webnovel

07 - Sifat Ajaibnya

Aku tak tahu lagi sedang di mana aku sekarang. Suara Carina ataupun Peony tak lagi terdengar, begitu pula dekapan mereka yang sudah tak kurasakan. Tubuhku rasanya sedang melayang sementara suara berisik di kepalaku tak kunjung berhenti. Aku sudah hampir menyerah saat setitik kesadaranku menyadari suara apa itu.

Itu suara ponselku sendiri!

Tanganku buru-buru mencari di mana letak ponsel itu. Aku mengenali itu adalah nada dering untuk panggilan masuk. Aku langsung mengangkat panggilan itu. "Ya, halo?" kataku dengan suara yang masih serak.

Aku masih belum bisa memfokuskan pikiran. Aku tak yakin sedang ada di mana ragaku sekarang. Rasanya aku sedang bertarung di kebun Peony sampai tanganku tersayat oleh cakar tikus besar. Jiwaku seperti sedang berada di dua tempat saat menjawab panggilan di telepon. Aku merasa sedang ada di kebun dan kamar apartemenku sekaligus. Aku terus mengingat-ingat kejadian apa yang terjadi sebelum ini.

"ASTAGA, ZANE!" Ini suara Ann. Ia berteriak keras di telingaku melalui panggilan telepon. "KEMANA SAJA KAU?! SUDAH PUKUL BERAPA KAU PIKIR SEKARANG?"

Tentu saja teriakan itu mengejutkanku. Dengan mata setengah tertutup aku berusaha memahami kata-katanya. Pukul berapa sekarang? Aku melihat ke arah ponselku. Sekarang hari senin pukul 8.45. Memangnya ada apa?

Ann tetap berteriak selagi aku masih berusaha memahami apa yang menyebabkan ia begitu.

Oh tidak! Jam masuk kantorku pukul 9 tepat! Aku hampir tak punya waktu lagi untuk siap-siap ke sana. Tanpa mengatakan apapun pada Ann, aku mematikan sambungan telepon. Dengan tergesa-gesa, aku masuk ke kamar mandi hanya untuk cuci muka dan menggosok gigi sebentar. Aku tak mandi karena memang tak ada waktu lagi.

Keluar dari kamar mandi, aku langsung berganti pakaian untuk berangkat kerja. Kuraih tas kecil yang selalu kubawa ke kantor dan memasukan apapun yang kubutuhkan. Tak lupa ponsel dan dompet yang  kumasukan dengan tergesa-gesa ke kantung celana. Kutinggalkan yang lainnya berantakan di atas tempat tidurku. termasuk pakaian tidur dan handuk wajah yang masih sedikit basah. Aku langsung pergi dan mengunci pintu kamar.

Mungkin karena begitu terburu-buru, aku sampai tak sadar aku sudah berada di tepi jalan besar. Beruntungnya ada taksi yang sedang menurunkan penumpang tak jauh dari tempatku berdiri. Karena tak mungkin naik bus di waktu yang mepet ini, langsung saja kupesan taksi itu menuju kantor. Aku meminta sang pengemudi untuk melaju cepat.

Perjalananku tak banyak terkendala kemacetan, terutama karena saat ini sudah agak siang dan jumlah kendaraan yang melaju sudah menurun. Tapi hal itu hampir tak mengurangi rasa gelisahku saat duduk di bangku belakang taksi sambil memikirkan segala yang sudah terjadi di mimpiku tadi. Perpindahannya terasa begitu cepat saat Ann tiba-tiba meneleponku. Aku hampir tak bisa mengerti bagaimana segalanya bisa seperti sekarang ini.

Kuingat-ingat semalam aku mencari informasi tentang rumput aneh yang kutemukan, lalu seperti malam kemarin juga, aku tiba-tiba terbangun di dunia mimpi aneh itu dan bertemu Carina, berpetualang bersamanya, mendapatkan senjata pertamaku, bertarung melawan cacing yang menyemburkan lava juga tikus yang sangat besar. Rasanya hanya beberapa menit kemudian aku berada di perjalanan menuju kantor dengan penuh kecemasan. Semua petualanganku dengan Carina masih terbayang dengan jelas di kepalaku.

