1 01 - Terbangun di Dunia Lain

"Ayo kita pindah tempat saja, Zane."

***

Di sinilah aku malam ini, menghadapi situasi sulit bagi banyak pasangan di dunia. Ketika pacarmu tiba-tiba merajuk tanpa alasan yang jelas, kau perlu mendengar apa yang ia mau kendatipun rengekannya begitu menjengkelkan.

Kami sedang berada di restoran steak terkenal di kota kami untuk makan malam dan kencan malam minggu seperti yang sudah biasa kami lakukan. Awalnya semua berjalan dengan lancar, aku datang menemuinya tepat waktu, dan kami bergandengan tangan memasuki restoran seakan tempat ini sudah kami pesan untuk berdua saja. Aku minta untuk memesan makananku lebih dulu karena aku sudah sangat lapar, sementara pacarku masih melihat menu dengan seksama, bingung akan apa yang harus ia pesan.

Saat itulah ia mulai bertingkah konyol.

"Aku sudah memesan makanan, Ann, dan aku sudah sangat lapar," aku memprotes. "Lagipula ada apa kau tiba-tiba minta pindah restoran? Kau yang memilih tempat ini."

Anastasia, pacarku, memang bisa sangat rewel jika ada sesuatu yang membuatnya kesal. Meski aku seringkali tak mengerti mengapa ia bisa seperti sekarang ini, aku biasanya ikut saja dengan apa yang ia inginkan. Tapi kali ini situasinya beda. Aku benar-benar sudah lapar dan kuyakin makanan pesananku sudah hampir jadi. Aku tak mau menurutinya.

"Pokoknya aku sudah tak mau makan di sini," rengek Anastasia, atau biasanya kupanggil ia Ann. "Kita ke restoran lain saja, ayo." Ann melanjutkan sambil menarik-narik tanganku dengan gelisah.

Saat ia sedang membujuk seperti itu, makanan yang kupesan tiba. Aku memandang Ann dengan harapan ia akan melunak. Tapi nyatanya ia malah langsung pergi begitu saja keluar dari restoran tanpa menungguku mengatakan sesuatu. Aku melongo memandangi kepergiannya dengan seporsi hidangan nikmat di depanku.

Mengapa sih wanita suka sekali bersikap seperti itu?

Aku memutuskan untuk tak mengikutinya keluar. Biarkan sajalah ia bertingkah begitu. Aku tak boleh terus menuruti keinginan anehnya. Jadi sambil memakan hidangan yang sudah tersedia, aku memandang ke luar jendela.

Restoran ini terletak di pinggir jalan utama di pusat ibu kota, tempat aku dan Ann menetap untuk bekerja. Karena berada di jalanan yang ramai, aku bisa melihat banyak pasangan lain tengah bermesraan di bawah langit malam. Bergandengan tangan seolah dunia adalah milik mereka berdua. Aku semestinya bisa seperti itu jika saja Ann tidak bersikap seperti anak kecil.

Makan sendirian lama-lama terasa membosankan juga. Jadi kupikir aku akan menelepon seorang teman dan memintanya menemaniku bercerita.

Temanku lama sekali mengangkat teleponnya. Aku sampai harus melakukan tiga kali panggilan sebelum ia menjawab.

"Bodoh, aku sedang main game!" kata suara di ujung sana dengan gusar.

Sudah kuduga hari liburnya pasti akan digunakan untuk main game seharian. Ia seorang gamer berat.

"Aku sedang makan sendirian di restoran Mr. Meats. Kalau kau mau datang, akan kutraktir sampai kau puas."

"OK, tunggu aku." Panggilan teleponnya langsung ditutup.

Siapa yang akan menolak tawaran makan gratis?

***

Aku Zane, pekerja kantoran biasa yang punya kehidupan serba biasa juga, seperti pekerja kantoran lain pada umumnya. Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mencari pengalaman baru dan merantau ke kota ini. Beruntungnya aku segera mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan properti terkenal. Aku dan Ann bekerja untuk perusahaan yang sama, namun berbeda divisi. Aku di bagian keuangan, sementara Ann dan divisinya berkutat dengan hukum dan legalitas. Usia kami sebaya, aku berulang tahun ke dua puluh tiga belum lama ini. Kami masuk di hari yang sama. Aku berkenalan dengannya saat kami sedang sama-sama duduk di lobi, menunggu jam masuk kantor. Kini kubunganku dengannya sudah berjalan hampir dua tahun. Di dua tahun itu pula aku banyak mengetahui baik dan buruknya Ann. Mulai dari sikapnya yang sangat perhatian padaku, juga tingkah luar biasanya saat ia sedang mengambek. Meski ia orang yang disiplin, ia juga sering bersikap kekanak-kanakan. Makanya aku tidak mau mengejarnya saat ia berjalan keluar restoran. Percaya padaku, besok ia pasti sudah bersikap baik lagi, seolah lupa malamnya ia melakukan sesuatu yang menjengkelkan.

Setelah temanku datang, aku menceritakan padanya tentang masalahku dengan Ann, dan ia hanya menanggapinya dengan tawa keras. Melihatnya memesan makanan, aku juga ikut memesan lagi. Malam itu kami habiskan dengan makan banyak dan bermain game sampai tak sadar bahwa sekarang sudah hampir tengah malam. Kami memutuskan untuk mengakhiri keseruan kami.

