1 Dijual Ayahku Sendiri!

Pada bulan Agustus, di tengah musim kemarau yang menyengat.

Aroma teh hijau yang segar dapat tercium dari Kafe Royal. Tempat itu adalah salah satu kafe paling elit di pusat Kota Surabaya. Banyak orang-orang kaya dan terkenal yang sudah sering berkunjung dan menghabiskan waktu di sana. Dalam salah satu ruangan VIP di kafe tersebut, tengah berlangsung sebuah percakapan yang dangkal.

Lilia Pangestu tampak tenang dan percaya diri. Wanita bertubuh ramping itu duduk dengan anggun sambil menyesap segelas teh hijau. Rambut panjangnya terurai menutupi punggung bagaikan tirai berwarna hitam pekat. Dia tengah meletakkan gelasnya saat dia merasakan tatapan tajam terarah padanya. Lilia menoleh ke arah pria yang duduk di seberang meja. Sepasang matanya yang sehitam malam beradu dengan mata biru gelap sewarna samudera tanpa dasar milik pria itu.

Bibir Lilia yang semerah buah ceri melengkung membentuk senyuman sopan. Tatapan tajam pria itu membuatnya tidak nyaman, tapi dia tidak bisa mengatakan apapun karena identitas pria tersebut.

Pria bertubuh atletis itu adalah Jean Widjaya. Dia tidak hanya putra keempat dari keluarga konglomerat, tapi dia juga sudah menjadi presiden salah satu perusahaan real estate terbesar di Asia pada usia 26 tahun. Pria itu cukup berkuasa untuk menghancurkan bisnis Keluarga Pangestu hanya dengan menjentikkan jarinya.

Jean bersandar malas ke kursi dan melipat kaki sambil melemparkan senyuman santai pada Lilia. Namun dia merasa risih melihat pria yang duduk seperti seorang tiran di hadapannya itu. Lilia membuang wajah dengan cepat, tanpa menyadari kalau senyuman Jean berubah kaku karenanya.

Tiba-tiba pria yang duduk di samping Lilia berdehem dan memecah keheningan. Robert Pangestu tersenyum lebar sambil berkata, "Tuan Jean, bisnis saya bisa mendapatkan dukungan penuh Keluarga Widjaya berkat Anda. Saya jamin proyek pembangunan ini pasti bakal sukses besar!"

Robert menuangkan teh hijau ke dalam sepasang cangkir, kemudian menyodorkan salah satunya pada Jean.

"Saya dan putri saya ini benar-benar berterima kasih pada Anda!" Ucap Robert sembari menyenggol kaki Lilia di bawah meja.

Lilia kembali menatap Jean dengan enggan. Dia memfokuskan pandangannya pada rambut pirang keemasan pria itu sambil berkata, "…terima kasih banyak, Tuan Jean."

"Kalian tidak perlu terlalu formal denganku." Balas Jean dingin sambil bersedekap. Dia mengabaikan teh yang ditawarkan Robert, namun mata birunya terus terpaku pada Lilia. "Hei, kamu."

"…apa?" Tanya Lilia ketus. Dia tidak suka cara pria itu memanggilnya seperti seorang pembantu.

"Tahun ini berapa umurmu?" Jean bertanya dengan nada yang sedikit lebih hangat.

Lilia mengangkat alis hitamnya yang tebal. "24." Jawabnya pendek.

Dia tergoda untuk menambahkan "Memangnya apa urusanmu?", tapi Robert kembali menyenggol kakinya seolah bisa membaca pikirannya.

Jean mengerutkan kening. "Kamu…" Dia memulai, tapi akhirnya dia membatalkan ucapannya. Mata birunya diwarnai kejengkelan oleh sikap dingin Lilia.

Pria itu bangkit dari kursinya dengan gerakan malas. Tubuhnya yang setinggi 188 cm itu memaksa Lilia dan Robert menengadah untuk bisa menatap matanya.

"Kalau tidak ada lagi yang kalian perlu sampaikan, aku sudah terlambat untuk pertemuan penting." Ucapnya sebelum meninggalkan ruangan itu dengan langkah santai. Putra keempat Keluarga Widjaya itu bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal.

Dalam ruangan yang sunyi, hanya terdengar bunyi teh mendidih. Robert memecah keheningan dengan menghela nafas keras-keras. Lilia hampir terlompat dari kursinya dan menoleh pada ayahnya.

