling gak bisa diginiin.' ratap Diva dalam hati. Ia pun kembali menyimak kicauan Zaky yang belum selesai. Setidaknya Ia bisa meminimalisir rasa canggungnya sebentar.

"kaak...kakak..."

"iya...Assalamualaikum...." Diva menekankan ucapan salamnya.

"oh iya lupa hehe.." terdengar kekehan Zaky.

"Jawab dulu.." Diva sengaja bertele tele untuk memperpanjang durasi panggilannya dengan Zaky. Jujur ia ingin pria itu segera pergi.

"Waalaikumsalaaaaam...." Teriak Zaky tiba tiba. Entah sejak kapan dia sudah berada disamping Diva. Dengan pedenya ia tersenyum dan menaik turunkan alisnya di depan Kakaknya yang sudah murka.

Diva melirik tajam ke arah Zaky. Berusaha menahan emosinya yang sudah naik. Ia masih ingat dimana ia sekarang. Di rumah Sakit. dan ya! jangan lupa dengan pria tampan yang bodoh itu. Dia masih sabar berdiri di samping meja. 'tariik nafas Diva.. hembuskan.. jaga emosi kamu oke...' Diva menghela nafas berat.

"Maaf dok...boleh duduk disini..." Pria berkemeja putih itu kembali bersuara. 'Aah.. kirain dia bakal jadi patung pengawas selama aku makan.' batin Diva

"Duduk aja.. yang penting jangan jadiin saya obat nyamuk..." Ucap Zaky seraya hendak mengambil es jeruk namun langsung di tepis Diva.

"Pesen sendiri.." Diva menarik senyum yang dipaksakan yang lebih mirip seringai. Anehnya mata Zaky malah berbinar.

"Traktir ya... duitku dah abis buat belanja alat tulis tadi.." Zaky beranjak dengan semangat.

"Yak! ngapain lagi kamu nelpon kalo bukan karena ada maunya..." Diva menggerutu pelan. nafsu makannya sudah benar benar hilang.

"Perkenalkan... nama saya Pandu.." Pria itu menangkupkan kedua tangannya. 'Sangat sopan'. Diva diam diam memuji Pria yang ternyata bernama pandu itu. Namun sejak pandangan pertama beberapa saat lalu. Diva jadi tak berani menatap Pandu langsung. Ia tak mau lagi mempermalukan dirinya sendiri. berkata gagap tanpa sebab. Itu sangat memalukan!. Bahkan untuk mengatur ekspresi wajah pun terasa sulit. Semua badannya kaku. Salah tingkah!.

"Nama s..sa..saya....ee.." lirih Diva terbata bata. 'Ahh kenapa ini?! aissh..padahal aku dah gak natap matanya..duh!' Batin Diva makin gusar.

"Dokter Diva..." Ucap Pandu jelas. Reflek Diva mengangkat wajahnya. mengernyitkan dahi. 'gimana bisa dia tau?'. Pria itu kembali tersenyum. Ahh... jangan senyum lagi. Diva tak biasa dengan situasi ini. Diva memeriksa detak jantung dengan tangannya. nyatanya lebih seperti pukulan bedug. Sangat keras. Ini benar benar di luar kehendaknya.

'Oke..tenang....dia gak mungkin denger ini kan...?..gak!...gak mungkin lah...! tapi ini keras banget' pikir Diva dalam hati. Ia cukup cemas dengan suara detak jantungnya yang sampai ketelinganya.

"Apa dokter baik baik saja..?" tanya Pandu

"Kak Diva ngapain sih...?! gak jelas...!." Seru Zaky tiba tiba. Aissh kenapa bocah ini lahir sebagai manusia. Jelas jelas ia lebih cocok jadi makhluk astral. Supaya kemampuannya yang muncul tiba tiba itu tak mungkin mengagetkan siapapun. Ya! lebih baik jadi makhluk tak kasat mata.

Diva mendesis pelan. Zaky benar benar menguji emosinya.

"Saya gak papa..." Diva membenarkan posisinya. "Oh iya.. sepertinya anda punya perlu dengan saya... tapi maaf.. ini sedang jam makan siang... " Diva berusaha bersikap se-profesional mungkin. Ia harus melawan semua kegugupannya.

"eh.. maaf saya mengganggu... " Pandu tampak terdiam beberapa saat. "saya hanya ingin mengatakan terimakasih... Dokter sudah menangani ibu saya dengan sangat baik. Terimakasih...terimakasih.. sekali lagi saya minta maaf.." bersama uraian kata kata Pandu yang diucapkan dengan sungguh sungguh. Pria itu segera berdiri. Ia nampak tak enak. dan termenung cukup lama. Bingung akan melakukan apa mungkin...

