18 Cepet pulang ma!

"Eh..tunggu kak..." sela Diva sebelum panggilan itu berakhir. "Saya akan.... e..." perasaaan Diva makin tak karuan. Bilang?enggak! bilang? enggak!. bilang!

"Eee...maksud saya... Yumna akan saya masukan ke...."

"ke..?."

"Ke SMA Berlian..." Ucap Diva dengan Nafas tertahan. Namun tak ada jawaban. Helaan nafas citra membelah keheningan sesaat. Membuat Diva terhenyak. Apa yang dipikirkan ibu anak satu itu?.

"Jangan berharap banyak..." Ucap Citra akhirnya. Bagaimanapun Ia memang pernah mencoba melakukan hal itu. Mendaftarkan Yumna ke beberapa sekolah terdekat. Dan entah bagaimana caranya, kabar Yumna yang mendadak pendiam tingkat akut ternyata telah diketahui semua guru guru SMP yang Ia datangi. Mereka yang kalangan berpendidikan bahkan berani mengatai putrinya sebagai anak 'Gagu dan 'Budek'. Mungkin karena beberapa dari mereka pernah satu kampus dengannya. Hingga etika sebagai guru pun di abaikan mentak mentah. Citra tahu kedengkian temannya itu masih belum sirna. Tentang seorang Chandra Putra Adhyaksa yang lebih memilihnya. Seorang wanita yang mengaku tak akan pernah jatuh cinta.

Citra tak pernah mau membalas hinaan itu. Ia dari dulu diam hingga sekarang. Berlagak tak mendengar apapun. Cukup tau saja. Meladeni mereka tak akan menyelesaikan masalah. Meski Ia tak bisa menampik bahwa hatinya sudah tergores berkali kali tiap mengingat perlakuan orang lain terhadap dirinya dan anaknya. Lebih baik berusaha tegar untuk kesekian kali. Sekalipun itu salah, Ia tak punya bukti untuk membantah tuduhan keji itu.

Nyatanya, dulu Citra terlalu pelit untuk menyumbang air mata. Ia terlahir dari keluarga militer. Yang mengajarkan bahwa tangisan hanya membuang waktu. Dan takdir Justru mengenalkannya pada Chandra. Yang memberi banyak hal tentang rasa lain yang lebih menyentuh daripada Cinta terhadap kemiliteran. Gara gara Chandra, Citra juga memilih menempuh pendidikan psikolog. bukannnya militer. Sifatnya yang dingin dan cuek kepada orang lain seketika berubah drastis. Ia jadi periang dan penuh kasih sayang.

Sayang, takdir lagi lagi menunjukan jalan lain. Chandra dengan magic nya malah pergi lebih dulu. dan membawa pula semua pengaruhnya pada Citra. Bisa dikatakan, Citra tak pernah berubah. Ia hanya kembali pada Citra yang dulu sebelum bertemu Chandra. Dan semua kata kata kasar nan tegasnya itu adalah ajaran ayahnya yang pernah menjabat sebagai jenderal TNI.

Ya Tuhan... apakah Citra sudah salah langkah? dan ini adalah balasan dari kesalahannya di masa lalu. Meninggalkan keluarga hanya untuk hidup bersama Chandra. Ayahnya marah besar saat Ia menolak mengikuti jejaknya sebagai TNI. Ia sampai diusir malam itu juga. setelah acara kelulusan SMA. Tidak di anggap anak. Ya!.

Citra gelap mata. Demi membela Chandra. Ia berlaku tuli pada teriakan Ayahnya malam itu. Miris!. apakah Cinta sekuat itu?. Dunia seakan milik berdua. Siapa peduli dengan orang lain. siapapun itu, termasuk orang tua. Cinta memang gila!.

Dan kini..... Yang Ia bela bahkan sudah tiada. lalu apa yang Ia perjuangkan??. Ia sudah kehilangan keduanya. Keluarga yang sudah melupakannya dan suami yang telah meninggalkan dunia. Sekarang...Hanya Yumna yang masih ada. Dan menerima semua pelampiasan kemarahan Citra terhadap nasib pedihnya. Hatinya masih terpecah. Selalu berebut menguasainya. Kadang menyalahkan Yumna habis habisan sebagai pembunuh suaminya dan kadang juga menyalahkan dirinya yang telah mencampakaan gadis itu sepanjang waktu.

"Itu sekolah yang seharusnya untuk putri kakak.." Lirih Diva hati hati.

"Hmm... Anak itu sudah ditolak banyak sekolah karena kondisinya."

"Eeee... Saya rasa tidak untuk kali ini. dia akan pantas diterima disekolah itu. "

"Bagaimana jika pihak sekolah tahu kalau kamu mendaftarkan anak berkebutuhan khusus."

