3 Little Thing

Selama 1 minggu ini, kami habiskan dengan mendekor kelas dan mempersiapkan kostum kelas.

Kelas kami ada sedikit perdebatan kecil antara para pria dan para wanita, namun hasil akhirnya adalah kami memakai kostum onesie hewan.

(Onesie adalah adalah jenis pakaian kasual longgar jumpsuit untuk orang dewasa yang terbuat dari rajutan katun (seperti yang digunakan dalam kaus ), bulu , atau chenile.)

Hari ini adalah hari sebelum festival dimulai, suasana begitu ramai dihiasi oleh berbagai dekorasi, entah itu lorong, koridor, atau bahkan kelas.

Hari menjelang sore, tapi orang-orang masih berlalu-lalang di sekitar sekolah, begitu pula denganku.

"Aku tidak mau memakai kostum itu, kau pikir pakai itu tidak panas?" Ucapku dengan suara yang terdengar lesu.

"Kau masih mending dapat kostum beruang. Aku dapat kostum kera, sialan"

"Apa lebih baik kita tidak sekolah saja saat festival?"

"Kau ingin bolos sekolah selama 1 minggu? Kau nantinya akan menyesal"

"Memang ada hal yang penting terlewatkan?"

"Ketua akan memakai kostum kucing putih, dia pasti akan terlihat sangat imut"

"Memang akan berpengaruh besar?"

"Lihat, imut bukan?" Dio tiba-tiba menyodorkan ponselnya. Disana terdapat gambar seseorang sedang memakai kostum kucing berwarna putih menutupi seluruh badannya kecuali wajahnya. Wajahnya terlihat begitu putih serasi dengan kostum itu, kacamata yang dia pakai mengesankan kalau dia memang gadis pintar sekaligus imut. Dia salah satu gadis tercantik dari Angkatanku.

"Darimana kau dapat foto itu?" Aku menatap heran ke arah Dio.

"Rahasia perusahaan" Dio tersenyum jahat.

Sejauh mana informasi yang dia punya?"

"Bagaimana dengan Elina?"

"Sudah kuduga kau tertarik dengannya..."

"Aku hanya penasaran saja"

Dia mengutak-atik ponselnya lalu memperlihatkan foto Elina masih memakai seragam sekolah sedang memilih pakaian di toko baju.

"Kalau tidak salah, temanya bajak laut, Aku tidak punya foto saat dia memakai kostumnya"

Kukira dia akan memakai baju putri kerajaan atau sejenisnya.

Tiba-tiba ponselku bergetar.

Setelah aku cek, ternyata ayahku mengirim ku sebuah SMS.

Kurang lebih isinya adalah ayahku mengajakku makan malam di luar. Ini sudah menjadi acara rutin selama 1 minggu sekali.

Ayah biasanya pulang larut malam, selain hari libur, aku hanya bisa bertemu pagi hari dan malam hari saja.

"Makan malam di luar lagi?"

"Begitulah, kau mau ikut?"

"Kali ini aku tidak ikut, banyak informasi yang harus aku dapatkan"

"Baiklah"

Aku membalas pesan ayahku.

Sampai saat ini, aku tidak pernah sekalipun menolak ajakan ayahku itu, ini sudah seperti semacam tradisi mingguan dalam keluargaku.

"Hei, minggir! Minggir! "

"Hahaha, awas! Awas!"

Terdengar dua orang pria sedang berteriak.

"Berisik seka-"

*bruakk

"Ukhh sial"

Aku tertabrak oleh salah satu orang itu.

"Brengsek, kau pikir ini arena bermain" Setelah mengucapkan itu, aku berdiri sambil menepuk-nepuk seragam sekolahku.

"Hah? Kau kan yang menghalangi jalanku! Enyah sana" Orang itu berdiri dan diam tepat di hadapanku.

Brengsek.

"Hah?" Aku menatap dengan dingin ke arahnya.

"Apa? Mau berkelahi?"

"Hajar saja, Ren" Teman pria brengsek itu ikut berbicara.

Jujur saja, aku ingin menghajar wajahnya saat ini, tapi jika aku menghajarnya, aku pasti akan berada dalam masalah. Aku bisa saja di skorsing atau bahkan orangtuaku dipanggil. Lagipula aku benci saat aku diperhatikan oleh orang banyak.

Aku memejamkan mataku kemudian menatapnya.

"Ah tidak, maafkan aku" Aku menundukkan kepalaku sambil mengepalkan tanganku. Jika aku tidak menahannya, aku pasti sudah menghajar wajahnya.

"Heh, begitu lebih baik, dasar bocah sialan!"

Dia kemudian berlari bersama temannya tadi.

