webnovel

Bab 2 : Sok Tahu

Aku dan Irina akhirnya selalu pulang bersama beberapa hari ini. Meskipun aku sedikit merasa risih, dikarenakan setiap aku pulang bareng dengan Irina hampir tidak ada percakapan yang bisa berjalan lama selama aku bersamanya. Mungkin karena perubahan yang terjadi selama kami berpisah, terasa bagaikan ia bukan lagi teman kecilku yang dulu. Aku bahkan tidak dapat berbicara santai seperti aku dengannya dulu.

"Um, Irina... kau tidak memaksakan diri untuk pulang bareng bersamaku kan?"

Aku harus memperjelas keadaan ini. Sungguh tidak enak jika ternyata Irina hanya terpaksa menemaniku pulang bersama.

Dia adalah anak yang pemalu.

Sekalipun dirinya berubah pada masa kita berpisah, sifat pemalunya pasti masih ada.

Maka dari itu aku harus memperjelas semuanya.

"O-oh,ti-tidak kok Rangga."

"Beneran nih?"

"I-iya, beneran!"

Irina menjawab kegelisahanku meski masih gelagapan dan malu-malu. Ia selalu bersikap seperti itu di setiap perbincangan kami. Aku jadi ragu kalau dia benar-benar terpaksa tapi malu mengungkapkannya.

...

Baiklah, sebagai laki-laki akulah yang harus membuat kebijakan.

Aku tidak boleh memberatkan Irina kalau ia sebenarnya tidak suka.

Meskipun itu berarti aku harus mengulang semua hubungan pertemanan kami sejak kecil dari awal lagi.

"Um, Irina..."

"I-iya Rangga?"

"Sebaiknya besok kita tidak usah jalan pulang bareng lagi."

"Eh?... Ah... Anu... Um...."

Irina terdiam sebentar kemudian menundukkan wajahnya. Ia terdiam cukup lama.

"Baiklah kalau begitu... aku...balik duluan."

Irina kemudian berlari kencang meninggalkan diriku...Begitu ingin berpisahnya dia kah dari diriku?

Biarlah...Meskipun rasanya sakit juga mengetahui kalau dia ternyata tidak begitu nyaman denganku.

***

"Aduh... kok jadi begini?"

Aku menceritakan keputusanku pada Tito mengenai insiden kemarin. Tito yang sudah susah payah membuat kami berdua pulang bareng menjadi sangat sewot dan kesal.

"Kok kamu yang pusing? Aku kan hanya memikirkan yang terbaik buat dia. Masa iya Irina aku paksakan pulang bareng padahal dia tidak suka?"

"Kau dengar langsung Irina berkata begitu padamu?"

"Umm... tidak sih.Itu cuma perkiraanku."

Sontak Tito menepuk jidatnya dengan ekspresi penuh kecewa dan memandang kasihan diriku.

Apakah aku melakukan sebuah kesalahan?

Kayaknya iya deh.

Tito kemudian mengetik sesuatu di smartphone-nya kemudian mengirim pesan entah pada siapa.

"Begini... aku, Irina, dan kau Rangga, saling berteman sejak kecil. Kan?"

Tito mengkonfirmasi hubungan kita bertiga. Dengan mantap aku mengangguk membenarkan konfirmasi Tito.

"Kedatangan Irina merupakan reuni yang sangat bagus. Masa iya kau mengira ia tidak nyaman bersamamu?"

"Iya, juga sih, tapi bagaimana dengan dirimu sendiri? Seharusnya kau kan juga ikut waktu kita pulang bareng."

"Aku kan ada urusan, sedangkan kau sendiri bilang kalau kau tidak punya teman pas pulang. Makanya aku aturkan agar kau pulang bareng sama dia waktu itu. Masa kau tidak bisa sekedar bicara masa nostalgia kek atau apalah?"

