9 9. Malam Bersamamu 2

Semua tamu undangan sudah pergi. Eve juga sudah pergi diantar oleh Ralio atas permintaan Guin. Gedung sudah sepi, tinggal Keluarga mempelai yang tertinggal.

Mata merah dan wajah lelah dari Nyonya Calista tidak bisa disembunyikan karena terlalu mencolok. Nyonya Calista menghampiri Gavin, sedangkan Tuan Grissham menghampiri Nyonya Amber yang tengah bersama Aland dan Sellia.

"Guin, Mommy titip Gavin ya. Malam ini kalian menginap dulu di hotel yang sudah Mommy persiapkan. Besok pagi Ralio akan menjemput kalian untuk pindah ke rumah yang baru," ucap Nyonya Calista.

"Mom, mau Guin," ucap Gavin manja.

Guin hanya diam. Pikirannya kosong dan hanya termenung seperti gadis bodoh yang tertindas. Guin wanita normal yang pastinya memiliki pikiran yang tidak-tidak. Saat ini otak Guin sedang dipenuhi dengan pikiran-pikiran tak senonoh.

Guin belum siap kalau Gavin akan meminta haknya. Apa Gavin yang tidak normal mengerti dengan hal-hal seintim itu? Pikir Guin. Pikiran bergemelut antara ketidakmungkinan dengan bayangan.

"Iya. Gavin malam ini dan seterusnya akan bersama Guin. Guin, Mommy pulang dulu. Ralio juga sebentar lagi akan datang mengantar kalian."

Guin hanya tersenyum canggung tanpa memberikan tanggapan apapun. Nyonya Calista mencium pipi Guin dan berlalu pergi.

Punggungnya sudah tidak lagi terlihat, langkah kakinya sudah tidak lagi terdengar. Bagaimana bisa, seorang Ibu meninggalkan Putra yang memiliki kekurangan begitu saja tanpa menoleh? Meskipun Guin adalah Istri Gavin, setidaknya Nyonya Calista tetap harus waspada.

Nyonya Calista seperti memberikan kepercayaan penuh pada Guin dan hal itulah yang membuat Guin sedikit keberatan karena menjaga diri sendiri saja tidak mampu apalagi menjaga Gavin.

"Guin!"

"Kyaaaaa!" Guin terkejut karena Gavin menepuk pundaknya.

"Guin terkejut? Maaf!" ucap Gavin.

Ralio datang dengan wajah yang berseri menghampiri Gavin dan Guin. Di tangan Gavin sudah ada bawahan gaun Guin yang menyapu lantai.

"Gavin, kau sedang apa?" tanya guin.

"Bantu Guin. Aku bantu Guin supaya tidak terjatuh," meskipun suaranya terdengar manja tapi terdapat ketulusan di dalamnya.

"Mari, Tuan dan Nyonya muda," ucap Ralio sembari melirik ke arah Gavin.

Ralio berjalan dibelakang Gavin. Gavin tidak melepaskan tangannya dari Guin. Gaun yang dikenakan disingkap ke atas supaya Guin tidak kesulitan berjalan.

Gavin polos seperti balita yang tidak tahu apa-apa tapi perhatian kecil Gavin untuknya memiliki arti yang sangat berharga. Guin sudah masuk ke dalam mobil, sedangkan Gavin sibuk memasukkan bawahan gaun Guin yang menjuntai tanpa memperbolehkan Ralio untuk membantunya.

"Apa sudah siap Tuan?"

"Ayo kita berangkat," ucap Gavin senang.

Entahlah, perjalanan yang tidak terlalu dekat terasa sangat cepat. 30 menit seperti 3 menit. Guin seperti baru duduk tapi sudah harus keluar lagi dari mobil karena sudah sampai.

Jantung berdebar dan berdetak dengan tidak tenang. Bagaimana tidak, malam terasa begitu sangat panjang karena Guin bukan lagi gadis yang bebas, melainkan sudah terikat oleh prnikahan.

Kehadiran Gavin dan Guin disambut hangat oleh para pekerja hotel. Gavin hanya mengangguk tanpa banyak bicara sedangkan Guin hanya tersenyum. Ralio yang menjadi umpan karena harus mengoceh untuk memberikan kesan yang menonjol.

"Tuan mudan dan Nyonya, ini kamarnya. Saya pamit undur diri," ucap Ralio sopan.

Gavin membuka pintu dan ternyata kamar itu gelap. Pintu sudah kembali tertutup, Guin diam sembari tengannya meremas jas yang dipakai Gavin.

