11 11. Gavin Yang Menggoda

Pagi hari sudah datang menyapa tapi mata masih enggan untuk terbuka. Rasa lelah masih sangat terasa. Tidur selama 5 jam belum cukup untuk memulihkan tenaga.

Guin mengusap matanya tapi tangan itu langsung dicekal oleh Gavin. Mata Guin langsung terbelalak seperti melihat hantu disiang hari bolong atau seperti melihat isi dompet diujung bulan.

"Kyaaaaaa!" teriak Guin setelah sadar.

"Selamat pagi, Guin!" sapa Gavin.

Guin memperhatikan dirinya dan juga memperhatikan Gavin. Guin langsung bernafas lega ketika semuanya aman terkendali.

"Guin!"

"Iya, Gavin. Selamat pagi!" balas Guin setelah Gavin murung.

Guin beranjak dari ranjang lalu langsung membersihkan tubuhnya. Gavin membuka horden dan cahaya matahari pagi langsung menghangatkan tubuhnya.

Udara yang masih segar untuk dihirup, membuat tubuh juga menjadi lebih bertenaga. Hari nampak cerah tapi tidak bisa diprediksi untuk beberapa jam ke depan.

Pendengaran Gavin ternyata sangat sensitif. Suara langkah kaki yang berhenti di depan kamarnya saja langsung terdengar. Mungkin ini yang disebut dengan setiap kekurangan pasti ada kelebihan.

Gavin membuka pintu dan siapa yang ada diluar? Tentu saja Ralio. Ralio membawa sarapan untuk Gavin dan Guin. Sarapan yang disiapkan oleh Nyonya Calista.

Ralio tidak masuk dan hanya membisikkan sesuatu ke Gavin. Ekpresi wajah Gavin berubah lalu Gavin membalas bisikkan Ralio. Ralio hanya mengganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju.

"Pergilah!" ucap Gavin.

Ralio pergi dan Gavin kembali masuk ke dalam kamar. Guin sudah selesai dan pagi ini Guin terlihat sangat cantik dengan dress pilihan Gavin.

"Cantik!" bisik Gavin sembari berjalan melalui Guin.

Giliran Gavin untuk membersihkan tubuhnya. Air mulai gemericik membasahi tubuhnya. Wajah yang tampan, tatapan mata yang tegas, terlihat begitu menggoda. Lagi-lagi, baju yang disiapkan adalah kemeja.

Gavin tersenyum setelah tubuhnya kering. Satu persatu pakaian mulai melekat ditubuhnya. Entah sengaja atau memang Gavin tidak pandai dalam memakainya, dengan celana yang belum di kancing, kemeja yang masih terbuka, Gavin keluar dari kamar mandi menghampiri Guin.

"Guin!" panggil Gavin lirih.

"Iya!" jawab Guin tanpa menoleh karena Guin sibuk menyiapkan barang miliknya dan juga milik Gavin.

"Guin!" kali ini Gavin memegang lengan Guin.

"Iya," Guin menoleh. "Kyaaaa... Kenapa ini bajunya?" pekik Guin dengan wajah yang merah seketika.

"Tidak bisa pakai," ucap Gavin manja.

Debaran jantung benar-benar seperti akan meledak. Guin mengatur nafasnya setelah melihat postur tubuh Gavin yang sempat menggodanya.

'Bisa cepat mati kalau jantungan setiap hari,' batin Guin.

"Guin, sarapan."

"Iya, sebentar. Gavin harus pakai baju dulu setelah itu kita sarapan. Gavin mau sarapan apa?" tanya Guin.

"Sarapan Guin."

"Hah?" Guin yang sedang mengancing kemeja Gavin langsung terkejut.

"Sarapan dengan Guin," jelas Gavin.

Guin mengelus dadanya yang merasa lega. Guin sempat berfikir kata-kata yang diucapkan Gavin terlalu ambigu hingga terkadang Guin mengartikannya dengan maksud tertentu.

'Apa sebenarnya yang aku fikirkan? Gavin tidak mungkin berfikir ke arah sana. Aku saja yang menanggapinya terlalu berlebihan,' batin Guin.

Tubuhnya dewasa, semuanya berkemang dengan baik. Hanya saja otaknya memiliki IQ yang rendah. Sikapnya yang seperti anak-anak membuat Guin merasa sedikit lega karena belum ada cinta di antara mereka.

Disisi lain, meskipun ada rasa lega, Guin juga bersanding dengan perasaan was-was karena mau bagaimana pun, Gavin adalah pria dewasa yang tentunya pasti memiliki hasrat meskipun hasrat itu tidak dipahami oleh Gavin sendiri.

"Gavin bisa merapikan kemejanya? Tinggal dimasukan terus celananya dikancing. Nanti ikat pinggang dan dasi biar aku yang pakaikan," ucap Guin.

"Bisa!"

"Jangan di sini!" teriak Guin yang terkejut karena Gavin ingin melepaskan celana yang dipakainya dan merapikan kemejanya.

"Kenapa? Tidak ada orang lain," ucap Gavin.