Diva tertegun cukup lama. Pasalnya ini pertama kalinya Ia mendengar wali pasien yang memberi ucapan terimakasih dengan sangat tulus. dan apa yang telah ia katakan tadi?. Secara tidak langsung Ia sudah menyuruh Pandu untuk pergi. Aissh...kamu kenapa lagi Diva?!. Rasa bersalah mendadak mencengkeramnya erat. Ia tak bermaksud. Dan bukannya ia meminta maaf malah hanya bisa diam. Lidahnya kelu.

"Maaf...Pak Pandu... kakak saya gak berniat mengusir kok... bapak bisa duduk lagi.. mungkin setelah makan... bapak bisa sekalian pesan makan...." Zaky ikut berdiri dan mempersilakan pria itu untuk kembali ketempatnya.

"Ahh...tidak perlu...terimakasih.. saya hanya ingin mengatakan itu tadi... terimakasih... izinkan saya undur diri... assalamualaikum.."

Pandu memandang Diva sebentar. Wanita itu hanya diam. Dengan tatapan yang sulit di mengerti. Pria itu menghela nafas lega. lalu tersenyum. Karena sungguh... Ia hanya ingin mengatakan itu. Ucapan terimakasih yang Ia rasa malah belum cukup. Yang pasti ia sudah lebih lega. Seolah hutangnya sedikit demi sedikit sudah berkurang.

Pandu lagi lagi tersenyum. Senyum penuh kharisma dan wibawa yang membuat Diva lupa dengan apa yang sudah Ia lakukan. Ahh.. wanita itu tadi justru yang mengusir orang yang dikaguminya. Dan kini... Diva malah membalas senyuman itu tanpa dosa.

"Waalaikumsalam.." Ucap Zaky cukup keras. sengaja mengejutkan Diva. Wanita itu tersadar.

"Waalaikumsalam.." lirih Diva.

Pandu berlalu pergi. Aissh.. untuk kesekian kali Diva sudah mempermalukan diri sendiri. Diva hanya bisa menghela nafas pasrah. dan mulai menyantap mie ayam di depannya.

"Kak kabar Yumna gimana...?."

"Baik.. udah mendingan..." Tukas Diva. Ia jadi badmood sendiri.

"Bagus deh... Hari pertama sekolah... aku mau berangkat sama dia..."

Diva terkesiap. "Ulang... tadi kamu ngomong apa?..."

"Hari pertama sekolah, aku mau berangkat bareng Yumna.." Zaky nyengir.

"Ehh...kalian tu beda sekolah..."

"Kalo gitu aku mau masuk disekolahnya Yumna..." ucap Zaky dengan santai.

"Haha... dia di SLB dodol!... perasaan kakak dah pernah kasih tau deh.. ternyata kamu dah tua ya.. cepet pikun." Diva tersenyum remeh.

Zaky membeku. Otaknya buntu. Ia tak bisa membayangkan sekolah di tempat seperti itu. 'Pasti sepi banget.' Ia tahu, sekolah yang dimaksud untuk Yumna pasti SLB tuna rungu-wicara. Ia membayangkan tangannya melakukan bahasa isyarat. Aiish... rumit sekali. aha!

"Kalo gitu Yumna yang ikut aku... lagian aslinya dia kan gak seharusnya disitu."

"Iya juga ya... ko aku gak kepikiran..." Tukas Diva. Ia baru ingat, Sekolah yang dijalani Yumna saat ini justru yang membuat yumna makin terpuruk. Gadis itu seolah dengan sengaja di beri jalan ke dalam kegelapan. Di biarkan diam untuk selamanya. Miris!

"Tunggu apa lagi..." tinggg! Zaky memukul mangkuk dengan garpu. Tak peduli dengan orang orang yang menoleh penasaran. Zaky langsung melambaikan benda ber gigi tiga itu. untuk memberi jawaban mereka. 'ini hanya garpu' begitulah intinya.

"Aku harus mendiagnosa Yumna dulu..."

"Buat apa?. Lama gak?.."

"Segala sesuatu itu perlu bukti...hmm..soal waktu.... Untuk Yumna aku usahain cepet.. tapi....masalahnya ada di mamanya." Diva jadi pesimis hanya karena teringat Citra.

Drrt...drrt.. ponsel Diva kembali bergetar.

"... sekarang?...ya..!."

avataravatar
Next chapter