Gavin berjalan perlahan dengan tangan yang meraba dinding untuk menemukan tombol lampu. Senyum Gavin tidak terlihat karena ruangan sangat gelap.

"Gavin, apa kau sudah menemukan tombol lampunya?" tanya Guin karena Gavin tiba-tiba berhenti.

"Apa Guin takut?" tanya Gavin.

"Iya, aku takut!" jawab Guin.

Gavin membalikkan tubuhnya lalu memeluk hangat Guin yang sudah gemetaran karena rasa takut. Guin diam saja karena tidak mungkin untuk mendorong Gavin. Kalau Gavin mengamuk seperti bayi, akan jauh lebih merepotkan.

Klik...

Guin memejamkan matanya karena Gavin menekan tombol lampu tiba-tiba dan membuat silau karena cahaya terang langsung masuk ke dalam retina mata.

"Guin, sudah terang. Guin tidak boleh takut," ucap Gavin.

"Ah, iya!" Guin langsung mundur seketika.

Mata mereka seperti dimanjakan dengan pemandangan kamar yang menakjubkan. Kamar yang dihias seperti untuk pasangan pengantin baru yang sesungguhnya.

'Apa pernikahanku dan Gavin bisa dikatakan pasangan yang sesungguhnya?' batin Guin.

"Guin, apa Guin suka? Kamarnya jadi bagus ya," ucap Gavin yang juga ikut terpana.

"Suka!"

"Guin, ayo kita dansa. Dipesta tadi, kita tidak ada kesempatan untuk dansa," ucap Gavin.

Guin menerima uluran tangan Gavin yang mengajaknya berdansa. Sinar rembulan terang, bintang juga berkelap-kelip dengan sangat indah. Lantai yang dipenuhi dengan kelopak bunga, juga seprai putih yang tertata indah, ikut menyaksikan bagaimana serasinya mereka ketika berdansa.

Guin menyalakan musik melalui ponselnya untuk mengiringi gerakan mereka yang sangat elok. Malam begitu sunyi, mereka benar-benar ditinggal hanya berdua untuk menikmati malam kebersamaan yang akan menyatukan mereka.

"Guin sangat cantik," puji Gavin.

"Gavin juga sangat tampan," balas Guin.

"Guin, aku tidak tahu menikah itu apa tapi aku senang karena aku menikah dengan Guin."

"Menikah itu hampir sama dengan berteman."

"Jadi, mulai sekarang Guin jadi temanku?" tanya Gavin penasaran.

"Iya, teman hidup!"

Gavin menghentikan gerakannya lalu mengarahkan tangan Guin untuk menyentuh dada Gavin yang berotot.

"Guin, di sini seperti ada yang meledak. Kalau Gavin mati, bagaimana?" tanya Gavin polos.

"Tidak akan. Namanya itu debaran jantung jadi kalau tidak berdebar, baru bahaya," jelas Guin.

Suara Guin begitu lembut dan Guin juga sangat telaten dalam menjawab pertanyaan Gavin yang terkadang menyulitkan Guin.

Dansa sudah selesai. Mereka duduk di atas ranjang dengan canggung. Gavin menatap wajah Guin yang tersipu.

"Guin duluan atau aku duluan yang mandi?" tanya Gavin.

"Aku duluan ya," ucap Guin.

'Hufffff... Hari ini sangat melelahkan,' batin Guin.

Guin sudah berada di dalam kamar mandi selama 30 menita tapi tidak terdengar suara air atau suara Guin. Gavin yang khawatir langsung mengetuk pintu kamar mandi.

"Guin! Guin! Guin kenapa lama?" teriak Gavin.

Guin membuka pintu kamar mandi dengan wajah yang malu-malu. Penampilannya masih sama. Tidak ada air yang membasuh tubuhnya.

"Guin belum mandi? Apa tidak ada air?" tanya Gavin.

"Bukan. Emmmm... Tapi aku tidak bisa membuka gaunnya," ucap Guin malu.

"Biar aku bantu!"

"Tapi..."

"Aku panggilkan karyawan hotel kalau begitu ya," Gavin menawarkan bantuan.

"Tidak perlu!" Guin menarik lengan Gavin.

"Guin mau tidur tanpa mandi? Guin bisa tidur pakai gaun?" tanya Gavin.

"Bukan begitu tapi..." Guin diam sejenak. "Bantu aku membuka gaunnya," imbuhnya.

"Guin tidak malu telanjang di depan Gavin?"

"Ap—apa yang kau katakan?"

avataravatar
Next chapter