webnovel

17. Kemunculan Presdir Dan Hancurnya Lawan

Tuan Garmond sudah pergi. Keributan sudah tidak lagi terdengar. Guin hanya diam ketika Gavin menanyakan sebuah perasaan cinta padanya.

Ketika berciuman saja, itu hanyalah sebuah kecupan yang sama ketika Gavin mencium kening Guin. Apalagi perkara cinta yang tidak bisa Gavin pahami.

Kata cinta yang terlalu rumit, tidak akan bisa dimengerti oleh Gavin. Mengancingkan kemeja yang sudah beberapa kali Guin ajarkan saja, Gavin masih saja tidak bisa melakukannya seorang diri.

IQ Gavin yang begitu rendah, mana mungkin bisa mengartikan perasaan yang tersirat. Bahkan perasaan sayang bisa salah diartikan oleh orang normal, apalagi kata cinta yang terkadang tidak setiap orang bisa menyadari hadirnya.

Guin bukan wanita yang egois. Meskipun masih muda, tapi Guin bisa berfikir dewasa. Guin bisa saja membohongi Gavin yang dikatakan sangat bodoh dalam setiap hal, tapi Guin tidak bisa melakukan hal itu. Bagi Guin, hubungan yang sudah berjanji dihadapan Tuhan, bukanlah hubungan yang pantas untuk dipermainkan.

Menikah, satu kata dengan beribu makna. Artinya, setelah menikah, Guin harus menerima kekurangan ataupun kelebihan Gavin. Seperti buruknya ketika dia tidur, berantakannya waktu dia makan, atau sikapnya yang tidak umum ada pada pria dewasa.

Apakah Guin menyesal? Apa Guin ingin mengeluh? Tidak! Sejak awal, Guin sudah meyakini keputusannya supaya tidak terjadi penyesalan pada akhirnya.

"Guin, kenapa diam? Apa Guin tidak mencintaiku?" Gavin duduk dan menatap Guin yang diajaknya bicara.

"Sedang berfikir."

"Berfikir apa?" tanya Gavin.

"Berfikir, apa Gavin tahu cinta itu seperti apa?"

Gavin menggeleng lalu menarik tangan Guin untuk menyentuh dadanya. "Cinta itu di sini. Rasanya seperti mau meledak. Kalau Guin menangis, di sini rasanya tertusuk. Kalau Guin kesakitan, di sini lebih sakit. Kalau Guin sedang berbicara dengan Ralio terlalu dekat, di sini rasanya hancur," jelas Gavin.

Guin diam dan tidak menyangka, ternyata jantung Gavin berdebar, wajahnya juga memerah. Guin tidak menduga kalau Gavin bisa bereksresi malu-malu seperti itu. Hal yang paling mengejutkan, apa yang diucapkan Gavin, apa bisa dikategorikan perasaan?

"Infusnya sudah habis. Kita langsung pulang saja ya," ucap Guin mengalihkan pembicaraan.

"Aku panggilkan Dokter dulu."

Gavin yang beranjak dengan sigap, terlihat seperti pria normal pada umumnya, tapi Guin tidak ingin memiliki perasaan lebih yang akan membuat hatinya terluka. Guin akan melihat Gavin yang seperti anak-anak meskipun terkadang secara tidak sengaja bersikap seperti pria dewasa.

'Mau bagaimana pun, kau adalah Suamiku sekarang. Sudah tugasku untuk mencintaimu meskipun kau tidak akan pernah tahu cinta seperti apa yang seharusnya terjadi diantara kita,' Batin Guin.

Guin sudah diperiksa Dokter dan diijinkan pulang. Gavin mengurus pembayaran sembari menunggu Ralio datang menjemput.

Tentu saja Ralio akan menancap pedal gas dengan kekuatan ekstra supaya tidak membuat Tuannya menunggu.

"Guin, Ralio sudah di depan," ucap Gavin setelah semuanya beres.

"Ayo!"

Guin menggandeng tangan Gavin. Gavin hanya menatap tangannya yang saat ini dalam genggaman hangat yang diberikan oleh Guin.

Bibirnya tersenyum, seakan semua sesuai dengan keinginannya. Bahkan sudah sampai di dalam mobil sekali pun, Guin tetap tidak melepaskan tangan Gavin.

"Apa akan seperti ini sampai rumah?" Gavin mengangkat tangannya yang sedang bergandengan dengan tangan Guin.

"Kenapa? Gavin malu?"

"Bu—bukan tapi kasihan Ralio. Dia belum menikah," bisik Gavin.

'Ternyata, Gavin memiliki perasaan seperti itu ya,' batin Guin.

Mobil sudah meluncur dengan cepat. Guin menikmati padatnya jalanan. Terjebak macet membuat Guin bosan.

"Apa Guin bosan?" tanya Gavin.