Benar juga perkataan Tito. Kenapa aku tidak membicarakan tentang masa lalu waktu pulang bareng bersama? Mungkin aku bisa membuat perbincangan yang nyambung dan nyaman waktu itu...Ah, blo'on sekali diriku ini.

"Yah, mau bagaimana lagi? Dia sepertinya sudah membenciku."

"Dari mana kau tahu kalau Irina mulai membencimu, Rangga?"

"Setiap kali kami bertemu pandang pasti dia menunduk"

Aku dan Tito kemudian memandang Irina yang duduk di bangkunya. Jarak antara bangku kami dan Irina cukuplah jauh. Irina di bangkunya sedang sibuk membaca buku yang sepertinya novel luar negeri. Sudah kuduga, Irina menjadi orang yang pintar untuk membaca buku novel yang rumit seperti itu.

Seakan mendapat kode, Tatapan Irina, bertemu dengan tatapanku, seketika ia langsung tergesa-gesa menunduk membaca bukunya kembali.

"Tuh, lihat kan?!"

Sambil menggaruk-garuk jidatnya. Tito hanya tersenyum dan diam memperhatikan tingkah Irina dari kejauhan? Melihat tingkah Tito, aku keheranan.

"Kenapa kau senyum-senyum?"

"Tidak kok. Oh iya Rangga, aku dengar kau naksir sama Rika?"

"Eh?"

Tiba-tiba Tito mengalihkan pembicaraan.

"Darimana kau dengar gosip seperti itu?"

"Ada lah...Tapi bener kan kau naksir sama Rika?"

"Aku serahkan pada imajinasimu sajalah. Malas aku ladeni gosip seperti itu."

Meskipun aku berkata seperti itu, gosip yang Tito dengar tidaklah salah. Aku memang naksir pada Rika. Dia orangnya cantik dengan rambutnya yang panjang yang dihiasi bando di kepalanya. Mendengar Tito menyebutkan nama Rika, perhatianku teralih ke teman sebangku Irina. Rika tampak asik berbincang dengan temannya yang lain di seberang meja dan tidak mempedulikan Irina.

Tidak lama kemudian aku merasa sisi rusukku disikut oleh Tito sambil mengisyaratkanku menatap kearah Irina. Terlihat Irina memperbaiki letak tatanan kacamatanya sambil menatapku tajam, ia seperti memasang wajah marah, ia menutup bukunya dan keluar kelas.

Ketika Irina keluar dari kelas, Rika berbalik dan kami bertemu pandang. Senyum tersungging dari bibir Rika yang tidak sengaja saling bertemu pandangan dengan pandanganku. Melihatnya tersenyum padaku, aku pun membalas senyum canggung padanya.

"Kelihatannya apa yang aku lihat sekarang ini, semuanya bukanlah gosip belaka."

Mendengar komentar Tito setelah melihat tingkahku, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk berkelit. Namun perkataan Tito terdengar kosong dan sedikit berisi kekecewaan. Entah kenapa...

"Kau lihat wajah Irina tadi?"

Tito kembali beralih ke pembicaraan tentang Irina. Ekspresi wajah Irina waktu itu adalah tatapan marahnya padaku ketika aku dan Tito pernah menjahilinya waktu kecil.

"Apakah aku membuat kesalahan lain?"

Mendengarku berkata demikian, Tito menatapku tidak percaya.

"Kau tidak tahu?!"

Aku sama sekali tidak tahu, kenapa Irina memasang muka marah barusan.

"Ah, sudahlah. Aku akan coba buat kesempatan untukmu agar kau bisa minta maaf padanya."

"Thanks, Tito...Tapi bisakah kau memberitahuku kenapa Irina tadi memasang muka marah?"

Menghela napas panjang, Tito menjawab,

"Sebaiknya kau pikir dulu baik-baik dan mencoba menyadarinya sendiri,

Kemudian, Tito pergi meninggalkan kelas. Meninggalkan diriku masih berpikir akan apa kesalahan yang telah aku perbuat.

Next chapter