2 Atmosphere Before The Festival

Pagi ini aku mendapat berita yang cukup mengejutkan.

Ayahku mendapat promosi dan dia akan dipindahkan ke cabang yang lain. Katanya, kita akan pindah 2 minggu lagi.

Sebenarnya aku cukup menyukai sekolah ini, lagipula, jika aku pindah sekarang, aku akan sulit membaur nantinya.

Meski ini sulit, tapi apa boleh buat. Aku pernah mengalami hal yang lebih sulit dari ini.

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah membantah ayahku. Aku tidak ingin membebani ayahku karena diriku.

Lagipula sekarang... Orang yang bisa kupanggil dengan sebutan keluarga hanyalah ayahku seorang.

X--X

Kalau tidak salah 1 minggu lagi festival sekolah akan dimulai.

Berbagai poster dan jadwal perlombaan sudah terpampang di jendela-jendela kelas.

Saat festival, suasana lebih ramai dari ini, lorong kelas dihiasi oleh berbagai dekorasi dan biasanya siswa memakai kostum yang sudah dirancang oleh kelasnya.

Kelasku tahun kemarin membuat desain baju yang cukup aneh.

Desain gambarnya adalah logo yang dipakai oleh salah satu DJ terkenal bernama lollipop. Kurang lebih logonya berbentuk lollipop yang punya mata dan mulut. Singkatnya logo itu memberikan dampak psikis bagi pemakainya. Aku ini bukan pecinta DJ dan menurutku itu tidak cocok menjadi logo kaos kelas.

Kau pikir kita akan menonton konser?

Saat kelasku memakai kaos itu, hanya aku yang tidak memakainya, kaos itu masih terlipat rapih di lemari bajuku sampai sekarang.

Orang yang tidak berpengaruh sepertiku, tidak memberikan dampak apapun saat aku mengeluh tentang desainnya. Lagipula, di dunia ini mayoritas adalah segalanya, minoritas akan selalu tersisihkan.

Kenyataan yang pahit bukan?

Untuk persiapan Festival, kelas hanya diadakan setengah hari.

Kelas kami sudah menentukan tema yang akan dipakai untuk mendekorasi kelas.

Tema yang kami pakai adalah alam liar. Sebenarnya tema itu cukup cocok menurutku.

Mulai dari primata terpintar sampai primata termalas ada di kelas kami. Jadi pastikan anda mengunjungi kelas kami, ya~

Stand makanan kamipun kurang lebih berbahan dasar buah.

Aku dan Dio saat ini sedang menatap lapang sekolah dari jendela lantai 2 dekat lorong kelasku.

"Jadi kau benar-benar akan pindah?"

"Begitulah, aku akan pindah sekitar 2 minggu lagi... Meski aku pindah, tidak akan ada yang peduli kecuali dirimu"

"Kau pikir aku peduli? Pergi saja sana kampret"

"Dasar sialan"

Dio menghela nafas kemudian menatapku.

"Kenalkan aku pada gadis di sekolah barumu nanti"

"Meski aku kenalkan, kau tidak akan pernah pacaran... Orang semacam dirimu tidak akan pernah punya pacar"

"Kau juga kan gak pernah pacaran?"

Aku tersenyum kecut setelah mendengar kalimat itu.

"Setidaknya aku lebih baik darimu"

"Lebih baik apanya?"

"Setidaknya aku pe-"

"Hei! Apa yang kalian lakukan!? Cepat bantu dekorasi kelas!"

Suara Helena mendengung di telingaku, layaknya suara terompet yang dimainkan asal-asalan.

Kami sudah menyiapkan rencana pelarian jika hal semacam ini terjadi.

"Waaah! Lihat! Apa ituu?" Dio menatap ke atas langit dari jendela lorong kelas.

"Apa?" Helena terlihat sedikit bingung.

"Aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini" Aku ikut menatap ke atas langit.

"Sudah kubilang, apa maksudmu?" Helena berjalan menuju jendela dan mulai menatap ke atas langit "aku tidak melihat.... Apapun. Hei, jangan kabur kalian!"

Aku melambaikan tanganku dari jauh sambil berlari.

"Hasta la pasta"

"Hei, yang benar hasta la vista, bodoh"

"Terserah"

X--X

Di sepanjang lorong kelas terlihat begitu ramai. Wajah mereka terlihat begitu cerah layaknya matahari siang ini.

Dari kerumunan orang, aku bisa melihat Elina sedang menempelkan sesuatu di jendela.

Aku memutuskan untuk menghampirinya.

"Kau tidak seperti biasanya"

"Apanya?"

"Kau ingin mengobrol dengan Elina kan?"

"Memangnya kenapa? Mungkin dia butuh bantuan atau semacamnya"

"Mencurigakan" Dio menatapku dengan tatapan aneh "kau pasti suka padanya kan?"

"A-apa maksudmu?"

"Dia layaknya bunga yang berada di puncak gunung tertinggi dan kau hanyalah seekor cacing yang menggeliat di dalam tanah. Jadi menyerah saja"

"Perumpamaan macam apa itu?"

