25 25. Bagaimana Ini?

Gavin membuka pintu mobil untuk Guin. Guin ragu tapi tatapan mata Gavin seperti meyakinkannya.

"Percayalah! Aku tidak akan melukai Guin," ucap Gavin.

"Baiklah!" Guin akhirnya sudah masuk ke dalam mobil.

Jantung Guin berdebar. Bukan berdebar karena jatuh cinta atau Gavin bertindak yang membuat Guin terpesona, melainkan karena takut. Takut dirinya akan celaka.

"Aku tidak akan menyalakan mobilnya kalau Guin masih tidak percaya padaku," ucap Gavin sedikit sedih.

Guin memegang tangan Gavin dengan berani. Meski malu-malu, tapi Guin tersenyum lebar.

"Aku percaya padamu, Gavin!"

***

'Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Godaan ini begitu nyata,' batin Ralio.

Ralio sudah berbaring di atas ranjang dengan Eve yang duduk di atas perutnya.

"Hei, Nona! Jangan salahkan saya kalau saya tidak bisa menahan diri, ya," ucap Ralio.

"Kenapa harus menahannya?"

'Ahhhh, sialan! Adik kecil, tahan! Jangan meronta-ronta minta dikeluarkan,' batin Ralio.

"Hei, apa yang mau Nona lakukan?"

Ralio mencegah tangan Eve yang sudah menerobos masuk ke dalam celananya.

"Apa? Aku mengikuti keinginanku," jawab Eve.

"Lain kali, jangan mabuk lagi. Sangat merepotkan," omel Ralio.

"Dari pada kau mengomel, lebih baik kita berciuman. Saling terpenjam dan bungkam," ucap Eve yang semakin ngelantur.

Ralio tidak bisa lagi menahan tangan Eve yang menggerayanginya. Tangan Eve yang cantik, sudah mengacak-acak kemeja Ralio.

"Nona, apa masih tidak cukup?" tanya Ralio setelah kencing kemeja miliknya sudah terbuka setengahnya.

"Aku berfikir, apakah sekarang aku sedang bermimpi? Karena ini mimpi, aku ingin memilikimu seutuhnya!"

"Aku harap, Nona tidak menyesal karena ini bukan mimpi!"

Brukkk!

Ralio mendorong Eve sampai tubuhnya terlentang pasrah di atas ranjang.

"Nona Eve, apa kau masih mendengarkanku?" tanya Ralio.

"Tentu saja, aku selalu mendengarkan suaramu yang menggelitik ditelingku," goda Eve sembari memainkan jarinya di dada Ralio.

"Dengarkan saya baik-baik! Saya menyukai Nona. Ini kali pertama untukku jadi jangan sampai Nona lupa apa yang akan terjadi sekarang," ucap Ralio.

"Dalam mimpi saja, kau sangat pandai berbicara ya," ujar Eve.

Ralio masih sadar. Sangatlah sadar. Ralio masih memiliki rasa takut. Takut kalau Eve berbalik membencinya karena berfikir Ralio memanfaatkannya ketika dia sedang mabuk.

Ralio menjauh dari Eve yang sudah siap menerima sentuhannya. Ralio memijat kepalanya sejenak.

'Ini kali pertama untukku. Kalau salah atau malah menyakitinya, bagaimana? Ahhhhh, sial! Harusnya aku belajar terlebih dahulu,' batin Ralio.

"Ralio, apa yang sedang kau pikirkan?" kata Eve sembari memeluk Ralio dari belakang.

"Nona, saya sedang menjernihkan pikiran kotor saya," jawab Ralio.

"Benarkah? Jadi, kau menolakku?"

Mabuk yang menjadi malapetaka. Rasa menyukai yang sudah berubah mencintai, membuat Eve beranggapan semuanya seperti mimpi.

Mimpi yang mungkin saja tidak akan terjadi lagi dalam hidupnya. Eve melepaskankan pakaian atasnya, menampakkan bra hitam yang menambahkan volume dadanya terlihat semakin penuh.

"Hei, apa yang kau lakukan, Nona?" cegah Ralio.

"Melepaskan pakaianku. Apalagi?" sahut Eve cuek.

"Aku ini pria normal. Jangan terus menerus menggodaku," ucap Ralio.

"Normal? Benarkah? Aku tidak percaya!"

"Setelah ini, kau pasti percaya!"

Eve berhasil memprovokasi Ralio. Ralio langsung menyambar bibir Eve yang sudah menjadi incarannya sejak awal.

Tubuh Ralio dan Eve yang tegang, menjadi lebih santai setelah keduanya sama-sama menerima setiap sentuhan masing-masing.

Ralio tidak lagi dalam kondisi sadar. Dia tenggelam dalam perasaan dan juga suasana yang mendukungnya.

'Rasanya kenyal ketika tanganku meremasnya. Astaga, wajah Eve yang memerah membuatku semakin bergairah. Bagaimana ini?' batin Ralio.