"Tidak... jika memang dipertanyakan perihal seperti itu. saya sudah lebih dulu siap dengan bukti pemeriksaan Yumna. dan saya yakin Yumna memang baik baik saja."

Bukti?!. Citra terpaku. Ia tak pernah mencari kebenaran kebisuan Yumna. Sejauh ini hanya praduga yang selalu Ia cocokan dengan

perilaku Yumna. Ia terlalu pasrah dengan takdirnya yang selalu buruk. Dan juga, Ia terlalu gengsi jika memberi perhatian lebih.

"Saya akan mengurus surat kepindahannya besok.. beserta semua perlengkapannya.." ucap Diva dengan pasti. Kepercayan dirinya makin membumbung tinggi.

Citra tak bisa berkata apa apa. Lidahnya kelu. Dadanya seolah penuh dengan perasaan Mengganjal. Ia merasa dilewati sebagai ibunya Yumna. Selangkah tertinggal dari Diva. Fakta!. Bagaimanapun Ia pernah mengatakan bahwa Diva bebas melakukan apapun kepada Yumna. Semuanya.

***

Seorang gadis tengah terpana pada pantulan sosok di cermin. Tentu saja itu dirinya. Ia tak bisa menahan senyum untuk hal menyenangkan ini. Ia mencocokkan setelan seragam yang terdiri dari kemeja putih dilapisi rompi ungu beserta rok kotak kotak berwarna senada.

"Cherry... aku cocok kan? pake ini..." ujar Yumna melirik pantulan kelinci putih di cermin. Ia segera berbalik dan menghambur memeluk erat si putih berbulu diatas kasur. Seragam tadi Ia bentangkan di disamping Cherry. Sekali lagi senyuman terukir diwajahnya.

"Aku gak tau apa bedanya mama sama tante Diva,...." Yumna menerawang keatas langit langit rumah. "Eh kak Diva..." Ralatnya.

"Kenapa aku bisa diterima pas kak Diva yang ngewaliin aku... Dan pas Mama... gak terlalu inget siih...tapi intinya aku malah berakhir di SLB." Yumna menaruh Cherry kembali. Ia juga ikut mengehempaskan diri keatas kasur empuk miliknya. Menghela nafas berat.

"Aku juga gak tau... kenapa kak Diva bisa sebaik ini...." Yumna membalikan tubuhnya. menumpukkan dagu diatas jari jemarinya.

"Aku bisa gak ya..... nanti..." Ucapnya sembari membelai lembut kelinci peliharaannya.

Sudah dua hari sejak Ia di ajak ke Rumah sakit oleh Diva. Selama itu tetangganya itu tak pernah datang kerumah. Dan tiba tiba pagi tadi membawa kejutan yang tak pernah terbayangkan. Diva membawa seragam SMA lain dan memberikan padanya. Katanya ini adalah seragam yang harus Yumna kenakan besok. Diva bilang Ia telah resmi pindah ke sekolah umum. Bagaimana bisa?. Yumna tentu tak percaya. Namun pemberian seragam itu cukup menggoyahkan keraguannya. Mana mungkin sekolah memberikan seragam kepada sembarang orang. Ini SMA Berlian. Diva juga mana mungkin sejahat itu membohonginya.

Mengingat kebaikan Diva, Yumna jadi tak berani berharap lebih soal pengirim paket beberapa hari lalu. Pastilah itu Zaky. Mereka memang keluarga baik baik. lalu apa salahnya?. Dan sikap mereka lambat laun telah melenyapkan kata asing di benak Yumna. Perlakuan dan kata kata mereka secara ajaib mampu membuka kembali telinga dan hati Yumna. dan mungkin suaranya adalah hal selanjutnya

Yumna melempar pandang pada kotak yang berlapis kertas kado gambar hati. sedetik kemudian Ia menarik nafas dan menghembuskan nafas pasrah. Ya... lupakan saja soal penggemar rahasianya. Siapa pula yang akan menyukai nya diam diam.

Agaknya Novel yang Ia baca sudah memberi impian semu soal kisah cinta yang mujur. Yumna tertampar dengan kenyataan pahit bahwa dia hanya Semut yang hidup sendiri di padang ilalang. Tak ada siapapun yang akan melihatnya. Atau sekedar mencarinya. Ia hanya akan terbiasa dengan beban hidup yang Ia pikul sendiri. layaknya semut yang bisa menahan beban berat bahkan melebihi massa tubuhnya sendiri.

"Gimana bisa ada orang suka? Aissh teman sekelas aja aku gak kenal gak apal... di perumahan Puri Grisenda ini, dari penghuni lama sampai yang baru... aku cuma kenal kamu cherr, satu lagi.. sama kucing yang sering lewat didepan itu tuh...hmm.. Aku kayak hidup, kayak engga." Yumna mengigit bibir bawah sekejap. "Oke...ada kemajuan... ditambah Zaky dan Kak Diva."

