9 Kalau Kau Ingin Mati, Katakan Saja!

Xavier semakin maju menyudutkan Elena pada sebuah pintu. Kemudian mendekatkan wajahnya pada telinga Elena. "Kau masih punya dua ginjal yang sehat?"

"Aku peringatkan dirimu! Jika kau maju selangkah lagi!" ancam Elena. Ia berusaha terlihat galak. Di titik ini, ia sudah nekad. Kalau memang ternyata malaikat penolongnya ini sebenarnya adalah iblis, maka Elena sudah siap mati mempertahankan diri.

Toh, mati juga tidak terlalu buruk karena ia akan dapat berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ia sangat merindukan mereka.

Xavier tersenyum tipis namun manis. Tangannya lalu membuka pintu di belakang Elena. Ia berkata santai, "Ini akan menjadi kamarmu. Panggil aku jika kau membutuhkan apa pun."

Kemudian Xavier pergi begitu saja meninggalkan wajah Elena yang nampak bodoh. Ketika pria itu menghilang dari pandangan, Elena menarik napas panjang. Lega.

Astaga… rupanya malaikat penolongnya memang sungguh seorang malaikat. Ia tidak berpura-pura menolong dan kemudian sengaja memerangkap Elena di tempatnya.

"Kenapa dia membiarkan imajinasiku menjadi liar?" Elena bergumam kepada diri sendiri. Ia merasa Xavier barusan sengaja menggodanya dengan berpura-pura bekerja sama dengan ketiga lelaki penggangu tadi. Apakah baginya ini lucu?

Elena tidak dapat mengerti pikiran lelaki itu. Yang jelas, sekarang ia merasa lebih baik. Ia tidak perlu menghabiskan malam di jalanan. Ia mendapatkan tempat berteduh.

Gadis itu menoleh ke belakang, ke kamar yang pintunya tadi dibuka Xavier. Elena lalu masuk dan mengamati ruangan itu. Ia tertegun selama beberapa saat ketika ia telah melangkah masuk.

Kamar ini… terlihat sangat nyaman. Di tengahnya ada sebuah ranjang besar yang terlihat empuk dan ada selimut tebal di atasnya.

Astaga… rasanya Elena sangat ingin berguling di sana saat ini dan beristirahat. Namun ia segera menegur diri sendiri. Ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Ingat di rumah ini hanya ada ia dan laki-laki yang tidak dikenal.

Elena mendekati jendela besar dari lantai ke langit-langit yang ditutupi dua tirai besar berwarna gading. Tangannya menarik kedua sisi tirai agar membuka lebar. Di jendela itu ada kaca bening yang langsung memamerkan pemandangan di malam hari. Indah sekali.

Elena mendesah lega. Ia mengagumi pemandangan kota di bawah bukit dan kemudian duduk di ujung ranjang untuk melepas sepatunya.

Kakinya terasa lelah berlari dan berjalan seharian ini. Elena memijatnya perlahan dengan membayangkan bagaimana harinya hari ini dilalui. Harinya tidak banyak berbeda dengan yang biasa. Hanya saja endingnya malam ini mungkin Elena akan tidur di ranjang yang empuk dan hangat.

Bunyi perut Elena menghentikan lamunan, ia belum makan sejak siang tadi. Tadinya ia hendak menahan lapar saja, tetapi karena ia tidak bisa tidur dengan perut keroncongan, akhirnya Elena memberanikan diri keluar dari kamar.

Perlahan ia berjalan mengendap melintasi ruang tamu sambil mengamati sekeliling berharap Xavier tidak ada. Akan lebih baik jika ia sudah tidur. Elena memutuskan untuk mencari makanan di dapur, berharap ia bisa memperoleh roti atau buah untuk meredakan rasa laparnya.

Kalau nanti pria penolongnya marah karena Elena telah mengambil roti atau buahnya, mala Elena akan menganti makanannya, atau bahkan membayarnya. Harusnya uang 20 euro cukup, kan?

Sementara itu, Xavier sedang di meja kerjanya di ruangan atas. Keningnya berkerut ketika ia mendengar suara langkah kaki. Pria itu berjalan keluar dari ruang kerjanya dan berhenti di anak tangga paling atas. Xavier mengamati ruang tamu untuk melihat apa yang sedang dilakukan tamunya.

Tidak lama kemudian, di dalam kegelapan ia melihat Elena berjalan mengendap-endap. Gadis itu terus berjalan menuju ruangan yang ia pikir merupakan dapur. Xavier ikut turun mengikuti langkah gadis itu.

Elena masuk ke dapur dan membuka kulkas, mencari makanan yang sudah hampir kadaluarsa untuk ia makan. Beberapa makanan kaleng siap saji Elena makan dalam kegelapan.

Tek!

Lampu menyala.

Elena menahan napas kaget saat tiba-tiba saja dapur menjadi terang. Ia memejamkan matanya dan meringis seperti pencuri kecil yang ketangkap basah.

"Apa yang kau lakukan? Gelap-gelapan?" Tanya Xavier sambil bersandar pada pilar melihat punggung Elena.

"Maafkan aku karena tidak meminta ijin, aku hanya makan makanan yang lewat tanggal kadaluarsanya," kata Elena terbata-bata.

Xavier maju dengan emosi melihat setiap makanan yang Elena makan. Ia merampas kemasan makanan di tangan gadis itu dan memeriksa tanggalnya.

Benar saja. Ini adalah makanan yang sudah kedaluwarsa. Ia melempar kemasan itu ke lantau dan menarik kerah Elena dengan marah.

"Kalau kau ingin mati katakan saja, jangan mengotori rumahku."

"A-aku akan membayar makanan ini nanti." Elena merasa malu sekali mengatakan itu semua, tetapi ia bersikap seolah-olah memang ia yang menginginkan makan makanan seperti itu dan ia tidak keberatan membayar.

Ia memungut plastik kemasan itu dan menarunya ke tempat sampah, lalu berbalik dan hendak pergi.

"Hey!"

Elena langsung terdiam menahan langkah kakinya.

"Kau pikir bisa pergi begitu saja? tanpa membereskan ini dulu?" tanya Xavier kesal.

"Mm…" Elena kembali berpandangan dengan Xavier. Ia lalu menunduk. "Maafkan aku…"

Elena membungkuk dan membereskan semua sampah bekas makanannya diikuti pandangan Xavier yang tidak lepas darinya.

"Siapa namamu?" tanya Xavier tiba-tiba.

"Ahh…" Elena terlihat tersentak mendengar pertanyaan Xavier.

"Bagaimana orang lain memanggilmu?" tanya Xavier lagi.

Mata Xavier masih mengintimidasi setiap ekspresi wajah Elena.

"Aku belum mengatakan namaku tadi, maaf. Aku sangat berterima kasih kau sudah menolongku tadi dan sekarang mengijinkan aku untuk menginap," Elena menjelaskan. Suara lebih terdengar seperti cicitan. "Namaku Elena Neri."

"Kau tidak perlu berterima kasih padaku," kata Xavier ketus. "Yang kulakukan itu bukan kebaikan."

avataravatar
Next chapter