3 Mulai Terbiasa

Zio Aksadana, makhluk yang di anugerahi dengan wajah tampan dan kecerdasan sekaligus. Membuat aura di dalam tubuhnya semakin menguar, menjadikan ia sebagai most wanted SMA Altamevia. Tidak ada satupun orang yang meragukan fisik dan kecerdasan Zio.

Zio termasuk kategori yang banyak di minati kaum hawa, bukan hanya satu yang ingin menjadi kekasihnya bahkan hampir seluruh Altamevia bermimpi untuk bisa bersanding dengan Zio. Cinta memang tidak bisa di prediksi akan jatuh kepada hati siapa, meskipun sangat banyak wanita yang berharap menjadi kekasih Zio, dari mulai kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Menurut Zio ini berlebihan, ia tidak sesempurna apa yang mereka bayangkan, ia hanya makhluk biasa yang di beri kelebihan oleh Tuhan.

Zio sangat mengantisipasi hatinya, ia tidak ingin jatuh kepada orang yang salah jika suatu saat tidak ingin hatinya terluka. Sejak pertama memasuki Altamevia, tidak sedikit wanita yang berusaha mendekatinya. Namun hingga saat ini ia tidak pernah tertarik dengan mereka, ia ingin mencari sosok yang berbeda, bukan yang mengharap kehadirannya tapi yang menolak hadirnya.

Steffani Irona Najma, entah mengapa gadis itu selalu memenuhi pikirannya saat ini. Tidak, ia tidak menyukai gadis itu, atau mungkin belum. Ia tidak tahu mengapa, setiap menjahili Irona dan melihatnya merengek menjadi kebahagiaan tersendiri untuk Zio. Bukan, ia tidak jahat. Ia tidak pernah menyakiti sampai Irona sakit, ia hanya sedikit menarik rambut Irona, dengan seperti itu Irona akan menjadi sosok macan betina.

"Zio, lo ngga capek apa ngerjain Irona mulu?," Daffa memiringkan ponsel nya, bersiap untuk memainkan game online. Meskipun Daffa terlihat kemayu, tetapi jiwa lelaki nya tidak pernah hilanh.

"Nggak, gue seneng lihat dia merengek," Zio terkekeh mengingat-ingat wajah Irona ketika sedang kesal. Tiba-tiba saja ia teringat gadis itu, sudah setengah hari ia tidak melihat Irona. Di kelas pun ia tidak ada, padahal tadi pagi di koridor ia melihat Irona berjalan memasuki kelas.

"Tapi si Rona kok ngga keliatan ya? dia masuk ngga sih?," Zio beralih menghadap Daffa, dengan mimik muka yang-----tidak biasa.

Daffa terlihat berfikir, "oh iya, gue baru inget. Tadi pagi gue liat Irona di pangku gitu sama petugas pmr. Kayaknya di sakit deh."

"Terus sekarang dia dimana?," Zio bergerak dari tempatnya, dengah wajah yang khawatir.

"Kayaknya di uks d------," belum selesai Daffa menjawab, Zio sudah secepat kilat berlari menuju uks, "anjim" Daffa menghardik, kelakuan temannya itu benar-benar tidak berakhlak.

Zio tergesa-gesa menyusuri koridor, entah mengapa ia terlihat begitu khawatir. Tidak, ia tidak menyukai Irona, ia hanya mengkhawatirkan sebagai teman. Zio takut kalau Irona sakit karena sering ia jahili. Ia sudah tiba di depan pintu uks, ia menerobos masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu.

"Rona," Zio berucap lirih, sangat tidak tega melihat Irona terbaling lemah seperti ini. Wajahnya terlihat pucat dan matanya menghitam, apa dia begadang?, pikir Zio.

Zio mengambil kursi dan duduk disamping Irona, ia memperhatikan Irona lekat-lekat. Terkadang kekehan kecil terdengar dari bibirnya, ia ingat saat melihat Irona di kelas sepuluh. Sungguh, pesona Irona tidak ada tandingannya, tapi Zio tidak ingin mengubah status mereka menjadi pacar. Zio ingin pertemanan mereka berkesan, itu sebabnya mengapa Zio gencar sekali menjahili Irona.