Dengan isi kepala yang terus berkutat tentang apa yang akan kukatakan pada Ann, aku berusaha mencari tahu mengapa aku tak merasa kelelahan. Aku memang sangat mengantuk tapi tubuhku sama sekali tak terasa lemas. Apa ini efek dari apel hitam yang kumakan? Tapi bagaimana mungkin sesuatu yang kumakan dalam mimpi, memberikan efek yang terasa di dunia nyata? Kecuali kalau dunia yang kumasuki benar-benar ada di suatu tempat di dunia ini.

Aku tiba di depan mesin absen pukul 9.05, tepat pada batas akhir toleransi waktu telat. Takkan ada masalah dengan orang-orang di kantorku. Satu-satunya yang harus kuhadapi adalah pertanyaan dan kemarahan Ann. Ia jelas takkan suka aku datang terlambat mengingat ia terus mengajariku untuk disiplin.

Pikiran tentang Ann sedikit terbuyarkan saat salah satu teman divisiku menyapa. "Tak biasanya kau datang telat. Habis berkelahi dengan Ann ya?"

Akan berkelahi dengannya, koreksiku dalam hati.

Biasanya aku memang selalu datang lebih awal dari teman-temanku yang lain. "Tidak, aku keasikan bermain game semalam," kataku dengan senyum yang kupaksakan. Ia benar sih masalah berkelahi, tapi itu dengan tikus raksasa, bukan dengan pacarku.

Sesampainya di meja kerjaku, aku cukup terkejut dengan adanya sebuah kotak makanan dengan sepucuk catatan kecil terselip di bawahnya. Aku tahu pasti siapa yang menaruhnya. Jadi langsung saja kubuka catatan itu yang ternyata berbunyi.

Kentang goreng gosong untuk orang paling menyebalkan yang tak membalas pesanku. Kutunggu kau jam makan siang nanti di lantai dasar.

Pacarmu yang cantik.

Oh ya, aku tak sempat mengecek ponselku lagi tadi. Kulihat ada 34 pesan belum dibaca dan 7 panggilan tak terjawab. Aku membalas pesannya untuk mengabari bahwa aku sudah sampai di mejaku, juga kubilang terima kasih untuk kentang gorengnya. Kurasa urusanku dengannya sudah selesai. Jadi langsung saja kunyalakan komputerku.

Sambil menunggu komputer menyala, aku membuka kotak kentang goreng dari Ann, yang ternyata sama sekali tak gosong. Malah rasanya sangat enak! Aku merasa amat bersyukur bisa menikmati makanan darinya pagi ini setelah beberapa kejadian sebelumnya.

Karena hari ini tak begitu banyak yang mesti kukerjakan, aku terus memakan kentang goreng dari Ann sambil sesekali direcoki teman-temanku yang lain.

Saat jam makan siang tiba, Ann mengirim pesan agar aku langsung saja turun ke lobi dan menungguku di sana. Pikiranku yang polos tentu saja mengatakan ia akan mengajakku makan siang. Saat itu aku memang sudah lapar lagi. Kentang goreng tadi sepertinya sudah meluap dari dasar perutku.

Setelah berbasa-basi sedikit dengan beberapa teman, aku langsung meluncur menuju ke lift untuk mencapai lobi. Aku langsung mencari-cari di mana ia berada begitu tiba di lantai dasar. Walaupun bertubuh mungil, tapi rambut pirangnya akan mudah kukenali di kerumunan orang yang juga akan keluar makan siang.

Kupikir Ann sedang mengobrol dengan teman-temannya karena ia belum kelihatan. Aku mencari tempat duduk untuk menunggunya. Saat itu pikiranku kembali melayang ke dunia aneh dalam mimpiku dan seorang wanita cantik yang kutemui di sana, Carina. Bagaimana ia bisa ada di sana? Mengapa aku tak bisa tetap bersamanya dan malah harus kembali menjalani rutinitas kehidupan kantor seperti biasa?