"Untung kau bisa menahan amarahmu" Ucap Dio.

"Masalah akan lebih merepotkan jika aku menghajarnya, lagipula... Aku punya janji malam ini"

"Kau benar, lagipula para berandalan itu akan lulus sebentar lagi"

"Jadi dia kelas 3?"

"Renald dan Rio, mereka terkenal karena kenakalannya. Kemaren saja, dia baru di skorsing karena ketahuan merokok"

"Pantas saja mereka brengsek"

Sepertinya ada yang hilang... Tapi apa?

"Ini kelompok mereka, kau jangan sampai berurusan dengan mereka" Dio menampilkan foto segerombolan orang sedang foto bersama, kurang lebih mereka berjumlah 5 orang termasuk Renald dan Rio

"Oh iya, ponselku!"

Aku seketika mencari ponsel itu di sekitar tempatku jatuh.

"Ponselmu tadi jatuh" Salah satu siswa menunjuk salah satu jendela yang berada di lorong.

"Hah?"

Aku dan Dio serentak melihat kebawah dari salah satu jendela di lorong.

Tepat di bawah aku bisa melihat 3 orang sedang menatap ke atas sambil memasang wajah jengkel. Aku bisa melihat salah satu orang itu membawa ponselku sambil menyentuh kepalanya.

"Kemari kau bangsat"

Orang itu berteriak keras ke arahku.

"Pasti ponselmu mengenai kepalanya, kau masih beruntung" Ucap Dio

"Aku akan kesana segera!" Aku membalas teriakan itu.

Aku dan Dio berlari menuju tempat itu.

Karena Dio tahu jalan pintas, kami kesana lebih cepat dari perkiraan.

Tempat ini dihimpit oleh dua gedung, jadi cahaya dari Matahari tidak sampai disini. Tempat ini sudah seperti tempat terisolasi.

"Kalian sudah sampai disini dasar brengsek"

"Kalian para pecundang yang tadi!" Salah satu orang itu menunjuk ke arahku.

"Wah kebetulan sekali, kalau kalian kemari sih, aku bisa membalas tindakanmu tadi" Orang yang lain berbicara sambil menggerakkan bahunya dengan tangan mengepal.

"Siapa mereka?" Aku bertanya ke Dio

"Orang yang tadi, bodoh!"

"Wah kebetulan sekali" tanpa sadar aku tersenyum kecil.

Jika ditempat seperti ini, aku yakin tidak akan menimbulkan masalah.

"Yaa, memang kebetulan, disini aku bisa Menghajarmu sepuasnya" orang itu meregangkan lengannya layaknya sedang pemanasan.

"Butuh bantuan?" Orang yang lain berkata sambil tertawa kecil.

"Tidak, itu tidak perlu"

"Dio, pastikan tidak ada orang yang melihat, aku tidak ingin dipanggil ke ruang guru hanya karena ini" Kataku.

"Baiklah, jangan menghajar mereka terlalu berlebihan seperti dulu, kau bisa benar-benar mendapat masalah nanti"

"Tenang saja, aku akan berlaku lembut pada mereka

" Kuharap begitu"

Dio berbalik kemudian dan berjalan pergi.

Hei! Hei! Kemana temanmu itu? Apa jangan-jangan dia kabur?"

"Temanmu itu ternyata lebih pecundang darimu yah... "

Orang yang di belakang mereka tertawa dan menyoraki mereka dengan berbagai kalimat seperti "ayo hajar mereka" Atau "beri mereka pelajaran.

Suasana disini sudah seperti berada dalam suatu pertandingan boxing saja.

Renald dan Rio berjalan perlahan menuju ke arahku dengan wajah yang terlihat percaya diri.

Aku yakin alasan mereka terlihat begitu percaya diri adalah karena saat ini mereka berkelompok.

"Pecundang itu kalian, bangsat" aku menatap datar ke arah mereka berdua.

Renald berlari ke arahku dengan wajah jengkel.

"Kau! jangan sok keren bangsat!"

*bruakhh

Aku menendang perutnya, membuatnya terjatuh.

"Siapa selanjutnya?"

X--X

"Maaf, aku tidak bisa menghentikan gadis ini"

Saat aku berbalik, aku bisa melihat Elina bersama Dio. Wajah Elina sedikit terkejut.

"Apa yang terjadi! Tunggu... Kau berdarah"

"Ah" Aku mengusap darah yang mengalir dari hidungku. Aku terdiam sesaat kemudian tersenyum kecut "tolong jangan beritahu kejadian ini pada guru"

Situasi ini memang sulit dijelaskan. Kelima orang itu tergeletak di tanah, dan hanya aku sendiri yang berdiri disana.