"Sedikit," jawab Guin.

"Guin, nanti kalau sampai rumah aku tidak bisa menemani Guin."

"Kenapa?"

"Aku ada les."

"Tidak apa-apa. Belajarlah supaya pintar," jelas Guin.

"Berarti Ralio bodoh karena tidak belajar?" tanya Gavin dengan kepolosannya.

"Pffffttttttt... Sudah-sudah. Sebentar lagi kita sampai rumah," tawa Guin begitu renyah.

Mereka sudah sampai rumah, Guin keluar tapi Gavin masih tetap duduk. Gavin hanya mengamati keberadaan Guin sampai bayangan Guin tertelan gedung yang sangat besar.

"Ke kantor!" ucap Gavin.

"Baik!"

***

"SELAMAT SORE, TUAN RALIO!"

Semua karyawan yang dilewati hanya menyapa Ralio. Gavin seperti bayangan Ralio. Ketika Ralio ingin menegur ketidaksopanan mereka, Gavin mencegah hanya dengan mengangkat tangannya.

"Pesonamu sudah semakin populer ternyata," ucap Gavin.

"Itu semua karenamu. Cihhhhh, masih pura-pura bodoh!" protes Ralio.

"Hei, seharusnya kau bersyukur karena aku membantumu menjadi populer. Kau bisa memilih Istri!"

"Mau sampai kapan kau akan mempermainkan Guin?"

"Kau jangan menyukainya!" ucap Gavin tegas.

"Kalau kau tidak melahapnya, dia akan berpaling," ejek Ralio.

"Sialan!"

Gavin menutupi dirinya dan menonjolkan Ralio meskipun semua wewenang ada dibawah perintahnya. Apa yang membuat Gavin berbeda? Apakah dia hanya berpura-pura? Atau dia memiliki kepribadian ganda?

Gavin terlihat berbeda. Duduk manis dengan ekspresi wajah serius. Laptop yang ada didepannya sudah menyala dan beberapa kertas juga menumpuk di atas mejanya.

"Berhentilah untuk mengerjai Istri sendiri."

"Bukankah seru memainkan peran sebagai pria bodoh?"

"Kalau Guin tahu, aku tidak ikut tanggungjawab," ucap Ralio sembari mengangkat kedua bahunya.

"Bukankah tidak asyik kalau hanya aku yang begitu menyukainya? Guin juga harus menyukaiku," jawab Gavin.

"Tapi apa tidak konyol? Hanya ingin menciumnya saja kau beralasan mengajaknya nonton. Cih kekanak-kanakan. Apa kalau kau ingin melakukan hal lebih, kau akan mengajaknya nonton Video yang tak senonoh?" ejek Ralio.

BRAKKKK

"Berisik!" ucap Gavin sembari melemparkan buku ke arah Ralio.

Ralio bukan orang lain. Ralio adalah sahabat juga ponakan dari Nyonya Calista. Keluarganya hanya tersisa Nyonya Calista dan Gavin sehingga Ralio mengabdikan dirinya sepenuhnya dengan berbagai tugas dari yang paling ringan sampai yang tersulit.

"Apa kau sudah membayangkan bagaimana hancurnya reputasi Aland?"

"Tentu saja! Tapi sampai detik ini aman, aku jadi mencurigai sesuatu," sahut Ralio

Drrrrrr (Ponsel berdering)

'Hmmmm... Mommy?' batin Gavin.

"Iya, Mom!"

"APA YANG TERJADI? KENAPA ALAND MEMILIKI FOTO GUIN YANG TERBUKA SEPERTI ITU? BAGAIMANA KAU MENJAGA GUIN? SEKARANG FOTO ITU DIPAKAI UNTUK MENGANCAM MOMMY," terdengar suara Nyonya Calista sedang memaki Gavin.

"Mommy tenang saja. Semua sudah dalam bulatan rencana," jawab Gavin.

"CEPAT PULANG!"

Tutttt (Sambungan terputus)

Gavin bergumam tapi Ralio tidak mendengar apa yang digumamkan. Ralio hanya melihat Gavin menggelengkan kepalanya lalu menoleh dan menatapnya dengan tatapan penuh curiga.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Ralio yang tersentak dengan tatapan Gavin,

"Apa benar kau sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik?" tanya Gavin penuh curiga.

"Tentu saja!"

"Lalu..."

"Lalu apa?" tanya Ralio tidak sabar.

"Kenapa Aland masih memiliki foto Guin saat penculikan? Apa kau bisa jelaskan?" tanya Gavin santai.

"Aku rasa, kau menjadi bodoh sungguhan," ejek Ralio.

"huh... Katakan!"

"Rencanaku. Bukankah sangat seru kalau membuatnya malu sampai ke 7 generasi keturuanannya nanti?"

Next chapter