webnovel

Nasib Buruk!

Sesaat setelah turun dari mobilnya, Prisca mulai berjalan menuju pintu utama rumah itu dengan sejumlah keraguan. Miris memang, ketika anak dari pemilik rumah justru takut untuk menyambangi rumahnya sendiri. Namun begitulah adanya kondisi keluarganya saat ini, hal se-demikian ironis sudah bukan sesuatu yang asing baginya sejak Burhan tinggal di sana.

Lima tahun setelah menjadi janda, Laksmi—ibu kandung Prisca—memang telah dinikahi oleh Burhan, seorang pria yang lebih tua dua tahun darinya. Bagi Laksmi, Burhan merupakan sosok yang sempurna dengan segala perhatian dan kasih sayang. Namun tidak bagi Prisca, pria itu bukanlah orang yang baik, justru tampak picik, berbahaya, dan paling fatalnya adalah sikap mata keranjang. Prisca juga menduga jika Burhan tidak benar-benar mencintai ibunya, melainkan hanya mengincar harta, selain harta adalah niat buruk terhadap dirinya.

Pintu utama rumah itu tidak terkunci, sehingga membuat Prisca tidak kesulitan untuk masuk ke dalam. Di sisi lain, ia bersyukur sebab tidak perlu menekan tombol yang bisa saja mengundang macan menjijikkan semacam Burhan untuk mengetahui kedatangannya.

"Sepi? Ah ... mungkin Mama sama si Om lagi di kamar." Setelah meyakinkan dirinya, Prisca berjalan menuju lantai dua di mana kamar pribadinya berada, dengan menaiki para anak tangga yang bergaya klasik elegan. Ia tidak bersenandung layaknya beberapa saat yang lalu, melainkan memilih diam.

"Anak Papa sudah pulang toh?" Namun sial! Tiba-tiba terdengar suara berat yang parau milik Burhan.

Langkah Prisca menjadi terhenti detik itu juga. Ia terpaku tanpa bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Namun, ia berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu dengan cara menghela napas panjang beberapa kali.

Setelah dirasa cukup tenang, Prisca menoleh sedikit ke arah belakang. Dari ekor matanya, ia bisa memastikan jika saat ini Burhan tengah berdiri tegak sekitar lima meter darinya.

Tanpa memberikan sapaan sedikit pun, Prisca memilih untuk melanjutkan tujuan menuju kamar. Namun ... ayah tirinya itu seperti tengah mengikuti dirinya. Meski dalam keadaan takut yang luar biasa, Prisca terus berusaha untuk tenang. Ia rasa pikirannya terlalu berlebihan. Sekitar tujuh meter lagi untuk sampai di kamarnya, ia harus masuk dan mengunci diri! Maka semua hal tentang Burhan tak akan lagi membuatnya terganggu, saat pintu kamar itu bisa melindungi dirinya.

Aku pikir aku yang berlebihan, tapi, kenapa sejak tadi Om Burhan tak lekas pergi? Batin Prisca bertanya-tanya. Kecurigaan pun mendadak muncul di hatinya.

Demi mencegah sesuatu hal, diam-diam Prisca tetap merogoh ponsel dari dalam tas jinjingnya, dengan rencana menghubungi Nares. Karena gemetar yang juga langsung menyerang, membuatnya tak kunjung menemukan benda pintar itu.

Satu langkah lagi, Prisca sampai di dalam kamar tanpa mendapatkan masalah. Harapan terakhir Prisca adalah berhasil masuk ke dalam kamarnya, tanpa ada sesuatu yang buruk padanya. Segera setelah itu, ia berusaha mencari kunci pintu kamarnya dari saku androk span yang saat ini ia kenakan.

Sementara, Burhan masih terus mengawasinya dari belakang. Prisca sangat berharap itu hanya perasaannya saja, tetapi sepertinya mustahil untuk terjadi. Langkah Burhan yang kian mendekat pada dirinya, membuktikan bahwa ayah tirinya itu memiliki suatu rencana buruk!