Robert bertanya, "Bagaimana perasaanmu mengenai Jean?"

Lilia mengangkat alisnya dengan raut wajah bingung, "Ayah, apa maksudmu? Apa ini ada hubungannya dengan kenapa Ayah memaksaku datang ke sini?"

Robert tidak membalas Lilia dan justru menyesap tehnya. Setelah meletakkan cangkirnya, dia membuka mulut tapi segera menutupnya lagi. Beberapa saat kemudian, barulah Robert mulai bicara, "Keluarga Widjaya sudah menyetujui pernikahanmu dengan Jean. Hari ini aku diminta membawamu ke sini untuk menemuinya."

"Apa?! Pernikahan?!" Lilia melompat berdiri dan memukul meja. Dia tidak peduli telah menumpahkan teh ke karpet yang mahal. "Ayah, apa kamu bercanda?!" Ucap Lilia sambil melotot.

Robert hanya menatap Lilia dengan pandangan tenang dan serius.

Lilia terus mencecar ayahnya. "Kenapa mendadak menikah? Aku baru 24 tahun! Aku masih terlalu muda! Belum lagi, mana mungkin Keluarga Widjaya mau menerimaku?!"

"Lilia, keluarga kita sedang dalam krisis finansial. Kita membutuhkan bantuan dana dari Keluarga Widjaya." Robert berbicara seolah menegur Lilia. "Pernikahan kontrak ini adalah satu-satunya cara supaya keluarga kita bisa bertahan. Kamu anak yang cerdas, kamu bisa memahami itu, kan?"

Wanita muda itu menatap tajam Robert. "Jadi kamu menjualku pada mereka?"

Robert menyesap tehnya tanpa menjawab. Namun Lilia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya itu.

Lilia mengepalkan tangannya erat-erat agar dia tidak memukul ayahnya. Walau selama ini Lilia diperlakukan dengan dingin oleh keluarganya, dia percaya kalau mereka tidak akan pernah mengorbankan putri mereka demi uang. Tapi sekarang dia sadar bahwa uang adalah segalanya bagi Robert. Dia bahkan tidak akan segan menjual putrinya demi mendapat keuntungan.

*****

Selama perjalanan pulang, Lilia dan Robert tidak berbicara sepatah kata pun. Lilia menatap kosong ke luar jendela mobil. Langit sore tampak mendung dan berkabut seperti suasana hatinya.

Begitu mereka tiba di rumah, Lilia mengunci dirinya di kamar. Dia menolak makan malam dan memilih untuk menyendiri di beranda. Entah sudah berapa lama dia berdiri di sana. Ketika dia melihat ke langit, matahari telah terbenam di balik awan-awan tebal dan digantikan oleh sinar bulan yang redup. Tangannya yang menggenggam telepon terasa kaku karena udara dingin.

Keputusan ayahnya sudah tidak bisa diganggu gugat. Lilia tidak punya pilihan dalam pernikahan ini.

Tapi Lilia tidak dapat menerima keputusan itu begitu saja. Dia tidak pernah bertemu Jean sebelum hari ini. Terlebih lagi, keluarga Widjaya bukanlah keluarga biasa. Coba lihat keluarga kaya lainnya, banyak dari mereka menikah demi keuntungan bisnis. Mana ada kebahagiaan dalam pernikahan seperti itu?

Apalagi karir Lilia sebagai seorang model sedang melesat. Dia mendapat julukan dari para fansnya sebagai "Tuan Putri Salju" dan bahkan diundang mengikuti Milan Fashion Week bulan depan! Ini merupakan langkah pertamanya dalam mewujudkan impian besarnya. Semenjak kecil, Lilia selalu bermimpi menjadi supermodel yang diakui oleh seluruh dunia. Tentunya dia tidak ingin terkurung dalam sangkar burung yang disebut pernikahan!

Akhirnya, setelah memikirkan masalah ini matang-matang, Lilia membuat suatu keputusan. Dia akan melawan pernikahan kontrak ini dengan caranya sendiri. Lilia menelepon agensi tempatnya bekerja sebagai model. "Halo? Tolong berikan aku nomor telepon Jean Widjaya."

avataravatar
Next chapter