Aku juga teringat akan Lug dan Peony, dua makhluk yang sangat tidak masuk akal yang rasanya tak mungkin ada di dunia nyata, tapi aku benar-benar bertemu dengan mereka. Seorang robot pembuat senjata dan peri berkekuatan angin. Aku tak akan bisa menemui mereka di manapun, kan? Yang juga jadi masalahnya adalah, mengapa aku bisa bertemu dengan mereka semua? Apa aku punya suatu keistimewaan? Rasanya sangat tak mungkin.

Lama memikirkan tentang Carina dan teman-teman anehnya, aku mengecek jam di ponselku untuk tahu seberapa lama aku sudah menunggu Ann. Ternyata sudah 20 menit berlalu tanpa tanda-tanda akan kehadirannya. Ia bahkan tak mengirim pesan.

Baru saja memutuskan untuk jalan ke kantin sendirian karena sudah sangat lapar, kudengar panggilan sinis dari seseorang yang sudah amat kukenal. Rambut pirang yang berkibar dan tubuh mungil orang itu berjalan ke arahku begitu kutengok ia.

"Sekarang kau tahu kan rasanya menunggu lama tanpa ada kabar?" omelnya dengan ekspresi kesal yang kentara sekali. "Kau seharusnya bisa mendengar suara telepon masuk dariku. Atau jangan bilang kau begadang main game semalaman sampai kurang tidur. Aku berkali-kali menghubungimu tahu!"

Selamat tinggal makan siang yang damai… 

Aku berdiri kebingungan menghadapinya. Ann yang ujung kepalanya hanya setinggi daguku tampak lucu dengan wajah kesalnya saat itu. Jika saja keadannya sedang tak seperti sekarang, aku pasti akan menertawakannya. Tapi bagaimana mungkin aku melakukan itu kalau mengingat situasiku saat ini.

Aku tak boleh jujur. Aku tak boleh jujur. Aku mengulang-ulang kalimat itu di kepalaku sambil cengar-cengir padanya. Tak mungkin aku bilang aku berpetualan bersama wanita paling cantik yang pernah kutemui dan dipeluk olehnya di dalam gua. Sudah gila namanya kalau aku benar-benar mengatakan hal itu.

"Maaf, Ann, aku keasikan," kataku sambil menggaruk-garuk kepala. "Habisnya Ollie memaksaku sih. Aku jadi menemaninya bermain semalaman deh." Beruntungnya, Ann memberiku ide untuk membuat alasan hingga aku tak perlu menjelaskan petualangan anehku itu. Main game akan lebih mudah dimaafkan daripada dikecup wanita lain.

"Ollie saja bisa datang tepat waktu, lalu kenapa kau tidak?"

Aku kehabisan kata-kata untuk menanggapi pertanyaan terakhirnya. Aku bahkan tak tahu semalam Ollie bermain game sampai larut atau tidak.

Sementara aku masih berpikir, Ann masih dengan wajah kesalnya bertolak pinggang di hadapanku. Sial, bagaimana ini… Akhirnya aku mengusap rambutnya dengan manja sambil mengajaknya keluar dari gedung kantor. "Ayo, kita akan pergi makan siang, kan?"

"Aku sudah makan duluan!" Ann nyaris berteriak. "Aku tadi makan siang selagi kau menunggu," lanjutnya. Beberapa orang melihat tingkah laku kami berdua sambil tersenyum kecil. Juga ada beberapa orang yang kami kenal pasang muka kasihan kepadaku. Walau setelah itu mereka tertawa. Aku membalas mereka dengan tatapan pasrah meminta tolong.

Bagaimanapun juga, Ann tetap mengajakku keluar. Ia memintaku menemaninya berkeliling pusat perbelanjaan terdekat untuk melihat-lihat barang yang ia suka. Aku tak punya pilihan lain selain menurutinya. Siapa tahu saja memang benar ada acara makan siang.