Setelah mengikuti beberapa kisah dari novel novel itu. Ia semakin merasa dirinya lebih mirip Zombie. Seolah hidup hanya untuk melewati waktu tanpa berpikir ingin mendapat kesenangan hidup. Hanya makan makan dan makan. Apa ada hal lain?. Oh iya..sekolah. Yumna suka belajar. Tapi sendiri. artinya tanpa orang lain. Kehadiran orang lain membuatnya seperti Kelinci sungguhan. Bisa mendengar namun tak bisa mengekspresikan dengan bahasa manusia. Ahh iya, ada satu kelebihannya yang paling menonjol, Yumna sangat fasih menggunakan bahasa patung. Ya, apalagi kalau bukan diam.

Yumna kini paham betapa mengerikan dirinya. Ia seperti perempuan dengan aura misterius yang selalu membayanginya kemanapun. Tentu jauh sekali dari pemain utama cerita yang Ia baca. Periang, energik penuh semangat dan yang pasti terbuka kepada siapapun. Yumna menghela nafas berat. Ia sungguh ingin merasakan indahnya jatuh cinta. Tapi bagaimana bisa jika ia masih dengan karakternya yang membosankan. Aissh..kenapa gadis seperti Yumna bisa sefanatik ini dengan rasa cinta.

"Aku pasti bisa berubah..." Yumna melangkah cepat dan langsung memposisikan diri duduk di depan meja belajar. Kotak berisi Buku itu dibalik Hingga isinya jatuh berserakan. Matanya melebar mencari buku yang ia inginkan. Tangannya makin aktif menggeser buku yang mungkin menutupi buruannya. Hingga aktifitasnya terhenti saat buku bersampul biru laut mengisi bola matanya.

"Nah.. ini dia... melawan rasa takut..." seulas senyum terlukis di bibir Yumna. 'ini pasti akan membantu' pikirnya. Faktanya, masalah terbesarnya selama ini adalah rasa takut. yang berhasil melumpuhkan hati dan pikirannya. Bodoh! 'Kemana saja kau Yumna. Bertahun tahun waktumu habis hanya untuk menjadi mayat hidup.' Cibir Yumna pada dirinya sendiri. Intinya Ia bisa menghembuskan nafas lega sekarang. 'Ma, cepatlah pulang... aku akan menyambutmu dengan senyum termanisku...' Tekad Yumna dalam hati bersama senyum yang terukir optimis. Namun detik berikutnya ia kehilangan semangat.

"Ma.. aku serius... cepet pulang!! ma....pulaaang!.." Teriak Yumna tertahan. Hatinya seketika sesak. Betapapun Ibunya tak peduli. Citra tetap ibunya. Yang benar benar keluarganya. Hmm.. Mamanya tak pernah selama ini pergi. Hampir 3 hari atau 4.. ahh malah Yumna pikir sudah sebulan mama di luar kota.

Serasa ada yang hilang entah dibagian mana. Menerima sikap Citra yang sebeku es di kutub selatan. Seolah jadi asupan wajibnya setiap hari. Hingga ketika beberapa hari terakhir ini telinganya istirahat dari cacian Citra, Yumna justru malah merindukannya.

Apa mungkin mamanya sudah sampai dipuncak kejenuhan hingga memutuskan lepas tangan darinya?. Ahh.. Menghadapi gadis seperti dirinya pasti bukan perkara mudah. selalu betingkah layaknya tembok. Sama sekali tak peduli dengan rentetan ucapan Mama yang berlembar lembar jika ditulis. Siapa yang akan tahan dengan Yumna?. pandangan Yumna mengabur saat genangan air sudah memenuhi matanya.

Membayangkan diri sendiri yang begitu tak berguna ternyata cukup mempermainkan perasaan juga. Rasanya hati ini sudah lelah menerima semua kemungkinan buruk yang pada akhirnya selalu benar benar terjadi. Seperti kali ini.. mungkin Mama akan benar benar ingin membuangnya.

Ahh Dadanya makin sesak dengan kepedihan ini. Pikiran Yumna selalu berhasil menyiksanya tiap waktu. Memberi bayangan paling Buruk tentang hidupnya. Membuatnya semakin takut menjalani hidup. Padahal ketakutan itu hanya ada di pikirannya.

Yumna terisak menelungkup di atas buku buku itu. Bahunya berguncang seiring tangisannya.

Ceklek... Yumna membeku seketika saat mendengar langkah cepat yang kian memburu menghampiri.

Ternyata itu Desi. Ia menjatuhkan diri di lantai dengan duduk bersimpuh.

"Mba Yumna... maafin saya... pasti mba udah laper banget ya... belum makan siang.... duh! udah jam 5 sore lagi...." Desi memandang jam dinding sekilas. Ia mendesah sesal.

