18 Opini Publik yang Tidak Terkendali

Di dalam salah satu ruangan kantor Agensi Aphrodite.

Para anggota tim relasi publik duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka semua sibuk mendiskusikan insiden ini dan mencari solusi untuk menenangkan para netizen.

Harold duduk di ujung meja, matanya terpaku pada komentar-komentar di layar ponselnya. Pria itu bersikap seolah dia tidak mendengarkan diskusi tim relasi publik, tapi dia terus memutar otak untuk mencari cara menyelamatkan reputasi Lilia.

Namun seolah mengejek usaha mereka, situasi di internet menjadi semakin tidak terkendali seiring berjalannya waktu.

Para netizen, terutama fans William, meneror website agensi dan akun media sosial Lilia. Mereka menuduh Lilia sebagai orang yang menyebabkan kecelakaan itu dan menuliskan berbagai macam komentar kejam yang menghinanya.

Bahkan netizen juga menyerang website kepolisian. Mereka menuntut diadakannya penyelidikan menyeluruh atas kasus ini. Pihak kepolisian akhirnya merespon dengan mengirimkan beberapa petugas polisi ke Agensi Aphrodite.

Para polisi itu datang untuk meminta Lilia ikut mereka ke kantor polisi. Mereka ingin meminta keterangan darinya soal kasus ini.

"Apa katamu?! Siapa yang datang?!" Suara Harold meninggi penuh ancaman saat resepsionis gedung itu meneleponnya.

Semua anggota tim relasi publik yang ada di ruangan itu terlompat kaget mendengar teriakan Harold. Asisten pribadi Lilia, seorang wanita muda bernama Merry, berdiri dengan tubuh gemetar di pojok ruangan. Ini pertama kalinya dia melihat Harold semarah itu.

Harold menutup telepon sebelum memijat dahinya. Dia menghela nafas dengan berat. "Merry, panggil Lilia ke sini." Perintahnya.

"B-Baik!" Merry mengangguk dan segera pergi mencari Lilia.

Dia menemukan model yang dicarinya tertidur nyenyak di ruang istirahat, sama sekali tidak sadar kalau opini publik sedang meledak di luar kendali.

Sepuluh menit kemudian, Lilia muncul di kantor Harold. Wajahnya kemerahan dan dia tampak lebih segar setelah tidur yang memuaskan.

"Apa ada masalah?" Tanya Lilia sambil menahan kuapnya.

Manajernya itu tidak segera menjawab. Harold yang biasanya berbicara blak-blakan kini tampak bingung memilih kata-kata.

"Apa masalahnya sangat besar?" Lilia bertanya lagi, wajahnya berubah serius.

Harold menghela nafas. "Beberapa polisi datang ke sini. Kamu diminta ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Aku tahu kamu tidak melakukan apapun, tapi mereka memaksa." Dia memutuskan untuk menjawab segamblang mungkin.

Harold tidak ingin Lilia pergi ke kantor polisi karena itu hanya akan membuat orang-orang semakin curiga dengannya. Tapi jika Lilia benar-benar menolak untuk pergi, pihak kepolisian yang akan menjadi curiga. Bagaimanapun juga, Lilia tidak bisa lari dari situasi ini.

Setengah jam kemudian, Lilia tiba di kantor polisi. Mobil yang disopiri Harold itu dikawal oleh dua mobil polisi, seolah mereka adalah pelaku yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Seperti yang dikhawatirkan Harold, berita itu seketika menyebar di internet dan memperparah keadaan.

Para fans Lilia berusaha membela idola mereka, tapi itu justru memicu pertengkaran hebat dengan para netizen. Berbagai macam komentar, yang baik maupun yang buruk, beterbangan di dunia maya.

*****

Kedatangan Lilia ke kantor polisi disambut oleh puluhan reporter yang sudah menunggu dengan kamera siap dan mata bersinar-sinar. Mereka berkerumun di pintu gerbang, membuat Lilia enggan turun dari mobil.

"Jangan khawatir, aku dan para polisi itu akan mengurus mereka." Harold meyakinkan Lilia.

Dia bersama asisten Lilia itu keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. Saat para polisi sibuk menghalau para reporter, mereka mengawal model itu sampai ke dalam pintu masuk gedung. Walau sudah dihalangi oleh Harold, Merry, dan para polisi, reporter-reporter itu masih berusaha menerjang ke arah Lilia sambil meneriakkan pertanyaan mereka.

Lilia tidak pernah melihat para reporter itu bersikap begitu gigih dan pantang menyerah seperti ini. Tentu saja, dia tidak tahu bahwa kasus ini telah menarik begitu banyak perhatian. Hanya secuil informasi terbaru saja dapat membawa keuntungan yang berlipat ganda untuk para reporter itu. Tidak heran mereka menyerbu Lilia seperti ngengat tertarik pada api.

Lilia diantar oleh seorang polisi ke ruang interogasi. Para polisi dan staf yang berpapasan dengannya kerap melontarkan tatapan penasaran ke arahnya.

Hal itu dapat dimaklumi, karena penampilan Lilia tidak cocok dengan suasana kantor polisi yang tegang dan kaku. Dia memakai blus berwarna pastel dan rok selutut yang dijahit dengan bunga putih. Penampilannya yang manis itu dengan mudah mencuri perhatian semua orang.

Tidak lama setelah Lilia menunggu di dalam ruang interogasi, seorang polisi yang terlihat senior dan rekannya yang bertubuh kekar melangkah masuk. Keduanya membawa map tebal berisi berkas-berkas terkait kasus ini.

"Nona Lilia Pangestu, nama saya Inspektur Marcus." Polisi senior itu menyapa Lilia dengan senyum ramah. "Ini rekan saya, Detektif Kevin. Kami hanya akan menanyakan beberapa pertanyaan pada Anda. Ini bagian dari prosedur rutin, jadi Anda tidak perlu khawatir."

"Baiklah." Lilia mengangguk.

Melihat sikap Lilia yang tenang dan kooperatif membuat Inspektur Marcus menghela nafas lega.

Pria itu merasa bahwa insiden ini terlalu dibesar-besarkan. Walau ini hanyalah kecelakaan lalu lintas biasa, dunia maya heboh karena korbannya adalah manajer seorang artis terkenal. Perhatian publik pada kasus ini begitu besar sampai pihak atasan di kepolisian berulangkali menekankan agar keduanya menyelidiki kasus ini dengan hati-hati. Biasanya, kasus kecil semacam ini tidak akan diserahkan pada polisi senior sepertinya.

"Nona Lilia, ke mana Anda pergi kemarin? Siapa saja yang Anda temui?"

Lilia menjawab pertanyaan-pertanyaan umum itu dengan jujur.

"Dan apakah Anda terlibat konflik fisik atau emosional ketika Anda bertemu Nona Sara?"

"Tidak." Lilia menjawab dengan tegas.

Setelah beberapa mengajukan beberapa pertanyaan lagi, Inspektur Marcus akhirnya menanyakan soal mobil Volkswagen yang ditumpangi Lilia setelah berpisah dengan Sara.

avataravatar
Next chapter