"Lihat saja, dia hanya memasang poster, tapi dia diperhatikan oleh orang-orang. Sedangkan dirimu..." Dia menatapku dari ujung kakiku sampai ujung rambutku, kemudian menggelengkan kepalanya.

"Berisik"

Saat aku menatap sosok Elina dari jauh, Tiba-tiba ada seseorang yang mendekatinya.

Orang itu badannya cukup tinggi dengan wajah yang cukup tampan, penampilannya terlihat begitu berwibawa.

"Lihat, orang seperti dia yang cocok dengan Elina, ayo kita pergi, cacing"

"Sudah kubilang, kau salah paham"

Mungkin aku sedikit tertarik dengan dirinya, tapi perasaan ini terlalu gegabah jika aku sebut dengan "cinta". Aku tidak bisa menjelaskan perasaan ini, yang jelas gadis ini mengingatkanku akan ibuku dan kakakku yang sudah tiada.

Ibu dan kakak perempuanku meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat aku kelas 2 SMP.

Usiaku waktu itu 13 tahun.

Aku masih mengingatnya dengan jelas bagaimana aku mendapat kabar buruk itu.

Waktu itu aku sedang belajar di kelas seperti biasa. Suasana yang hening itu terpecahkan oleh suara pengumuman yang terdengar cukup keras.

Isi pengumuman itu menyuruhku untuk segera pergi ke ruang guru.

Saat aku sampai disana, aku bisa melihat ayahku sedang menungguku di depan pintu ruang guru. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa menebak sesuatu yang buruk terjadi.

Pada awalnya aku berpikir "apakah aku melakukan kesalahan?" Tapi saat aku sampai disana, ternyata yang melakukan kesalahan bukanlah diriku, melainkan dunia ini.

Sampai kapanpun, dunia akan selalu dipenuhi oleh ketidakadilan.

Meski begitu... Pada akhirnya, kami berhasil melewati masa-masa sulit itu.

Jika bukan karena ayahku, aku pasti akan mengalami depresi berat. Dia adalah orang hebat sekaligus orang yang paling aku hormati.

....

Sore itu, aku masih berada di sekolah. Aku baru saja selesai membaca buku di Perpustakaan.

Ruang Perpustakaan berada di gedung khusus dan berada di lantai 2. Gedung ini terpisah dengan gedung kelas, di dalam gedung ini berisi ruang OSIS, ruang kesenian, gudang, dan ruang labolatorium.

Ruang Perpustakaan memakan banyak sekali ruangan, jadi ruang di lantai 2 hanyalah ruang Perpustakaan dan ruang kesenian.

Saat aku menuruni tangga ke lantai dasar, di lorong lantai dasar, aku bisa melihat Elina sedang berjalan keluar dari ruang OSIS.

Dia terlihat lesu, pasti pekerjaan OSIS begitu melelahkan.

Tadinya aku hendak memanggilnya, tapi aku mengurungkan niatnya.

Meski menyebalkan, tapi ucapan Dio itu benar juga, lagipula aku akan pindah 2 minggu lagi.

Aku hanya menatapnya dari kejauhan.

Elina tiba-tiba sedikit melirik kebelakang.

Apa dia sadar aku disini?

Langkahnya melambat, seakan memberi tanda kalau dia siap untuk disusul olehku.

Aku ikut memperlambat langkahku.

Beberapa saat kemudian, Elina menoleh kebelakang.

Dia diam disana dan menatapku dengan tatapan yang tajam. Seakan-akan menungguku disana.

Aku merasa tertekan dengan tatapannya itu. Aku membalas tatapan itu dengan melambaikan tanganku.

"Yo"

"Apa yang kau lakukan disini"

"Pulang"

"Bukan itu maksudku" Dia menyentuh dahinya dan menghela nafas "kau sejak tadi menatapku kan?"

Aku diam sejenak.

"Tidak, aku hanya menatap pintu keluar"

Tatapannya kini begitu dingin.

Aku berjalan mendekatinya.

"Bohong, kau pikir aku tidak tahu?"

Apa dia punya kekuatan supranatural?

"Kau terlihat kelelahan, jadi aku tanpa sadar menatapmu, kau puas?" Aku kini berada di sampingnya sambil menatap pintu keluar yang sudah dekat "apa tugas OSIS memang seberat itu?"

"Aku sudah terbiasa dengan ini" Tiba-tiba ekspresi wajahnya terlihat seperti orang yang kesepian, seakan-akan dia sedang mengingat memori kelam.

"Menurutku sesekali tidak apa-apa bergantung ke orang lain"

"Tapi itu akan membuatmu tidak mandiri dan nantinya akan selalu bergantung ke orang lain"

Meski kalimatnya terdengar biasa saja, aku bisa merasakan ada perasaan jengkel dalam kalimatnya.

"Memang apa salahnya dengan itu? Manusia sudah sewajarnya bergantung satu sama lain... Kau tidak perlu sekeras itu terhadap dirimu sendiri"

Dia menatapku sebentar kemudian mengalihkan pandangannya ke samping sambil mempercepat langkahnya.

"A-aku duluan, ada sesuatu yang harus aku kerjakan"

Sungguh... Apa-apaan itu?

avataravatar
Next chapter