webnovel

Penuh Amarah

Parade Ellias, seorang Presdir dari Ellias Group. Ia tengah berjalan dengan langkah yang amat besar, wajah penuh kemarahan, pun dengan tangan yang terus dikepal.

Gadis yang ia cintai—Nayra telah menipunya. Uang sejumlah lima ratus juta bukanlah jumlah yang besar untuknya, namun ia sangat tidak suka dengan kebohongan.

"Carikan gadis nakal itu untukku!" teriak Parade yang kerap dipanggil Ade. Ia melirik ke sana kemari, menyadari jika rumah itu ada di lingkungan masyarakat biasa, tidak berada.

"Dasar, anak orang miskin! Pantas saja dia menipuku, dia tak pernah melihat jumlah yang banyak! Dasar, orang miskin tak tahu diri!" geramnya pada diri sendiri sambil terus merutuki Nayra.

Sesungguhnya ia tahu, jika Nayra adalah gadis yang sedikit nakal. Sebab walaupun mereka dalam status berpacaran, gadis itu selalu saja bermain dengan lelaki lain belakangnya.

Mungkin memang, satu hal yang tak diketahui oleh Nayra, jika saja ia setia, apa pun akan diberikan oleh Ade untuknya. Namun kembali lagi, Ade bukanlah orang yang akan terima jika dia dikatai dan dianggap bodoh apabila memberikan kebahagiaan pada gadis semacam Nayra—pacar pertama, satu-satunya, dan akan segera dilamar.

"Ade, dia tidak ada di sini. Tapi, aku bisa lihat, di dalam sana ada seorang gadis yang sedang terbaring lemas. Tapi aku yakin, itu bukanlah Nayra. Apa perlu kita periksa dan yakinkan?" tanya sekaligus lapor Arsha pada sepupu sekaligus bosnya itu.

Pastikan segera, Bodoh!" hardik Ade. "Aku tak pernah mengajari dan mengharapkan kau menjadi orang yang bodoh!"

"Iya, iya, hanya kau yang tak pernah bodoh. Baru lahir langsung pintar, bisa lari, mandi sendiri juga iya!" gumam Arsha kesal dengan kecerewetan bosnya ini. Entah mengapa, lelaki itu seperti seorang ibu yang sering marah sebab kewalahan mengurus anaknya yang tak hanya satu.

"Apa katamu?!"

"Aku? A-aku ngo-"

"Diamlah, sana cepat gerak!" perintah Ade membuat Arsha selalu saja diposisikan di tempat yang salah.

Tok! Tok! Tok! Arsha mencoba mengetuk pintu namun tak ada sahutan. Ia kembali ke sisi samping rumah itu untuk memastikan apakah gadis yang dimaksud masih di sana. Dan memang iya, dia masih di sana. Hanya saja, ia seperti patung yang hanya bisa bernafas.

"Jika dia tidak membukakan pintu, sudah waktunya untuk bergerak dengan cara yang lebih mudah! Dobrak!" perintah itu membuat Arsha segera kembali ke depan rumah yang tak begitu besar itu.

Sesungguhnya ia merasa tak tega untuk merusak dan memaksa masuk, hanya saja ini adalah perintah dari seorang bos yang sedang marah besar. Belum sempat ia melangkahkan kaki, Ade segera mendorong tubuhnya dengan lengan kemeja yang sudah terlipat.

"Bos Ade, tolong jangan bertindak gegabah. Ini bukan daerah kita, jangan pakai emosimu secara berlebihan sampai bertumpahan!" cecar Arsha masih dengan nada sedikit bercanda.

"Diamlah!"

"Bos Ade? Hei, Bos Ade?" Panggilan menggelikan itu kembali diserukan agar bosnya terpancing.

"Tutup mulutmu! Apa kau mau gajimu tak aku bayarkan bulan ini?" ancam Ade yang merasa kesal sebab waktunya telah terbuang sia-sia selama beberapa menit.

"Ssh! Aku masih bisa minta sama Kakek. Nye … nye … nye.…" Mulut lancang Arsha tampak berkomat-kamit. Ia seolah mengandalkan kakek mereka yang tentu saja akan meyelematkannya.

"Apa katamu? Kau pikir, aku tak bisa dengar? Ka-"

"Iya, iya, iya. Sana masuk!" Arsha menyerah sudah, ia tak punya kuasa untuk membuat bosnya benar-benar kalah.