"Sampai nangis begini... maaf mba maaf.." Cerocos Desi seraya menunduk berkali kali. Badannya maju-mundur mengikuti gerakan kepala.

"Ya Allah mba.. saya bener bener lupa.. Ya ampun..mba ko ngamuk gini sih... bukunya diberantakin." Racau Desi panik sambil sesekali mendongak memperhatikan keadaan meja yang kacau balau.

Sementara itu Yumna mendadak kehilangan moodnya untuk menangis. Memalukan sekali jika Ia menghadapi Desi dengan mata sembab. Aissh.. Benar benar merepotkan!. Sekarang apa yang harus ia lakukan?

"Mba... saya faham kok, laper emang bikin baper.... tapi maafin saya dulu..ntar abis ini saya langsung masakin." Pinta Desi.

Yumna mengehela nafas cepat. Desi menegang saat Yumna menegakkan badan meski membelakanginya. Gadis itu tampak mengusap kasar pipinya yang terlanjur basah.

Desi mencengkeram dadanya. Detak jantungnya makin cepat menunggu keputusan terakhir majikannya itu. Ahh..apa jantungnya bisa bertahan dalam situasi ini?

"Jadi dimasakin apa engga mba..?." tanya Desi takut takut.

Yumna mendesah kesal saat matanya yang masih basah dan tiba tiba sedikit gatal. Aissh..pasti ia terlihat jelek dengan mata merah. Iapun mengucek mata berkali kali seraya menggeleng tegas demi menjawab pertanyaan Desi.

Desi meringis ngeri. Ia yakin Yumna benar benar marah. Ahh... dasar ceroboh!. bagaimana bisa hanya karena bertemu teman sekampung jadi lupa waktu. pekerjaannya jadi terbengkalai.

"Mba..." Lirih Desi lagi. Mata Desi terfokus pada kaki Yumna. Jika itu bergerak mungkin kursi itu akan berputar menghadapnya.

Yumna akhirnya pasrah juga. Biar saja malu. daripada terus mendengar kicauan Dari mulut Desi. Ia harus membuat ART nya itu segera keluar.

Set!

"Aaa... iya iya mba...nanti malam saya gak bakal telat buat makan malaaaam." ucap Desi yang terlalu takut untuk melihat emosi Yumna. Sebelum putaran kursi Yumna berhenti, Ia dengan kecepatan penuh segera lari menyerbu pintu untuk keluar. Brak! gerakannya yang terlalu tergesa gesa malah membuat kegaduhan saat pintu tertutup keras.

Yumna tersentak dengan suara bantingan pintu. Tak ada siapa siapa saat ia sudah berputas 180°. Jadi Desi baru keluar?. Ia mengernyitkan dahi. Ada apa dengan ART nya itu?. Ahh.. Abaikan..

"Hmm kayanya aku mesti rajin rajin kunci pintu...mba Desi kadang lupa ngetuk pintu dulu." Yumna berjalan gontai menuju pintu. Detik berikutnya terdengar pintu yang dikunci. Gadis itu kembali berbalik dan mengambil buku berwarna biru laut sebelum duduk diranjangnya. Sedikit melirik Cherry yang sedang terlelap. Dengan santai diambilnya wortel yang tinggal setengah dan langsung memakannya.

Ia menatap buku dipangkuannya seraya tersenyum lega. Entah kenapa, hanya dengan melihat bukunya pun ia merasa mendapat transferan kebahagiaan. Padahal Ia belum mulai membaca sama sekali.

"Makasih Zak... aku ngerasa terlahir kembali.." lirihnya seraya mendekap buku itu erat. Mendadak Ia jadi ingat buku yang di rekomendasiin Zaky saat di perpus. Yumna kembali beranjak ke kumpulan buku buku.

'Cinta semanis obat'. Tak butuh banyak waktu. Ia langsung menemukannya. Alisnya bertaut. Kenapa Ia baru sadar kalau judulnya itu cukup aneh. 'Cinta Semanis Obat'. Ah yang benar saja. Kebanyakan obat itu pahit. Kecuali obat anak anak tentunya. Ah ayoolah.. ini Novel romansa. Bukan dongeng anak anak.

"Menarik siih..." Yumna malah jadi lupa dengan buku yang pertama. Ia tanpa sadar meninggalkan buku tadi diatas tumpukan buku lain.

Sekarang fokusnya teralihkan pada novel yang baru saja diambilnya. Buku satu ini cukup menarik minatnya. Dengan judul yang membuat penasaran. dan ini juga rekomendasi dari orang macam Zaky. Jujur, Yumna ingin tahu, selera bacaan Zaky seperti apa.

"Lupakan masa lalu... nikmati yang sekarang, dan optimis dengan masa depan..." lirih Yumna. Semoga besok. Hari pertama sekolahnya berjalan lancar.

avataravatar
Next chapter