Ann terus menggandeng tanganku selama berjalan, dan itu mengingatkanku pada apa yang dilakukan Carina sebelumnya di lembah hijau di Erdma. Bedanya, kami tak mengarah ke perkebunan milik seorang peri. Ann dan aku menyusuri toko-toko pakaian yang berjejeran di sepanjang jalan utama pusat perbelanjaan itu. Tempat ini tak sama dengan tempat kami bertemu kemarin, jadi ia pasti bisa lebih lama lagi melihat-lihat di sini. Aku mulai merasa kasihan terhadap perutku.

"Kau kan kemarin sudah berbelanja banyak," keluhku yang langsung dibalas dengan tatapan yang seolah mengatakan aku sedang tak punya hak untuk protes. Akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikutinya kemanapun ia menuntunku. Tanganku sama sekali tak dilepas. Tiap kali aku ingin mengambil ponsel dengan tangan yang bebas, ia langsung melotot.

Ann juga tahu aku sebenarnya tak betah diajak berkeliling seperti ini. Karena itu biasanya ia akan menjanjikanku makanan setelah selesai dengan kegiatannya. Es krim kemarin adalah salah satu contohnya. Namun kali ini rasanya benar-benar seperti hukuman. Jangankan makanan yang bisa kunikmati, senyuman manis darinya pun tidak ada.

Setelah beberapa menit terus berkeliling tanpa membeli apapun, Ann mengajakku duduk di tempat yang cukup sepi, meski tetap saja ada beberapa orang berlalu-lalang memperhatikan kami. Terutama karena ini adalah jam makan siang. Mereka yang sudah makan biasanya akan jalan-jalan di sekitar sini menghilangkan penat selepas bekerja. Sedangkan aku? Sudah tak makan siang, mengantuk, pikiranku juga malah dibuat bertambah kusut.

Ann belum berbicara hingga kurasa aku harus membujuknya. "Dengar, Ann, aku minta maaf sekali lagi." Tentu saja aku tak memohon sampai mencium tangan atau bersujud di hadapannya. Tanpa aku melakukannya pun ia pasti akan memaafkanku. Hanya saja aku perlu melewati proses ini dulu, dan melewatinya amat sulit. Aku sudah beberapa kali mengalami hal ini dan aku bisa bilang seluruhnya adalah pengalaman buruk.

Ann tak merespon. Ia malah asik dengan ponselnya sambil tersenyum sendiri, asik bertukar pesan dengan teman-teman gosipnya. Walaupun begitu, aku tahu sebenarnya ia mendengarkan. Sudut alisnya bergerak saat aku mengakhiri kalimatku.

Tak sabar, aku mencubit pipinya untuk bilang "Ann yang kusayang, aku bicara padamu," yang hanya dibalas dengan wajah galak yang dipasang untukku.

"Itu salahmu sendiri!" Ia akhirnya membuka mulut untuk membalas. Kuberitahu pada kalian, walau sudah 2 tahun aku bersamanya, tapi aku tak pernah benar-benar bisa menghadapi situasi seperti ini. Biasanya semua akan baik-baik saja setelah beberapa waktu. Tapi saat pertengkaran sedang terjadi, aku harus terus merayu sampai ia bisa melunakkan hatinya.

Setelah terdiam beberapa saat karena bingung harus membalas apa, aku memberanikan diri untuk memberi pembelaan. "Aku kan hanya main game, Ann. Tak lebih dari itu kok." Aku berusaha keras agar suaraku terdengar meyakinkan kalau aku benar-benar main game.

"Oh, tak lebih, ya?" Suara Ann mulai meninggi. Ekspresinya pun berubah jadi lebih galak dari sebelumnya.