Tanpa menjawab, Ade akhirnya masuk, namun ia kembali terhenti dan menengok ke belakang. Arsha masih berada di ujung pintu. "Apa kau sudah gila? Kau bahkan membiarkanku masuk sendirian? Bukankah tugasmu adalah melindungiku?"

Arsha menurunkan lututnya. Kepalanya menatap ke arah langit-langit rumah itu. 'God, why my life has to be like this? Why should it be his? I'm tired!' batinnya meringis kelelahan.

"Ce-"

Masih belum sempat Ade menyelesaikan kata-katanya. Arsha segera bangkit lalu berteriak dengan nada kencang. "Hei, kau bangunlah wanita picik! Siapa yang kau andalkan di sini? Apa kau berani macam-macam dengan bosku?"

"Huft!" Ade menghela nafas panjang. Ia mengeluhkan nasib buruknya setelah dipertemukan dengan asisten sekaligus sepupunya ini. Jika bukan atas dasar perintah orangtuanya, ia tak akan mau melakukan ini, sungguh.

Dengan langkah yang besar, Ade masuk ke dalam kamar yang dimaksud, pintu telah dibukakan oleh Arsha untuknya. Ia melihat seorang gadis yang tubuhnya tampak melekuk, ia menggigil entah karena apa. Untuk sesaat, ia yang merasa jijik dengan tempat yang sempit itu, seketika mencoba mengerti sebab tatanannya begitu rapi.

"Hei, kau bangunlah!" perintah Ade sambil menjambak rambut gadis itu. Ia bahkan hendak menamparnya namun merasa terkejut tatkala wajah gadis itu penuh luka.

"S-sakit! Ssh, sakit, Om…." lirih gadis itu seraya memutar kepalanya mencoba menengok ke sumber suara. Wajahnya tampak lebam, seluruh tubuhnya tampak dipenuhi luka membuat Ade dan Arsha terkaget.

Namun, itu tak membuat Ade menjadi merasa kasihan. Ia menarik sikut yang tampak tergores dan berdarah itu, memeriksa apakah itu sungguh adalah luka. Masih belum puas, ia menarik anak rambut gadis itu hingga menampakkan jidat yang juga terluka.

"Dia benar-benar terluka, Ade!" seru Arsha kaget. "Kita harus menolongnya sekarang!" ajak Arsha sembari berusaha mengangkat tubuh gadis yang bernama Tiara Haega. Hal itu bisa dilihat dari sebuah foto yang tertempel di lemari dengan tulisan nama itu di atasnya.

"Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Ngapain, hah? Ngapain?!" Seorang gadis datang dengan tingkah yang aneh. Sebuah helm di tangannya ia mainkan untuk memukul kepala Ade dan Arsha.

"Ups!" Kata itu keluar begitu saja dari mulut Arsha yang kini sudah sangat merasa khawatir akan kemarahan bosnya. Ia menggigit jarinya sembari menatap kosong pada gadis yang berhenti sesaat lalu lanjut untuk memukuli mereka.

"Ah, pantatku. Woi, pantatku sakit banget!" Arsha meringis kesakitan sembari bergerak untuk melindungi bosnya, kewajiban memang.

"Itu karena kalian nggak minta maaf! Makanya minta maaf, berani banget masuk rumah orang, menerobos masuk kamar pula. Dasar cab-" Mata gadis itu terbelalak tatkala ia melihat keadaan temannya yang setengah sadar. Ia begitu murka, air matanya menetes. "Kalian sebenarnya mau ngapain, sih? Kenapa begitu cabul? Setelah menabrak, kalian masih mau ngapa-ngapain sahabatku?!" teriak Ela.

Ia membuat Ade dan Arsha semakin tersudut dan begitu kebingungan. Gadis itu mendudukkan dirinya di atas kasur lalu berusaha untuk menggendong sahabatnya itu.

"Saya bantuin, Mbak," tawar Arsha dengan hatinya yang tak begitu tega.

"Jangan!" teriak Ade dan Ela hampir bersamaan.

Begitulah mereka membiarkan Ela menggendong Tiara keluar rumah walau pada akhirnya ia memerintah Arsha untuk membiarkan kedua gadis itu menumpang mobilnya menuju rumah sakit.

Next chapter