8 Alasan Kami Bercerai

Nabila mengesat air matanya dan berusaha sebaik mungkin agar tersenyum saat dia menghampiri keduanya yang asyik berbincang. "Permisi, ini kuenya." kata Nabila sambil menaruh sepiring yang dipenuhi kue.

Emily mengucapkan terima kasih. Nabila lantas memutar tubuhnya untuk meninggalkan mereka. "Nabila..." Mendengar suara Emily yang memanggil, Nabila berhenti dan membalikkan lagi badannya menghadap ke arah Emily dan Leo.

"Duduklah, aku mau bicara denganmu." Sebenarnya Nabila tampak enggan dengan permintaan Emily tetapi dia tak punya pilihan lain jadi dia pun duduk di samping Emily yang dekat dari tempatnya berdiri.

"Loh, kok kamu duduk di sini? Duduklah di dekat Leo. Kau ini, kan istrinya." Mata Nabila membulat kemudian menatap pada Leo meminta bantuan namun pria itu malah memberikan dia tempat duduk.

Dengan gugup, akhirnya Nabila bergerak duduk di antara mereka. "Jadi katakan bagaimana kau bisa kenal dengan Leo? Apa dia menyebalkan seperti biasanya?"

Dari raut wajahnya Leo terlihat protes, sayangnya dia tak bisa mengungkapkan apa isi hatinya karena Emily lebih dulu mengisyaratkannya agar diam. "Tidak kok, Leo adalah pria baik meski saat pertama kali berinteraksi dia melempar beberapa barang padaku." jawab Nabila jujur sambil sesekali melirik Leo.

"Hah? Benarkah? Leo kau keterlaluan sekali pada istrimu! Kenapa kau melempar beberapa barang pada Nabila?! Ternyata kau bukannya membaik malah menjadi-jadi!" omel Emily dengan wajah masam.

"Bukan seperti itu, ya aku memang melempar barang. Aku pikir kalau Nabila tak terima dengan diriku tapi tidak ... dia baik sekali." Emily tersenyum melihat kedua orang di hadapannya ini saling menatap lekat.

"Ekhem," Nabila dan Leo sama-sama tersadar. Nabila segera memalingkan wajahnya tak mampu menahan malu. "Sudahlah jangan malu. Leo, kau memang beruntung mendapatkan Nabila begitu juga sebaliknya. Aku doakan semoga hubungan kalian makin langgeng."

Mereka terus bercakap-cakap sampai sore menjelang dan akhirnya Emily pamit. "Kau yakin tak mau aku antar? Kau itu sedang hamil muda takutnya aku jika terjadi sesuatu padamu." kata Leo dan dibalas gelengan oleh Emily.

"Kau tak perlu khawatir, suamiku juga nanti akan datang menjemputku." Benar saja, baru beberapa menit dibicakan pria itu sudah datang untuk menjemput sang istri. Keduanya sedikit berbincang lalu pergi.

"Apa Emily sudah pergi?" Leo mengangguk.

"Dia dijemput sama suaminya."

"Oh begitu. Mmm, Leo boleh aku bertanya?"

"Tentu silakan."

"Kenapa kau bercerai dengan Emily? dia tampaknya orang ramah dan baik cocok untukmu." kata Nabila. Kenapa Nabila merasakan lidahnya kelu sekali mengatakannya? Namun dia menerima fakta jika Emily jauh lebih baik darinya.

"Ya, itu benar. Dia cantik dan baik, tapi sayangnya kami hanya cocok sebagai seorang teman bukan sebagai pasangan apa lagi Emily mencintai orang lain jadi kami memutuskan untuk bercerai. Jika kami bertahan dan meski kami bisa menjadi pasangan, tapi kalau kami berdua tak bahagia, maka itu akan sia-sia bukan?" Tanpa sadar Nabila mengangguk.

"Sekarang, aku bahagia dan dia juga. Kami senang bisa berteman seperti ini." Nabila mengembuskan napas lega dan Leo tahu akan hal itu.

"Kenapa kau lega? Apakah kau cemburu pada kami berdua?" tanya Leo setelah memalingkan wajahnya pada Nabila dan sekarang dirinya memberikan senyum untuk menggoda wanita yang resmi menjadi istrinya.

Nabila sontak menggeleng. "Aku hanya lega karena aku mendapat alasannya dari mulutmu dan aku pikir dari tadi kalian bercerai sebab ... Ah sudahlah. Ayo makan,"

"Ayo." Digenggamnya tangan Nabila yang terulur lalu keduanya sama-sama menuju meja makan dan di sana telah ada Adam yang menunggu.

"Maaf ya Kakek, sudah menunggu lama."

"Tak apa-apa. Ayo duduklah." Leo menepati posisi duduk yang di dekat Adam sedang Nabila di samping Leo kemudian mereka berdua makan.

Adam menatap cukup lama pada Leo lalu tersenyum penuh arti. "Kakek, kenapa kau tertawa?"

"Kakek baru sadar, kau tak mengenakan topengmu lagi." Nabila membulatkan matanya memandang pada Leo yang sama-sama terkejut.

"Iya, berarti ada kemajuan." Ah iya juga ya, dari tadi Emily menyuruh Leo melepaskan topengnya dan setelah itu Leo tak tahu ke mana topeng tersebut.

"Nabila, kalau sudah selesai makan kau carikan topeng itu untukku ya?" Nabila mengangguk dan masih menunjukkan tampang senang.

Setelahnya Leo kembali masuk ke kamar dan mengerjakan beberapa file yang tak pernah dia sentuh dalam beberapa minggu terakhir sedang Nabila sibuk mencari topeng dan sesudah dia dapat, Nabila kembali ke kamar untuk mengembalikkan topeng tersebut ke pemiliknya.

"Terima kasih Nabila."

"Aku senang dengan perubahanmu. Semoga saja ada perubahan besar." Leo pun hanya menyahutnya dengan senyuman.

Karena gembira, Nabila tak bisa menahan dirinya untuk memeluk saat itu juga Leo memutar tubuhnya ingin bertanya sesuatu pada Nabila.

"Nabila ... phmmp ...." Leo dan Nabila mematung karena kedua bibir mereka tak sengaja bersentuhan. Buru-buru Nabila menjauh, wajahnya sudah sama seperti kepiting rebus juga ada rasa sedikit bersalah pada Leo.

"Ma-maafkan aku ... aku sebenarnya ha-hanya ingin memelukmu tapi aku malah--" Nabila yang salah tingkah mau berjalan menghindar namun Leo segera meraih lengan Nabila agar istrinya itu tetap di sini.

"Kau tak perlu meminta maaf, bukankah kita suami istri jadi wajar saja kalau kita berciuman." Tubuh Nabila tak bisa bergerak, otaknya tak bisa berpikir untuk sekarang. Ciuman mendadak itu benar-benar membuatnya syok.

avataravatar
Next chapter