"Prisca, kenapa tidak sapa Papa dulu?" tanya Burhan secara tiba-tiba, sembari mencengkeram lengan Prisca yang hampir berhasil membuka handle pintu.

Ketegangan kian menyergap diri Prisca. Bahkan, tengkuk lehernya terasa kaku dan sulit digerakkan.

"Prisca, Papa ini sayang sama kamu lho," ucap Burhan lagi. Kali ini, ia mulai kurang ajar dengan menyentuh leher sang anak tiri. "Kenapa tidak pernah melihat Papa, Nak?"

"Ja-jangan macam-macam, Om! Prisca laporkan pada Mama nanti!" tegas Prisca dengan suara bergetar. Menyadari bahwa kecurigaannya terhadap Burhan bukan hanya sebatas perasaan berlebihan, tetapi sudah nyaris terperangkap kebejatan pria itu.

"Mama kamu sudah K.O di dalam, lagi pula mau bilang apa kamu? Papa kan tidak berbuat macam-macam, Papa sayang sama kamu, Nak. Papa mau menyenangkan hatimu, sebelum suamimu ... ayolah jangan sungkan sama ayah sendiri. Tentu saja, kamu membutuhkan pelajaran untuk menyenangkan hati suami kamu kelak, 'kan?"

"Mama ...?"

"Mama kamu aman, dia tidur tenang. Jadi, Papa bisa meluangkan waktu buat kamu."

"Ja-jangan macam-macam! Na-nares!"

"Nares? Hahaha, sudah Papa bilang, Papa harus menjadi orang pertama untuk membuat kamu bahagia!"

Powerless mendera diri Prisca. Kendati air matanya bercucuran dengan getaran tubuh yang luar biasa, ia sama sekali tidak bisa melawan. Seluruh tubuhnya langsung lemas, sesaat setelah ketegangan menghinggap.

Sementara Burhan semakin gencar berbuat kurang ajar pada wanita itu. Membuat Prisca ingin sekali berteriak, sialnya suaranya justru tersendat di tenggorokan. Saat itu Prisca hanya bisa terpejam dalam isakan, terkulai lemah tanpa bisa melawan.

Aku harus bisa melawan. Lawan, Prisca! Batin Prisca berteriak, membantu tubuhnya dalam mengumpulkan energi saat lukisan wajah Nares muncul di benaknya.

Setelah mengumpulkan sejumlah tenaga, Prisca mendorong tubuh Burhan sampai pria itu nyaris terjatuh ke lantai. Sayangnya pria jahat itu justru mencekal kedua tangan Prisca, sehingga tubuhnya lebih bisa mempertahankan posisinya.

"Selagi Papa berlembut hati, jangan melawan, Sayang. Nanti kamu sakit!" ucap Burhan penuh penekanan.

"Lepas! Lepas! Lepasin aku, Om!" tegas Prisca dengan rintihan begitu memilukan. Suara isak tangisnya benar-benar menyedihkan. Selain memikirkan dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan keselamatan ibunya yang entah diapakan oleh Burhan.

Tidak ada sesuatu yang mustahil selama masih berjuang, itulah yang saat ini Prisca yakini. Ia terus meronta dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Burhan. Suasana seketika gaduh oleh suara dua orang yang saling menyerang itu. Sayangnya tidak ada orang lain yang mendengar, karena rumah itu memang sangat luas. Selain itu, Burhan sudah meminta security untuk pergi melakukan tugas yang ia minta.

"Dasar jahat! Tidak tahu diri, kamu! Huaaa! Lepasin aku!" Prisca masih melawan dengan segenap tenaga yang tersisa.

Namun Burhan justru tertawa keras dengan bangga, penuh kemenangan. Tenaganya yang begitu besar tidak mampu Prisca tandingi. Yang ada Prisca justru kesakitan ketika memberikan perlawanan, lantaran kedua tangan hina Burhan semakin gencar mencengkeram dirinya.

