16 Serius atau Cuma Main-Main?

Ketika Lilia dan ibunya masuk ke ruang kerja, Jean tengah duduk berhadapan dengan Robert. Di antara keduanya terdapat meja kayu dengan tumpukan dokumen-dokumen penting.

"Permisi, kami membawakan teh untuk kalian berdua." Sylvia segera menyapa kedua pria itu dengan senyuman hangat. "Kuharap kami tidak mengganggu diskusi kalian."

"Tidak, tentu saja kalian tidak mengganggu. Lilia, kamu bisa menaruh tehnya di sini." Robert segera membereskan meja itu agar putrinya bisa menaruh nampan yang dibawanya.

"Tuan Jean, saya adalah ibu Lilia, Sylvia Pangestu. Ini suatu kehormatan untuk dapat bertemu dengan pengusaha muda berbakat seperti Anda." Sylvia memperkenalkan diri pada Jean dengan antusias.

Jean menoleh ke arah Sylvia dan mengangguk. "Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Sylvia." Balasnya sambil tersenyum sopan. "Sebagai calon ibu mertua, Anda tidak perlu bersikap formal denganku."

"Ah, baiklah. Sebagai ibunya, kuharap Lilia tidak menyulitkanmu, Tuan Muda Jean. Anak ini terlalu keras kepala dan sulit diatur." Sylvia menghela nafas dengan sikap yang dilebih-lebihkan. "Tapi dia sebenarnya anak baik yang sangat mencintai keluarganya."

Di belakang Sylvia, Lilia tidak mengatakan apapun dan hanya menundukkan kepala. Dia tahu ibunya saat ini sedang berusaha membuat Jean bersimpati pada mereka. Lilia merasa malu dengan perilaku Sylvia, tapi dia tidak berani membantah ibunya di depan Jean. Sylvia sangat peduli dengan pendapat orang lain dan tidak akan segan menghukum Lilia jika dia melakukan itu.

Jean melirik Lilia, yang setengah tersembunyi di balik tubuh ibunya. Wanita muda itu selalu terlihat penuh percaya diri, tapi dia seolah menjadi layu di hadapan ibunya sendiri. Jean mengerutkan kening dan mengembalikan pandangannya ke arah Sylvia.

"Lilia sama sekali tidak menyulitkan." Kata Jean ringan. "Aku selalu mengagumi sikapnya yang mandiri dan penuh percaya diri."

Lilia menundukkan kepalanya semakin dalam untuk menyembunyikan ekspresi kagetnya. Dia tidak menyangka kalau sifatnya yang keras kepala justru dihargai oleh pria angkuh ini.

"Y-Ya, tentu saja!" Sylvia tertawa renyah, walau suara tawanya seperti dipaksakan. "Sebagai ibunya, aku juga merasa bangga dengan putriku. Tapi menurutku akan lebih baik jika anak itu berhenti berpura-pura menjadi model dan tinggal di rumah seperti istri yang baik. Tidakkah Tuan Muda Jean setuju denganku?"

Mendengar itu, Lilia mengepalkan kedua tangannya. Sylvia tidak pernah menyetujui impian Lilia untuk menjadi model, tapi wanita itu tidak dapat berbuat apa-apa karena Robert mendukung Lilia. Namun jika Jean memihak Sylvia dan melarang Lilia untuk bekerja sebagai model…

Lilia memejamkan matanya rapat-rapat. Apakah impiannya akan berakhir sebelum dia bahkan bisa mengambil langkah pertamanya?

"Nyonya Sylvia." Jean berbicara dengan nada serius. "Tolong tarik kembali ucapan Anda."

"Hah?" Baik Lilia maupun Sylvia sama-sama terkejut. Lilia mengangkat wajah dan menatap ke arah Jean.

"Lilia tidak 'berpura-pura' menjadi model—dia adalah seorang model profesional." Lanjut Jean tegas. "Sejak dia melakukan debutnya 4 tahun yang lalu, dia telah tampil di berbagai fashion show seperti…" Pria itu mulai menyebutkan berbagai acara besar yang diikuti oleh Lilia semenjak debutnya sebagai model.