Ini bisa jadi puncaknya, atau bisa juga lebih parah lagi…

Aku mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk melihat apakah orang-orang melihat ke arah kami. Beberapa memang melakukannya, tapi kurasa tak ada yang benar-benar peduli. Aku bisa lebih tenang kalau begini, walaupun itu sama sekali takkan mengurangi amarah Ann.

"Memang aku main game, kan?"

Alasanku memang lemah, tapi apa lagi yang bisa kukatakan? Berapapun banyaknya hal yang terpintas di pikiranku, kurasa hanya itu alasan yang paling aman untuk dikatakan, tak ada yang lain.

Ann menarik nafas panjang dan mulai menggelengkan kepala. "Kau harus mengurangi kebiasaanmu itu, Zane," katanya dengan nada mengingatkan yang juga terasa seperti ancaman. "Aku tak melarangmu bermain. Kau juga butuh hiburan setelah seharian bekerja atau menghadapiku yang cerewet ini. TAPI JANGAN SAMPAI PAGI! Aku sudah berkali-kali bilang itu tak baik untuk kesehatanmu! Apalagi hari ini kau sampai terlambat datang ke kantor." Ia mengakhiri kalimatnya dengan satu tarikan nafas panjang lagi.

"Bagaimana jika besoknya libur?" tanyaku.

Ann melotot. Ekspresinya benar-benar menakutkan saat itu. "Tak ada tawar-menawar!" omelnya. "Kita balik ke kantor sekarang."

Ann menarik tanganku dan seketika aku menjerit kesakitan. Rasanya sangat nyeri saat ia memegangnya.

"Ada apa?" tanyanya.

Ann melepaskan pegangannya dan berdua kami memperhatikan punggung tanganku yang berdenyut sakit. Aku tak sadar kalau punggung tanganku sedikit bengkak dan menghitam. Juga ada seperti bekas tertusuk di sana. Rasanya di bekas tertusuk itulah rasa sakitnya berasal.

Aku terus menatap tanganku dengan perasan heran. Sampai beberapa detik lalu aku bahkan tak tahu luka bekas luka itu ada.

"Kenapa tanganmu bisa begini?" Pertanyaan Ann membuyarkan lamunanku.

"A- aku tak tahu," jawabku terbata-bata. "Aku saja baru sadar sekarang."

Ann melihatku dengan tatapan curiga. Ia bukan orang yang akan percaya begitu saja dengan kata-kata seperti itu. Tapi karena sekarang jam istirahat sudah hampir berakhir, ia tak bertanya lagi. Kami langsung menaiki lift menuju kantor kami di lantai atas gedung. Dalam lift, aku melihat jam sudah menunjukan pukul 12.50. Hanya tersisa 10 menit lagi sampai jam istirahat selesai. Sudah tak ada waktu lagi untuk membeli makanan.

Kami berpisah dan Ann tak mengucapkan sepatah katapun begitu kami keluar dari lift. Ia langsung menuju ruangannya, sementara aku menuju arah lain.

"Lihat siapa yang sedang ada dalam masalah." Ollie yang bicara. Aku lupa mengatakan kalau ia adalah teman di sebelah mejaku. Saat ini kami berjalan beriringan menuju ruangan kami. Ollie membawa beberapa dokumen pekerjaannya. Ia tahu banyak tentang hubunganku dan Ann karena aku memang sering bercerita kalau ada masalah. Melihat wajahku saja pasti ia tahu kalau ada sesuatu yang tak beres.

"Kau tentu tahu. Tapi kali ini bukan lagi masalah, melainkan bencana." Aku mengoreksinya.

"Jangan pikir masalahmu cuma itu saja, kawan. Itu belum semua. Kau perlu lihat apa yang ada di mejamu." Ollie mengatakan itu dengan tatapan penuh simpati.

Mendengar perkataan Ollie, aku langsung bergegas meninggalkannya menuju mejaku. Aku juga mengabaikan sapaan beberapa orang karena terlalu penasaran.

Sesampainya di mejaku, aku benar-benar terkejut dengan apa yang ada di atasnya.

Ann memang keterlaluan!

Next chapter