Dilihat bagaimanapun, aku yang terlihat seperti preman disini.

"Baiklah, asal kau jelaskan semua ini" Elina kemudian membalikkan badannya dan berjalan seakan memberi isyarat untuk mengikutinya.

Saat aku berpapasan dengan Dio, aku memasang wajah jengkel.

"Dasar tidak berguna"

"Dia mencubit tanganku, lihat" Dio menunjukkan lengan yang dicubit itu, bekas dari cubitan itu berwarna biru.

Sekeras apa sampai menimbulkan bekas seperti itu?

"Kau tidak boleh ikut, mengerti"

"Tenang saja, aku tidak akan menganggu pasangan baru seperti kalian" Wajahnya terlihat begitu menyebalkan.

"Dasar sialan, sudah kubi-"

"Apa yang kalian lakukan!? Bukankah kau ingin menjelaskan situasi tadi?"

...

Saat ini aku dan Elina sedang berdiri di depan lapang basket. Suasana cukup sepi disini karena tidak ada yang sedang bermain basket.

"Jadi begitu, memang makan malam bersama ayahmu itu sebegitu pentingnya yah?"

"Dia orang yang paling aku hormati di dunia ini"

"Enak yah, punya keluarga yang harmonis seperti itu... Aku tidak akur dengan keluargaku, khusunya ayahku" Wajahnya terlihat kesepian, persis seperti kemarin.

Harmonis kah? Kurasa kalimat itu tidak cocok sama sekali dengan situasiku saat ini.

Aku tidak punya keberanian untuk menanyakan alasan mengapa mereka tidak akur, lagipula setiap orang punya masalahnya masing-masing.

"Apapun alasannya, orangtua pasti akan selalu sayang dan peduli pada anaknya, mungkin kalian hanya kurang komunikasi" tanpa sadar aku menatap ke atas langit "Cobalah sesekali kalian mengobrol, meski obrolannya tidak penting, itu bukan masalah"

Elina diam sebentar kemudian menatap ke arahku.

"Kau ini aneh ya... Kau bicara seperti orangtua saja"

Tanpa sadar aku tersenyum kecil setelah mendengar perkataan itu.

"Aku memang bijak, bahkan melebihi orangtua pada umumnya"

"Tadi itu bukan pujian! Dasar preman!" Wajahnya kini terlihat sedikit jengkel.

"Begitukah?"

Setelah mengatakan itu, Tiba-tiba ponselku bergetar. Saat aku mengecek ponselku itu ternyata getaran itu berasal dari alarm yang sudah aku pasang sebelumnya. Layar ponselku menunjukkan jam 17.10

Sial, aku sampai lupa.

"Ayahmu?"

"Bukan, ini alarm. Sepertinya aku harus pergi sekarang... Tolong rahasiakan kejadian tadi"

"Aku akan merahasiakan kejadian ini, tapi kau harus membantuku"

"Ini bukan sesuatu hal yang ilegal bukan?"

"Hah!? Kau pikir aku gadis macam apa?" Elina tiba-tiba mencubit lenganku dengan keras.

"Awww! Hentikan! Baik, baik, aku akan membantu!"

"Harusnya kau bilang begitu dari awal... Mulai besok, jika ada seseorang yang melanggar atau berbuat onar atau mungkin sesuatu yang akan merusak acara festival, kau harus segera melapor padaku"

"Jadi aku semacam mata-mata?"

"Kau cocok untuk masalah seperti ini, kau kan tidak terkenal"

"Baiklah, itu bukan hal yang sulit. Aku tinggal melapor saja kan?"

"Iya" Elina kemudian menunjukkan layar ponselnya "ini nomor ponselku"

Aku dengan cepat menulis nomor itu di dalam ponselku dan menyimpannya.

"Sekarang, aku boleh pergi kan?"

"Memangnya sejak tadi aku melarangmu?"

"Benar juga....kalau begitu, sampai jumpa"

Elina hanya mengangguk mendengar kalimatku itu.

Aku meninggalkan lapang basket, meninggalkan gadis itu disana.

Perlahan demi perlahan langit mulai menjadi gelap, Orang-orang yang tadinya berada di sekolah kini mereka mulai terlihat berjalan keluar ke pintu gerbang sekolah.

meski langit mulai menjadi gelap, tapi wajah mereka masih terlihat begitu cerah... Pasti ini efek dari festival yang akan diadakan besok.

meski ini berlebihan, tapi....

Kuharap festival terakhirku ini akan menjadi salah satu kenangan yang tidak akan bisa dilupakan.

avataravatar
Next chapter