Lilia, Sylvia, dan bahkan Robert pun mendengarkan Jean dengan ekspresi terkejut. Lilia sendiri tidak mengira kalau pria itu tahu begitu banyak tentang karirnya. Dia merasa bahwa usahanya selama ini akhirnya diakui oleh seseorang. Tanpa dia sadari, sudut mulut Lilia terangkat membentuk senyum gembira.

"…Lilia benar-benar serius dengan pekerjaannya. Jadi tolong tarik kembali perkataan Anda, Nyonya Sylvia." Jean mengakhiri ceramahnya.

"Ah…um…a-aku minta maaf…" Gumam Sylvia panik.

Tatapan Jean bergeser dari Sylvia ke arah Lilia, seolah mengatakan kalau Sylvia seharusnya minta maaf pada putrinya.

"…maaf, Lilia. Ibu salah paham terhadapmu." Ucap Sylvia enggan. "Kalau begitu, aku permisi dulu…"

Tanpa menunggu jawaban Lilia, wanita itu bergegas kabur dari ruangan. Lilia mengawasi ibunya pergi dengan tatapan kosong. Dia tidak pernah membayangkan akan ada hari dimana Sylvia meminta maaf padanya! Dan ini semua berkat pria licik—pria itu, Jean!

Robert berdeham dan bangkit dari kursinya. "Lilia, Ayah perlu ke kamar kecil sebentar. Jadi kamu tetaplah di sini dan temani Jean, ya." Tanpa menunggu jawaban Lilia, Robert bergegas keluar menyusul istrinya.

Selama beberapa saat, ruangan itu benar-benar hening.

Lilia perlahan membalikkan tubuhnya lagi, tapi dia tidak berani melihat ke arah Jean. Dia memfokuskan pandangannya pada dokumen-dokumen di atas meja sambil memikirkan hal lain untuk mengalihkan perhatiannya. Kepergian Robert yang mendadak membuat suasana berubah canggung. Lilia ingin memprotes kalau dia tidak mau ditinggal berdua saja dengan Jean dalam suasana canggung seperti ini!

Lilia mendengar suara air mengalir saat Jean mulai menuangkan teh ke dalam cangkir. Dia diam-diam mencuri pandang ke arah pria itu. Mata biru gelap Jean tampak seperti laut yang tenang, seolah pria itu sama sekali tidak merasa canggung dalam situasi ini.

Tiba-tiba dia menoleh pada Lilia. "Apa kamu akan terus berdiri di situ semalaman?" Tanya Jean dengan suara ringan.

Mendengar perintah tidak langsung itu, Lilia menuju ke kursi di hadapan pria itu. Tapi Jean justru menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Kemarilah." Panggilnya.

Lilia berhenti berjalan dan ragu-ragu sejenak. Dia merasa canggung duduk berdekatan dengan pria itu, tapi di sisi lain Lilia juga berhutang budi atas pembelaan Jean tadi.

"Ayo sini, duduk. Tenang saja, aku tidak akan menggigitmu." Ucap Jean sambil tersenyum tipis, seolah dia menikmati kecanggungan yang nampak dalam bahasa tubuh Lilia.

Tanpa pilihan lain, Lilia duduk di samping Jean. Pria itu meletakkan sebuah cangkir teh di depannya. "Kenapa kamu diam saja? Ke mana semua semangat dan keberanianmu tadi?" Tanyanya.

"Apa maksudmu semangat dan keberanian?!" Tukas Lilia dengan nada ketus.

Jean mengangkat alisnya. "Memangnya siapa yang tadi menyelinap masuk ke mobilku tanpa meminta izin?"

"Ugh…" Lilia tidak dapat menjawab dan mengalihkan pandangannya sambil menggerutu dalam hati.

"Soal janji makan malam itu."

Kata-kata Jean membuat Lilia kembali menoleh ke arahnya.

"Kita tunda untuk lain kali saja, ya." Mata Jean mengamati wajahnya lekat-lekat. "Kamu tidak keberatan, kan?"

"Tentu saja, tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak keberatan." Lilia menjawab dengan cepat. Dia justru berharap Jean akan membatalkannya sekalian.

Bibir Jean berkedut seolah dia bisa membaca pikiran Lilia, namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"…terima kasih." Gumam Lilia.

"Hm?" Jean meliriknya.