"Pokoknya tidak boleh," ucap Guin kesal.

"Guin!" rengeknya.

"Maaf! Lain kali tidak boleh asal melepaskan pakaian di depan orang lain ya. Sekarang rapikan di dalam kamar mandi. Aku siapkan dulu sarapan untuk kita," jelas Guin.

Guin menatap Gavin yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan lesu. Hufffff... Suara nafas lega Guin terdengar. Guin duduk dan membuka sarapan yang sudah Nyonya Calista siapkan.

'Apa aku akan selamanya menekan emosiku demi membuat Gavin tidak menangis? Aku sangat tidak tega,' batin Guin.

"Guin, sudah!" ucap Gavin.

"Kemarilah!" pinta Guin.

Gavin menurut saja seperti bayi hamster yang lucu. Guin mengambil ikat pinggang dan dasi. Kesabaran Guin yang sempat tidak terkontrol, sekarang sudah pulih kembali.

"Menunduklah!" pinta Guin.

Perbedaan tinggi badan antara keduanya lumayan jauh jadi Gavin harus sedikit menunduk supaya Guin bisa memakaikan Gavin dasi.

"Guin, apa Guin menyukaiku?" tanya Gavin.

"Tentu saja!"

"Guin, apa aku tampan?" bisik Gavin.

"Sangat tampan," jawab Guin. "Eits... Ayo kita makan terlebih dahulu."

Guin menarik Gavin untuk duduk disampingnya. Akan lebih berbahaya kalau Gavin mempertanyakan sesuatu yang tidak bisa Guin jawab.

"Makan sama Guin."

"Iya. Sini aku suapi. Kalau makan sendiri kemejanya bisa kotor," Guin mulai menyuapkan satu suap makanan ke dalam mulut Gavin.

Guin seperti seorang guru yang sedang merawat muridnya, atau Guin merasa menjadi seperti gadis yang menikahi duda beranak 1 sehingga setelah menikah langsung menjadi seorang Ibu.

"Guin, enak. Guin juga makan," ucap Gavin.

"Aku makan kalau kau sudah selesai."

Gavin kembali patuh sampai semua keperluan selesai. Entah kenapa, Ralio datang tepat waktu. Barang sudah dikemas dengan rapi, Gavin juga terlihat begitu bersih.

'Nyonya muda merawat Tuan dengan baik,' pikir Ralio.

"Ralio, ini berat," ucap Gavin.

"Baik, Tuan!" Ralio lalu membawa barang-barang keluar.

Guin langsung memegang lengan Gavin ketika Gavin hampir saja terlepas dan bersiap lari ke arah tangga darurat.

"Gavin, patuh!" ucap Guin.

"Aku nakal?" tanya Gavin.

"Tidak. Gavin, jangan berbuat ulah ya. Aku tidak tahu cara menjelaskan pada Mommy kalau kau kenapa-kenapa," ucap Guin.

"Guin menyukaiku karena Mommy?"

"Sudahlah, jangan memikirkan hal lain. Gavin bosan ya?"

"Tidak. Ada Guin, kenapa aku harus bosen?"

Mereka sudah masuk ke dalam lift. Gavin sangat manja dengan menyandarkan kepalanya di pundak Guin tanpa peduli dengan kehadiran Ralio yang seperti obat nyamuk.

"Kalian berbisik apa?" tanya Guin.

Gavin tidak menyangka, kepekaan Guin sangat kuat sampai-sampai menyadari Ralio yang tengah berbisik pada Gavin.

"Urusan laki-laki," jawab Gavin malu.

"Urusan apa?" Guin semakin penasaran.

Gavin berdiri tegap dihadapan Guin. Guin mundur hingga tubuhnya menempel pada dinding lift. Gavin semakin maju dan menatap Guin dengan pandangan mata berbeda.

'Apa yang sedang Gavin lakukan?' batin Guin.

Tangan Gavin sudah menempel pada dinding sehingga mengunci tubuh Guin tepat di depan matanya.

"Aku..."

"Tuan, lift sudah terbuka."

Bisikan canggung yang belum selesai harus dihancurkan oleh Ralio. Akhirnya, tidak terjadi apa-apa karena Ralio seperti sengaja mengganggu Gavin yang usil.

Mobil sudah masuk ke jalur ramai. Akhirnya, mobil itu masuk ke dalam perumahan elit, mewah dan juga besar. Melihat ekspresi Gavin, dia seperti terkejut karena ternyata Ralio membawanya ke kediaman Tuan Grissham.

"Tuan dan Nyonya muda, kita sudah sampai di kediaman Tuan Grissham."

"Kenapa ke sini?" tanya Gavin tegang.

'Pantas saja ekspresinya tidak menyenangkan. Ternyata rumah ini milik Ayahnya,' batin Guin.

"Jangan takut, ada aku!"

"Kalau Mommy bicara seperti itu, biasanya Mommy akan menciumku. Apa Guin tidak akan menciumku?"

"Ap—apa? Ci—cium?"

avataravatar
Next chapter