Orang yang cerdas sepertinya mempunyai kuasa, karena apapun yang ia inginkan pasti di wujudkan oleh guru-guru. Seperti Zio Aksadana, awalnya ia dipilih untuk memasuki kelas ipa, namun Zio melihat Irona memasuki kelas ips, dengan iming-iming mengikuti olimpiade Zio membujuk guru-guru agar bisa memasuki kelas ips, satu kelas dengan Irona.

Zio tersenyum saat mengingat semuanya, pengorbanan untuk selalu bersama Irona, sudah pasti tanpa sepengetahuan Irona. Tiba-tiba saja kedua mata Irona mengerjap, Zio segera tersadar dan berdiri, ia menepuk-nepuk kedua pipi Irona.

"Na, lo udah sadar?," Zio mengelus kedua pipi Irona.

"Zio, lo ngapain disini?," Irona terkejut dan mengubah posisinya menjadi terduduk.

"Gue nyari lo, karena seharian ini tangan gue keram ngga jambak-jambak rambut indah lo," Zio tersenyum smirk, dan mendekati rambut Irona.

"Lo jangan macem-macem, gue lagi males berdebat sama lo," Irona beringsut, ia benar-benar lemas, tidak ingin meladeni Zio, untuk hari ini saja.

"Haha.. ngga kok Ron, gue kesini buat jengukin lo. Gue takut aja lo sakit gara-gara gue, nanti yang ada gue yang di tuntut sama keluarga lo," Zio tergelak di hadapannya, kemudian kembali duduk. Ia menatap kedua mata indah Irona, ada sedikit pendir-pendir kekhawatiran di mata Zio.

"Iya gue sakit karena lo," Irona memelototkan kedua matanya.

"Yaudah gue ke kantin dulu," Zio berdiri dan keluar dari ruang uks menuju kantin.

Irona menarik nafas lemah, sejak tadi pagi memang badannya lemas sekali, kepalanya pusing dan perutnya mual. Semalaman ia menonton drama Korea kesukannya, tanpa sadar hinggan pukul empat subuh, dan karena itulah efeknya sampai sekarang hingga pagi-pagi sekali ia harus pingsan dan dibawa ke uks.

Irona kembali merebahkan dirinya, ia lapar, haus, tapi bagaimana mau ke kantin, jalan saja ia tidak kuat. Arina tidak masuk hari ini, ia tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Pintu uks terbuka, Irona menoleh dengan cepat untuk melihat siapa yang datang.

"Gue bawain makanan buat lo, gue tahu lo belum makan," Zio menaruh kantung plastik berisi beberapa makanan, ada roti, susu, air mineral dan juga makanan berat lainnya.

"Tumben lo baik, ada maunya nih pasti," Irona menatap curiga ke arah Zio.

"Astagfirullah Rona, kenapa sih lo selalu suudzon sama gue?," Zio terlihat frustasi, mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Hmmm.. oke," Irona mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sekarang lo makan ya, muka lo pucet banget," ia membuka air mineral, "gue ini biarpun suka jailin lo, tapi gue juga peduli sama lo. Karena kalo lo ngga sembuh, nanti gue mau jailin siapa?," Zio terlihat tenang saat berbicara seperti ini, hingga ia mendapat tatapan sinis dari Irona.

Irona tidak membuka suara sejak tadi, ia hanya fokus kepada makanannya, ia benar-benar lapar, sangat lapar. Beruntung sekali Zio mengerti dan membelikan semuanya, walaupun Zio menyebalkan, tapi dia baik juga, batin Irona.

Zio terlihat fokus dengan ponselnya, dengan tubuh yang bersandar ke sandaran kursi. "Lo ngga masuk kelas?" Irona membuka suara, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganya. "Ngga, gue mau disini aja, capek belajar," Zio menjawab tanpa menoleh ke arah Irona, ia terlihat fokus memainkan game online nya. Irona hanya mengangguk-anggukan kepalanya, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, malas juga mengurusi orang seperti Zio.

Beberapa jam berlalu, ruangan uks terlihat begitu sunyi. Tidak ada orang-orang sakit seperti Irona, ia penasaran dengan bilik disampingnya. Pasalnya, sudah satu jam lebih Zio beralih ke dalam bilik itu, tapi sampai sekarang suaranya tidak terdengar sama sekali. Irona menuruni ranjangnya, ia berniat melihat apa yang dilakukan Zio. Irona menyibak gorden penghalang miliknya, ia melihat Zio tertidur, dengan posisi menyamping ke arah kanan dan kedua tangan yang di lipat ke bagian dada.

