2 Chapter 1

"Kapan putri saya bisa pulang, Dok?" Wanita yang umurnya di pertengahan tiga puluhan itu bertanya setelah Ava memeriksa seorang anak kecil berusia enam tahun.

"Sepertinya besok jika kondisi putri Ibu sudah stabil. Tidak ada yang perlu Ibu cemaskan lagi," jelas Ava dengan senyum profesional sebagai seorang dokter. "Tapi Marisha harus menjalani pemeriksaan rutin sampai operasi pelepasan pen."

Ava keluar diikuti seorang perawat dari kamar pasien di kelas VVIP, ruang di mana pasien dengan prioritas pertama ditempatkan, lalu menyusuri koridor panjang yang tampak lenggang. Wanita berambut panjang yang mengenakan flat shoes hitam itu berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan langit yang terisi milyaran bintang. Ava sangat menyukai langit malam karena kegelapan itu seperti menariknya ke dalam dimensi yang bisa membuatnya lupa akan segala hal buruk dalam hidupnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan, Va?"

Jantung Ava berdetak lebih cepat mendengar suara bas seorang pria dan menyentaknya langsung dari lamunan. Ava menoleh sekilas lalu setelah memastikan siapa pria yang memanggilnya, dia kembali fokus pada langit malam yang cerah.

Ava mengenal pria itu, ah bukan! Bukan sekadar mengenal, pria berambut hitam yang memiliki wajah oriental dengan kulit putih dan mata sipit itu adalah cinta pertamanya. Namun malangnya perasaannya tidak terbalas dan harus gugur sebelum terkembang.

"Aku sedang melihat langit," jawab Ava setengah menggumam dan tidak mengalihkan pandangannya pada pemandangan malam.

Pria bernama Aidan Aryasha itu mengernyit lalu memilih menyandarkan diri ke dinding yang terletak samping Ava. Angin malam berembus, menghantarkan udara dingin yang membekukan. Aidan memeluk dirinya sendiri lalu terkejut, wanita di sampingnya yang mengenakan kemeja sifon dan jas putih itu masih bergeming di tempat tanpa terganggu hawa dingin yang menusuk tulang. Ava terlihat sangat menikmati suasana malam.

Aidan mendesah napas pelan lalu bergabung memandang jauh ke angkasa yang tidak terbatas seperti permadani hitam bertaburan berlian.

"Langit, ya? Tadi aku lihat di berita, malam ini akan ada hujan meteor. Apa kamu ingin melihat bintang jatuh?"

Ava tidak menjawabnya dan hanya mengendikkan bahu, tidak peduli.

"Permintaan apa yang ingin kamu harapkan dari bintang jatuh?" tanya Aidan sekali lagi ketika Ava tetap terdiam.

"Aku tidak mengharapkan apa pun dari bintang jatuh."—karena harapanku sudah sirna. Ava menelan kalimat terakhir tersebut di tenggorokannya.

Ava tidak memiliki harapan apa pun dalam hidupnya. Dia tak ubahnya seperti manekin yang tidak memiliki perasaan.

"Aku sudah melamar Violet," gumam Aidan tiba-tiba.

Pengakuan yang terucap dari mulut pria itu serta merta langsung meruntuhkan tembok es yang mengurung hatinya dan Ava kembali merasakan nyeri tak tertahankan yang menyesakkan dada.

"Vi—violet?" Ava hanya menggumamkan nama wanita yang diam-diam dekat dengan Aidan.

"Iya, Violet, perawat bertubuh mungil yang ceroboh itu," gumam Aidan sembari tertawa kecil.

Tubuh wanita pendiam itu langsung gemetar. Ava tidak menyangka dia sampai sekarang perasaannya yang terpendam pada pria itu masih bersisa. Buktinya, pengakuan Aidan membuatnya terpuruk dalam lembah keputusasaan. Pengakuan di mana pria—yang kini menjabat wakil departemen penyakit dalam di rumah sakit Oetomo Aryasha—mengatakan ingin menikahi perawat muda bernama Violet.

avataravatar
Next chapter