webnovel

Bab 40. KOPI HITAM

Wisaka mengelabui hantu tersebut. "Ini!" Wisaka memberikan sesuatu.

Hantu itu mengulurkan tangannya, kemudian memasukan benda tersebut ke mulutnya, sejenak dia terdiam, nampak dia memegangi perutnya.

Hoek ... hoek.

Hantu itu seperti mau memuntahkan sesuatu. Dia merasa perutnya melilit karena dirinya terbungkuk-bungkuk memegangnya. Dia kemudian terbang meninggalkan mereka.

"Akhirnya ...."

Bibir Wisaka tersenyum melihat hantu itu terbang. Faruq heran melihatnya, kok tiba-tiba hantu itu mau pergi. Apa yang diberikan oleh Wisaka?

"Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq.

Wisaka tertawa, dia tidak menjawab. Faruq merasa penasaran dengan sikap Wisaka. Tumben, Wisaka melakukan satu kejahilan.

"Apa yang kau berikan, Kang?" tanya Faruq sekali lagi. Dia benar-benar merasa penasaran dengan apa yang diberikan Wisaka.

Wisaka tertawa lagi, entah apa yang merasukinya, mungkin karena kesal tidak pergi juga itu hantu.

"Aku kasih dia ikat kepalaku," jawab Wisaka sambil tertawa.

"Hahaha, ikat kepala busuk itu, sudah berbulan-bulan gak dicuci," timpal Faruq sambil tergelak.

Mereka tertawa-tawa di tengah malam dingin. Faruq mengangsurkan kayu api unggun, lalu menjerang air di kaleng yang selalu bawa-bawanya.

"Mau apa lagi?" tanya Wisaka.

"Di buntelanku masih ada kopi sama gula, kita ngopi yuk di tempurung kelapa, Kang," tawar Faruq.

"Terserah kamu saja, nanti susah tidur diganggu hantu lagi, tahu rasa," ujar Wisaka.

Faruq mengaduk kopi sama gula di tempurung kelapa yang sudah berwarna hitam. Baunya menguar kemana-mana. Mereka lupa kalau ini di tengah hutan. Tentu saja bau kopi sangat menggoda mereka para mahluk halus.

Wisaka dan Faruq berniat santai sejenak dengan minum kopi yang harum itu. Mereka minum dalam satu tempurung berdua. Kopi panas yang mengepul, membuat otak terasa rileks. Mereka menghirup aromanya bergantian.

"Hmmm, harum sekali, Kang, ayo mumpung masih panas diminum," Faruq menyodorkan tempat kopi itu.

"Menta kopi hideung( minta kopi hitam)."

Suara tanpa wujud mampu mengagetkan Faruq. Hampir saja kopi itu tumpah. Wisaka cepat mengambilnya dari tangan Faruq. Faruq melihat kiri-kanan, tetapi dia tidak melihat siapa pun.

"Siapa lagi, sih?" tanya Faruq.

Wisaka melihat sekeliling, hanya bunyi kresek daun dan suara burung hantu yang terdengar. Sesekali anjing hutan melolong di kejauhan. Matanya mencari-cari di tengah temaram rimbunan pohon, akan tetapi tidak menemukan siapa pun. Wisaka mendekatkan bibirnya akan menyeruput kopi itu.

"Kopi itu milikku!"

Seorang wanita berbaju hitam dengan suara serak menunjuk kopi yang akan diminum Wisaka. Tangan Wisaka berhenti di depan bibirnya. Seorang nenek-nenek dengan buntelan di tangan yang berbau amis muncul dari rimbunan pepohonan.

"Nenek siapa?" tanya Wisaka.

"Aku paraji (dukun beranak), habis menolong orang lahiran, hehehe ... hehehe," jawabnya dengan suara berat sambil terkekeh.

"Itu kopiku, paling kamu bohong, Nek, mana ada orang lahiran di tengah hutan!" seru Faruq.

Nenek itu memandang Faruq dengan tajam. Selarik angin tiba-tiba menerpa wajah Faruq, terasa dingin menusuk seperti es. Wajahnya kebas kedinginan, Faruq menggigil.

"Hentikan, Nek," suruh Wisaka.

"Berikan kopi itu, hehehe!" perintah Nenek itu. Ia tertawa seperti Nini Pelet.

"Apa imbalannya?" tanya Wisaka.

"Aku tunjukkan jalan ke tempat tujuanmu, hehehe ... hehehe." Nenek hantu itu selalu berkata diakhiri dengan kekehan yang membangkitkan bulu roma.

"Gak usah, Nek, kita tahu jalannya," kata Faruq.

Nenek itu rupanya marah terhadap Faruq, ia mendekati Faruq. Wajahnya yang keriput menjadi seputih kapas, kukunya panjang dan hitam, matanya melotot dan mendelik. Terdengar kekehan yang semakin lama semakin nyaring. Tentu saja Faruq gemetar ketakutan.