"Sudah Papa bilang jangan melawan! Anak durhaka!" tegas Burhan lagi dengan suara parau yang kini justru menggelegar.

"Lepasin aku! Tolooong! Tolooong! Mama! Nares!"

Sabetan telapak tangan menyambar pipi kanan Prisca sampai membuat sudut bibir wanita itu mengeluarkan cairan berwarna merah. Tubuhnya yang sudah dibawa masuk ke dalam kamar, kini dilemparkan begitu saja di atas ranjang oleh sang ayah tiri. Prisca terkulai lemas dan sudah tidak berdaya. Hanya isak tangisnya yang keluar begitu memilukan.

Sementara Burhan yang sudah berhasil mengunci pintu kamar itu kini semakin buas saja. Dan ya! Ia menerkam tubuh Prisca dengan garang. Tiada ampun sedikit pun! Saat ini, Burhan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang bahkan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Sejatinya, ia menikahi ibu Prisca hanya untuk harta sekaligus mengincar diri Prisca. Sungguh! Bahkan, ia tidak peduli tentang hukum karma.

"Bunuh saja aku, Om ...," rintih Prisca dengan suara lemah.

"Tenang saja, Sayang, Papa akan membuat kamu senang."

Deraian air mata membanjiri kedua pipi Prisca. Beberapa persendian dan bagian tubuhnya terasa nyeri tak terhingga, sampai membuatnya benar-benar kehilangan daya. Namun, ia masih saja berharap jika saat ini hanyalah bagian dari mimpi buruk di malam yang panjang. Atau berharap setidaknya ada satu pasang telinga orang lain yang mendengar rintihannya, selain Burhan. Ia butuh pertolongan, tetapi takdir baik sepertinya enggan datang.

Segala perbuatan biadap berisi hasrat gila, tak segan-segan Burhan lakukan terhadap Prisca. Tak ada kelembutan, karena ia cukup berselera dalam memenuhi rasa lapar atas hasrat gila itu. Kejam!

"Maafkan aku, Nares ...," lirih Prisca. Selain nestapa, kini ada rasa bersalah yang berangsur memenuhi hatinya.

Malam tanggung itu menjadi waktu di mana mahkota kehormatan milik Prisca lenyap. Sungguh ironis, ketika ayah tirinya menjadi pelaku kejadian keji itu.

Bagi Burhan tentu menjadi kepuasan tersendiri, rasa penasaran terhadap diri Prisca sudah terbayar dengan tuntas! Bahkan, ia menang dari Nares—calon suami Prisca.

Entah apa yang akan terjadi setelah kejadian itu. Kemungkinan besar adalah kehancuran mental Prisca yang masih syok berat. Untuk rencana pernikahannya dengan Nares, bisa terancam batal, kecuali jika Prisca memilih membuat suatu kebohongan.

Namun, apakah Prisca mampu berbohong demi kelancaran sebuah pernikahan? Momen yang tentu saja seharusnya menjadi kebahagiaan. Prisca belum bisa menentukan langkah apa pun, sebab ia tidak kuasa meski hanya memikirkannya.

***

Ada byk kasus semacam ini, tapi kerap diabaikan oleh si pendengar ketika sang korban tengah bercerita.

Sebagian dari mereka mencerca bahwa sang korban hanya berlebihan.

Ketika kasus telah menjadi lebih parah, sang korban disalahkan dengan macam-macam serangan verbal, “salah sendiri berpakaian terbuka!”, “kenapa tidak melawan?”, “kenapa tidak kabur?”, dsb.

Note : Tdk semua orang kuat, dan tentu ada beberapa alasan mengapa sang korban tak bisa melawan.

Rasa simpatik-lah yang perlu ditekankan!

VhyDheavy_Putricreators' thoughts
Next chapter