"Karena sudah membelaku tadi." Lilia mengucapkannya sambil membuang muka, tapi Jean dapat melihat senyuman kecil di wajah wanita itu.

"Aku hanya melakukannya karena aku tidak menyukai sikap angkuh ibumu, itu saja." Balas Jean tenang. "Aku sebenarnya lebih suka kamu berhenti bekerja dan diam di rumah seperti ibu rumah tangga yang baik."

Lilia langsung menoleh ke arahnya sambil merengut. "Aku tidak akan melakukan itu! Kalau aku berhenti, impianku…" Lilia buru-buru menelan kembali sisa kalimatnya. Dia berdeham dan melanjutkan, "Kalau kamu ingin istri yang bisa diam di rumah, cari saja wanita lain!"

Jean hanya tertawa kecil, tapi tidak membalas ucapan Lilia. Dia melirik Jean untuk melihat reaksinya. Pria itu mengangkat cangkir tehnya dengan elegan. Mata Lilia terpaku pada setiap gerakan Jean, bagaimana dia meniup tehnya yang panas dengan penuh kesabaran, bagaimana tulang pipinya yang tinggi tampak menonjol apabila dilihat dari dekat, dan…

Lilia tersadar kalau dia terus menatap Jean tanpa berkedip sejak tadi. Wanita itu buru-buru mengangkat cangkir tehnya sendiri untuk menutupi rasa malunya. Dia dapat merasakan tatapan Jean yang tajam, seolah pria itu bisa melihat ke dalam lubuk hatinya yang terdalam.

Dalam kepanikannya, Lilia meminum tehnya dengan cepat—dan melupakan fakta kalau teh itu masih sangat panas.

"Uhuk! Uhuk!" Lilia tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia menutupi mulutnya dengan satu tangan sambil buru-buru meletakkan cangkirnya.

Jean ikut menaruh cangkirnya dan menepuk-nepuk punggung Lilia. "Kenapa kamu ceroboh sekali?" Ucapnya lembut, seolah pria itu mengkhawatirkannya. Namun Lilia bisa melihat tawa dalam mata birunya.

"Uhuk…uhuk…aku…kamu…"

"Ini semua salahmu!" Lilia ingin berteriak. Kalau Jean tidak membuatnya salah tingkah, dia tidak akan tersedak!

Lidah Lilia terbakar oleh teh panas itu dan dia tidak bisa mengecap apapun. Matanya yang berkaca-kaca memandang berkeliling untuk mencari segelas air di ruangan itu. Namun satu-satunya minuman yang tersedia hanyalah teh panas yang dibawanya. Tidak tahan lagi, Lilia berdiri dan berlari keluar dari sana.

Jean mengawasi sosok Lilia yang melarikan diri. Sebuah tawa kecil lolos dari mulutnya. "Mungkin aku terlalu banyak menggodanya." Jean tersenyum lembut sambil bergumam. Wajah Jean yang hampir selalu tampak dingin seketika terlihat lebih hangat.

Setelah mendinginkan lidahnya, Lilia masuk ke kamarnya dan menolak keluar lagi. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia meringkuk di bawah selimut sampai dia mendengar suara Jean berpamitan pada orangtuanya. Lilia menunggu suara mobil pria itu menghilang sebelum memberanikan diri mengintip ke luar rumah dari jendela kamarnya.

Lilia menghela nafas lega saat melihat mobil Volkswagen itu sudah lenyap. Dia tidak pernah tahu apakah pria itu sedang serius atau hanya bermain-main dengannya. Sikapnya pada Lilia seringkali sedingin es, tapi terkadang Jean menunjukkan perhatian yang membuat hatinya berdebar-debar.

Malam itu, tidur Lilia sama sekali tidak nyenyak. Dia terus memimpikan sepasang mata sewarna samudera yang sedang mengamatinya. Anehnya, tatapan mata itu dipenuhi kelembutan dan kehangatan.

Ketika jam menunjukkan pukul enam pagi, Lilia dibangunkan oleh dering telepon yang tidak kunjung berhenti.

"…halo?" Lilia mengangkat telepon itu sambil menguap.

"Cepat bangun! Ini bukan waktunya tidur nyenyak! Sesuatu terjadi pada Sara Hartanto!"

avataravatar
Next chapter