"Ini, Nek, ambillah!" suruh Wisaka. Dia menyodorkan kopi hitam itu sebelum Nenek tersebut benar-benar marah dan mengoyak-ngoyak wajah Faruq dengan kukunya yang tajam dan runcing.

Nenek itu bergerak ke arah Wisaka meninggalkan Faruq yang wajahnya sudah pucat pasi. Rupanya harum aroma kopi sudah begitu menggodanya.

Dug ... dug ... dug.

Tiba-tiba bumi terasa bergetar, sesosok tinggi besar datang dengan langkah yang berdebum-debum. Kulitnya berwarna hijau mengkilat, rambut keriting awut-awutan, menyeringai memperlihatkan giginya yang besar-besar.

"Mau apa kau, Buto Ijo, datang ke sini?" Nenek Paraji bertanya.

"Hmmm, aku ke sini karena wangi kopi hitam, apakah ada yang mau memberikan persembahan kepadaku?" Buto Ijo bertanya lagi sambil menggeram.

"Pergi kau! Kopi itu milikku!" Nenek itu berseru.

"Itu persembahan untukku," kata Buto Ijo lagi.

Nenek hantu dan Buto Ijo bersiap untuk bertarung memperebutkan kopi. Wisaka tidak kehabisan akal. Dia mengambil daun yang agak lebar, dibentuknya kerucut lalu disemat.

"Ambil seorang satu, kalau berebut, terpaksa aku hajar kalian," kata Wisaka jengkel. Cape dirinya selalu berhadapan dengan para lelembut penghuni hutan itu.

Nenek hantu dan Buto ijo mengambil kopinya masing-masing dan membawanya pergi. Faruq yang kecewa hanya bisa menelan ludah, membayangkan segarnya minum kopi di malam dingin.

"Ada-ada saja!" Wisaka berkata ketus. "Ayo kita tidur lagi," ajak Wisaka.

Akhirnya mereka tertidur lagi menghabiskan sisa malam yang sangat horor. Malam terasa sangat panjang. Wisaka bermimpi ada di suatu tempat yang datar, penuh rumput hijau yang empuk.

"Paak!"

Tiba-tiba dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan, berteriak serempak sambil mendatangi Wisaka. Wisaka merasa bingung. Dia merasa tidak mengenali kedua anak tersebut. Namun, Leli yang datang belakangan membuat Wisaka mengerti siapa mereka.

"Hai, anak Bapak," katanya sambil merentangkan tangannya.

Ia begitu gembira melihat kedua belah hatinya, Jaka dan Mayang. Keduanya tumbuh sehat, tampan serta cantik. Wisaka bangga melihat anaknya. Mereka berpelukan. Leli tersenyum dari kejauhan, tetapi tidak mendekati Wisaka.

"Pak, aku au belajal cilat, ial anti ede adi pendekal ( Pak, aku mau belajar silat, biar nanti gede jadi pendekar)," kata Jaka dengan suara cadelnya. Wisaka gemas mendengarnya.

"Ayo!"

Wisaka berlari diikuti oleh Jaka dan Mayang. Mereka berlari dengan riang. Kadang-kadang Wisaka berguling memeluk tubuh kedua anaknya yang tertawa-tawa menggemaskan. Di atas rumput mereka bercanda penuh kegembiraan.

"Ayolah, Pak." Jaka bangkit dan menarik tangan Wisaka.

"Kemana?" tanya Wisaka sambil meraih kembali anak-anaknya ke dalam pelukan.

"Belajal cilat (belajar silat)," kata Jaka.

"Nanti dulu, Bapak masih kangen, masih ingin bermain bersama kalian," jawab Wisaka.

"Aah, Bapak, ayo!" seru Jaka sambil kembali menarik tangan Wisaka.

Akhirnya Wisaka mengalah. Dia menuntun Jaka dan mendukung Mayang di pundaknya menuju ke tempat lapang. Setelah menurunkan Mayang pemuda itu bersiap mengajari Jaka.

"Lihat Bapak," kata Wisaka.

Wisaka mulai mengajari Jaka dengan jurus-jurus dasar. Entah kebetulan atau apa, Jaka begitu cepat mempelajari ajaran Wisaka. Jaka mengulang-ulang lagi sampai bocah kecil itu menguasainya. Wisaka sampai takjub melihatnya.

Tiba-tiba dari belakang Wisaka datang bayangan kuning dengan begitu cepat. Seperti burung besar menyergap mangsa ia menyambar Mayang dan membawanya melesat terbang. Wisaka yang terkesima sejenak melihat bayangan kuning itu sudah semakin jauh.

"Mayang ... Mayang!" Wisaka berseru berulang-ulang. Wisaka berlari mengejar bayangan kuning itu.. "Kembalikan anakku ... kembalikan anakku!" teriaknya.