"Kenapa berhenti?" tanya Eve.

"Kau sungguh ingin saya melanjutkannya?" tanya Ralio.

"Kau sudah menyentuhku sejauh ini, apa kau benar-benar akan berhenti?"

"Iya. Saya ingin berhenti," ucap Ralio.

Eve beranjak dan membuka resleting celana Ralio. Menampakkan kejantanan Ralio yang tak sesuai dengan ucapan dari bibirnya.

"Kau ingin berhenti, tapi itumu mengatakan untuk lanjut," goda Eve sembari menunjuk kejantanan Ralio.

"Ahhhh, sialan!" maki Ralio pada diri sendiri. "Kau benar. Saya tidak ingin berhenti tapi..."

Eve mencium bibir Ralio yang sedari tadi masih mencoba untuk menahan diri.

Sekarang tidak lagi. Ralio sudah semakin tenggelam dalam setiap sentuhan Eve.

Pakaian mereka satu per satu lepas dari tubuh. Ralio juga tidak lupa meninggalkan kissmart sebagai jejak pada setiap inci kulit Eve yang sudah dia sentuh.

Tangan Eve dan Ralio menyatu, saling menggenggam. Bibir mereka saling menggigit untuk menahan desahan-desahan nikmat ketika Ralio menggerayangi tubuh Eve seperti pria nakal.

"Emmmmm... Ralio, kalau ini mimpi, aku tidak ingin terbangun."

"Ahhhhh, ini bukan mimpi."

"Saat terbangun, kau adalah pacar wanita lain, bukan pacarku."

"Mulai sekarang, kau milikku dan aku milikmu!"

***

Gavin dan Guin sudah sampai rumah dengan aman. Guin menyajikan teh hangat untuk gavin.

Gemericik air terdengar. Guin sudah duduk manis mengeringkan rambutnya setelah mandi, sedangkan Gavin tengah membersihkan diri.

Deg... Deg... Deg...

Debaran jantung tak berhenti. Terus berdebar hebat, apalagi ketika Guin teringat saat dirinya memeluk Gavin dan mengatakan perasaannya.

Bukan hanya sekedar berdebar, tapi wajah Guin juga menjadi merona. Wajah merah yang membuat Guin terlihat semakin manis.

Tap... Tap... Tap...

Guin memalingkan wajahnya. Guin juga menelan salivanya ketika melihat Gavin yang hanya terlilit oleh handuk kecil dipinggangnya.

Air yang menetes dari rambut Gavin yang masih basah, membuat pesona gavin bertambah.

'Duhhhh, aku harus melihat ke arah mana?' batin Guin.

"Guin!" panggil Gavin.

"Iya!" jawab Guin tanpa menoleh.

"Guin marah?" Gavin menyentuh dagu guin supaya Guin menatapnya.

Mata mereka bertemu, saling berpandangan sejenak.

"Kenapa Guin tidak mau menatapku?"

"Kau terlalu tampan. Aku takut berbuat yang tidak-tidak padamu," jawab Guin berterus terang.

"Tubuhku terlalu menggoda, ya?" goda Gavin.

"Berhenti menggodaku, Gavin!"

Bukannya berhenti, Gavin malah menyambar bibir Guin. Perlahan, tubuh Guin menjadi terbaring di atas ranjang dengan Gavin yang merangkak di atasnya.

"Awhhhh!" pekik Guin ketika Gavin terlalu gemas sampai menggigit bibir Guin.

"Maaf!" ucap Gavin.

'Aku kalau bicara, harus melihat ke arah mana? Tubuhnya terlalu sayang kalau tidak aku lihat. Kalau aku lihat, bagaimana kalau aku tidak bisa menahan diri?' batin Guin.

"Guin!"

"Iya!"

"Aku menginginkan guin," bisik Gavin tepat di telinga Guin.

"Ak--aku..."

"Tidak perlu menjawab. Kita lakukan saja."

Guin melingkarkan tangannya dileher Gavin. Matanya terpejam. Gavin juga memejamkan matanya, merasakan bibir Guin yang penuh masuk ke dalam mulutnya.

Lidah Gavin menyapu bersih bibir Guin yang basah karena air liurnya. Tangan Gavin semakin aktif. Tangan nakal itu masuk ke dalam gaun malam yang Guin pakai.

Guin yang tidak memakai bra, membuat telapak tangan Gavin langsung menyentuh dadanya.

"Ahhhhhh!" pekik Gavin terkejut.

"Kenapa?" tanya Guin khawatir.

Gavin melirik ke bawah, melihat miliknya yang menegang dan menerobos keluar dari celah handuk yang Gavin pakai.

"Ahhhhhh, kenapa membesar? Guin, bagaimana ini?" ucap Gavin panik.

"Ba--bagaimana? Ak--aku juga tidak tahu."

avataravatar
Next chapter