Irona tersenyum, baru pertama kali ia melihat Zio setenang ini. Tidak ada Zio yang pecicilan, Zio yang cerewet, ia terlihat tenang dan damai mungkin sedang bermimpi. Irona mendekat ke tepian ranjang milik Zio, dengan sudut bibir yang terangkat ia mengelus rambut Zio. "Makasih ya," ia menurunkan tangannya dan kembali ke tempatnya. Irona merebahkan tubuh, ia bingung kenapa tadi harus mengusap rambut Zio? apa ia tidak sadar? "argh" Irona menggeram frustasi, ia tidak boleh bersikap manis kepada Zio.

***

Waktu sudah menunjukan pukul 16.30, senja sudah mulai turun dan langit berubah menjadi oranye. Kedua insan yang masih sama-sama terlelap itu tidak terpengaruhi oleh bel sekolah yang berbunyi sejam dua jam yang lalu, mereka masih asyik dengan mimpi masing-masing.

"Nggh..," Zio terbangun, ia berusaha duduk dan mengedarkan pandangannya. Ia baru ingat kalau ini masih di uks, dengan keadaan setengah sadar ia menghampiri Irona.

"Ron, Rona bangun," dengan suara serak dan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Zio menggoyangkan bahu Irona.

"Kita masih di uks ya?," Irona membuka matanya, dan berusaha duduk untuk memperjelas penglihatannya.

"Iya, huaaaa," Zio menguap tanpa malu di hadapan Irona, "ayo kita pulang, lo kuat jalan kan?," lanjutnya.

"Iya gue kuat kok," Irona menganggukan kepala dan turun untuk memakai sepatunya kembali.

Mereka berdua berjalan di koridor yang sudah sangat sepi, jelas saja karena siswa yang lainnya sudah pulang terlebih dahulu. Tidak ada percakapan yang menengahi mereka, semuanya sama-sama memilih bungkam dengan pikirannya masing-masing, hingga tidak terasa mereka sampai di area parkir.

"Lo mau nganterin gue?" cicit Irona.

"Iya lah, ayo masuk," Zio memasuki posisi kemudi di ikuti Irona yang memasuki kursi penumpang. Sepanjang perjalanan pun keduanya memilih diam, entah apa yang mereka pikirkan. Padahal sebelumnya kalau mereka berdekatan, sudah pasti selalu ramai. Suasana seperti sangat tidak disukai oleh Irona, ia berdecak untuk memberikan kode agar Zio membuka obrolan tapi memang dasarnya Zio tidak pernah peka.

"Kok lo tau rumah gue?," Irona mengubah posisi duduknya menyamping, agar dapat melihat wajah Zio. Ia memasang mimik intimidasi, karena selama ini Irona tidak pernah memberikan alamat rumahnya kepada Zio.

"Hmm.. ituu.. gue asal nebak aja sih," Zio terlihat gugup dan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Ngga penting," Irona keluar begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih.

"Sama-sama woy," Zio berteriak dan Irona hanya mengangkat bahu acuh.

Tanpa diketahui siapapun, Zio memang seringkali membututi Irona ketika pulang sekolah. Ia juga tidak tahu kenapa harus melakukan itu, tapi hatinya selalu berkata seperti itu dan otaknya selalu menuruti keinginan kata hatinya.

Hubungan antara Zio dan Irona sudah terjalin sejak kelas sepuluh, namun bukan sebagai sepasang kekasih. Melainkan enemy couple, begitu orang-orang menjulukinya. Mereka tidak pernah akur sehari pun, tidak ada alasan untuk Zio berhenti menjahili Irona. Seluruh Altamevia tahu itu, setiap hari mereka di suguhkan dengan drama seperti itu. Zio dan Irona yang berkejar-kejaran di koridor layaknya drama India, atau suara lengkingan Irona yang berteriak ketika rambutnya di tarik, bahkan satu kantin Altamevia pernah ramai hanya karena makanan Irona yang di ambil oleh Zio. Sepertinya mereka berdua memang di takdirkan untuk menjadi musuh bebuyutan.

avataravatar
Next chapter