webnovel

ini duniaku, ini mimpiku

jam menunjukkan pukul empat, saat sayup-sayup terdengar suara adzan subuh. Irwan pun bangun.

"Ah ... sial ... belum selesai nih," runtuknya melihat papercraft buatannya masih belum selesai.

"Kamu tuh gak bisa dibilangi ya, sudah papa suruh berhenti buat gituan, kok masih buat, mau melawan papa, ya...!" bentak papanya saat melihat meja yang masih berantakan karena potongan kertas dimana-mana. Irwan tidak menjawab dan lebih memilih untuk segera membereskan meja.

"Itu masih ada yang tertinggal ..., di dekat kaki meja!" ucap papanya lagi.

"Iya ... iya, ini juga sedang dibereskan." Irwan menimpali dengan nada yang sedikit ketus.

Begitulah kesibukan Irwan setahun belakangan, membuat kerajinan papercraft. Papanya terlihat kurang suka melihat kegiatan Irwan.

"Kamu itu sudah papa buatkan warung, harusnya kamu kelola warung itu, fokuslah mengembangkan warung," ucap papanya saat sarapan.

"Tapi, pa ...." Irwan hendak menjelaskan tapi ia memutuskan untuk tidak melanjutkan.

"Apa ... mau membantah ya!" bentak papanya.

Melihat kondisi seperti itu, Irwan hanya menjawab singkat, "Tidak, pa...."

"Udah, ayo sarapannya dihabiskan dulu, suasana ruang makan jangan sampai panas, ya" mama Irwan segera melerai.

Irwan pun segera menghabiskan sarapannya, ia sadar berdebat tidak akan menghasilkan apapun.

"Irwan pamit dulu, ya."

setelah itu ia langsung bergegas, 'lebih baik ke warung daripada di rumah'

Dengan telaten ia kelola warung tersebut, sambil sesekali menyelesaikan papercraft nya, tentu saja secara diam-diam. Ia yakin suatu saat nanti, apa yang dikerjakannya mampu menghasilkan uang.

Awal ketertarikan Irwan pada dunia papercraft dimulai saat ia membeli selembar template di sebuah bazar. Sejak itulah, ia mulai mencoba membuat sendiri template nya dan merakitnya.

"Kamu gak bosan ya, mainan itu terus?" tanya Papanya suatu hari.

"Ini bukan sekedar mainan, ini bisa dijual," jawab Irwan sabar. Ia sudah paham kemana arah pembicaraan tersebut.

"Kapan, kalau bahannya seperti itu, apa ada yang mau beli?"

Irwan tak menjawab, ia lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya dan segera berlalu.

"Hei, Papa belum selesai bicara!"

"Akan aku buktikan, apa yang aku kerjakan tidak sia-sia. Lihat saja nanti!" gumam Irwan kemudian.

****

"Ah ... akhirnya selesai juga, foto dulu." Irwan bergumam puas saat replika buatannya selesai. Ia lalu mengatur posisi karyanya agar pas difoto.

"Nah, kalau gini kan cakep," ucapnya melihat hasil jepretannya.

"Permisi, selamat siang. Mas beli mie rebus dua, ya!" pinta seorang pengunjung. Seorang gadis manis berhijab biru.

"Oh ya, ini, Mbak. Semuanya lima ribu," ucap Irwan sambil menyerahkan plastik.

"Ini, Mas," jawab gadis tersebut sambil mengulurkan selembar uang lima ribuan.

"Ada yang lainnya, Mbak?" tanya Irwan melihat tamunya tak beranjak.

"Mmm... itu apa ya, Mas?" tanyanya menunjuk salah satu karya Irwan.

"Oh, ini papercraft, Mbak. Ini yang model kendaraan," jelas Irwan sambil mengambil papercraft yang ditunjuk. "silahkan, Mbak."

"Bagus ya, ini kamu buat sendiri?"

"Iya, Mbak," jawab Irwan mantap. Matanya berbinar saat menjawab. Dalam hati ia berkata, 'akhirnya ada yang melirik karyaku'

"Dijual berapa, bisa order model lain?" tanya gadis tersebut yang membuat Irwan terkejut. 'Ada yang melirik saja sudah bagus, ini malah langsung order' begitu batinnya.

"Kalau yang Mbak pegang itu harganya sepuluh ribu, lainnya macam-macam, tergantung kerumitan. Kalau yang termurah tujuh ribu lima ratus. Paling mahal lima belas ribu, yang mobil balap itu," jelas Irwan sambil menunjuk replika mobil F1 buatannya.

"Kalau mau order model lain bisa, nanti Mbak tinggalkan nomor handphone dan model yang diinginkan, maksimal satu minggu jadinya," tambahnya.

"Oh gitu, cukup menarik. Coba deh, pesan satu."

"Oke deh, siap. Silahkan tulis disini ya!" ucap Irwan bersemangat.

"Oh ya, kenalkan, saya Aira."

"Irwan," jawab Irwan membalas uluran tangan Aira.

"Yes ... order pertama, langsung buat ah!" teriaknya. Ada sedikit rasa bangga terpancar.

"Saatnya membuktikan pada Papa kalau apa yang aku lakukan tidak sia-sia."

Segera ia membuat sketsa dari model yang diminta Aira. Tak terasa sudah saatnya pulang. Dengan sedikit keraguan, ia membawa sketsa tadi ke rumah.

"Irwan ... nekat ya, kamu. Mau jadi pembangkang!" bentak Papanya saat melihat gulungan kertas.

"Ini pesanan orang, tadi ada pengunjung lihat karya Irwan dan akhirnya pesan satu." jawab Irwan santai.

"Benarkah, wah ... hebat kamu, Nak," tanya Mamanya takjub.

"Iya, Ma. Irwan sendiri gak nyangka."

"Alasan saja kamu ini, supaya Papa mengizinkan kamu buat papercraft!" Ucap Papanya ketus.

Mendengar tuduhan Papanya, Irwan mengeluarkan secarik kertas dari tasnya.

"Ini dari yang pesan. Namanya Aira," ujarnya seraya menunjukkan kertas tersebut pada Papanya.

"Ya sudah kalau memang begitu, selesaikan secepatnya."

Irwan tersenyum senang. Segera setelah selesai makan malam, ia melanjutkan pesanannya. Tiga hari berselang, pekerjaannya selesai. Irwan langsung mengabarkan pada Aira.

[Mbak, pesanannya sudah jadi, besok bisa diambil.]

tak lama, balasan dari Aira datang.

[Oke, terima kasih ya, besok saya ambil sore.]

Setelah pesanan tersebut, Aira semakin sering berkunjung. Baginya, dunia papercraft adalah dunia yang baru. Irwan pun dengan sabar menjelaskan.

"Wah, keren ... kalau boleh tahu, sudah berapa lama di dunia papercraft ini, sampai mahir seperti ini?" tanya Aira setelah melihat Irwan membuat replika mobil.

"Terima kasih, saya sebenarnya masih terbilang baru. Baru satu tahun an lah. Kalau sudah paham cara buatnya sebenarnya gampang. Bahkan kamu juga bisa. Mau aku ajari?" jawab Irwan sambil menawarkan Aira untuk latihan membuat papercraft sendiri.

Aira tersenyum mendengar tawaran tersebut,

"Tapi pelan-pelan ya ngajarinnya," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Siap!"

Hari demi hari, Irwan dengan sabar membimbing Aira hingga kemampuan Aira semakin terasah.

Next chapter