Aku keluar restoran dan segera memberhentikan taksi kosong yang kebetulan lewat. Aku duduk sendirian di bangku belakang setelah memberi tahu tujuanku kepada sang supir. Aku tak berbicara sedikitpun dalam perjalanan yang akan memakan waktu sekitar dua puluh menit itu. Di tengah perjalanan, aku memikirkan hubunganku dengan Ann. Aku mencintainya, tentu saja. Malah bisa dibilang sangat mencintainya. Dialah yang menemaniku selama dua tahun terakhir. Dua minggu pertama dalam rantauan, aku sudah mengenalnya. Dia banyak menyuruhku untuk hidup lebih disiplin. Ia juga senantiasa membantuku saat aku sedang kesulitan. Dia selalu ada untukku, walau kadang ada pula beberapa sifatnya yang tak bisa kuterima. Termasuk dengan hari ini. Rasanya malu sekali saat ia tiba-tiba saja berjalan keluar ketika seorang pelayan mengantarkan makanan. Ia kan harusnya memilih waktu yang lebih baik.

Sejak beberapa minggu terakhir, aku sebenarnya punya niat untuk melamar Ann. Tetapi dengan kejadian malam ini, kurasa aku perlu banyak evaluasi niatku itu. Kami masih perlu saling bersikap dewasa satu sama lain. Aku tak ingin kami terus berkonflik akan masalah sepele saat kami sudah menikah nanti.

Asik terbenam dalam lamunan, aku dikagetkan oleh panggilan sang supir saat taksi kami sudah sampai di depan gedung apartemenku. Aku membayar ongkos perjalananku dan mengucapkan terima kasih kepada sang pengemudi. Entah pikiranku yang sedang kacau, atau memang ia berkendara dengan sangat mulus sampai aku bahkan tak sadar kami sudah tiba di tujuan.

Aku langsung melesat memasuki gedung apartemen usai membayar ongkos. Gedung ini masih ramai begitu aku masuk ke dalam. Karena sedang tak ingin banyak bicara, aku berjalan cepat-cepat menuju lift dan memencet tombol untuk sampai ke lantai kamarku.

Aku menyewa sebuah kamar apartemen yang tak terlalu mahal di daerah yang tak begitu jauh dari pusat kota. Kamar bertipe studio ini sudah cukup untuk tinggal seorang diri. Sampai di dalam, aku tak langsung mengganti pakaian kencanku. Aku berjalan menuju balkon untuk menikmati suasana tengah malam ibu kota dari ketinggian. Aku kembali melamun sebelum kuputuskan mengajak temanku tadi bermain game lagi. Aku sangat ingin melupakan malam yang buruk ini.

Aku begitu tenggelam dalam permainan sehingga kembali lupa waktu. Begitu melihat jam, ternyata sudah pukul tiga dini hari. Sial, sudah sepagi ini, umpatku. Ann pasti akan marah bila tahu aku main game sampai larut malam. Ia memang melarangku terlalu banyak main ponsel, katanya demi kesehatan. Tapi karena aku sedang kesal padanya, aku sampai tak ingat dengan larangannya. Aku pun segera keluar dari permainan untuk mandi dan berganti pakaian. Membersihkan diri dari kesialan yang menimpaku malam ini.

Aku langsung membaringkan diriku di kasur setelah selesai berganti pakaian, mencoba untuk segera tidur. Tapi nyatanya wajah Ann terus terbayang dalam pikiranku, membuatku hanya guling-guling gelisah tanpa bisa tidur sama sekali.

Ke mana ia begitu keluar dari restoran? Apakah ia bertemu pria lain? Kalau ia mau bertemu pria lain, mengapa ia tadinya mengajakku juga? Apa ia pulang ke apartemennya dan menangis semalaman? Apa ia membenci sikapku tadi? Mengapa ia tak mengirim pesan padaku? Sepanjang aku bermain game memang sama sekali tak ada pesan masuk darinya.

Siaaaalll... Ini bagian tak asik dari sebuah pertengkaran. Pikiran-pikiran aneh akan menghantuiku saat aku sedang ingin tidur.

Sebagai pengalih pikiran, aku mengambil sebuah novel dari atas laci kecil di sebelah tempat tidur. Novel ini salah satu hadiah dari Ann di hari ulang tahunku. Katanya, novel ini bercerita tentang petualangan sang karakter utama di dunia paralel yang bisa ia masuki sebebasnya. Ia juga bilang aku bisa membaca Novel itu bila aku tengah jenuh dengan pekerjaanku. Aku belum pernah menyentuhnya lagi  begitu ia menghadiahkannya. Hanya bungkusnya saja yang sudah kubuka dan lalu kutaruh novel itu di laci. Membaca beberapa bab di dalamnya, aku jadi berkhayal bagaiman bila memang ada dunia lain yang bisa kumasuki saat sedang dalam keadaan seperti saat ini. Aku bisa berbuat seenaknya saja sendirian tanpa perlu memikirkan tentang pekerjaan, uang, atau bahkan wanita. Tapi aku jahat ya, membayangkan bisa kabur dari Ann karena membaca novel yang ia berikan.

Makin banyak bab yang kubaca, makin hanyut pula aku dalam cerita di novel ini. Aku juga semakin ingin merasakan petualangan yang sama dengan si karakter utama. Melawan monster dan makhluk berbahaya dengan pedang yang diberikan oleh seorang tetua di dunia paralel itu.

Setelah agak lama membaca, aku mulai merasa kantuk yang tak tertahankan. Tanganku masih memegang halaman di novel tadi saat kesadaranku perlahan memudar dan aku pun tertidur.

***

Aku merasa seperti sedang berada di dalam suatu pusaran yang bergerak cepat dan penuh warna. Pusaran itu memutar tubuhku selama beberapa detik sebelum aku dipentalkan di dataran yang sedikit empuk dalam posisi berlutut dan kepalaku menghantam tanah. Kubuka mataku begitu rasa pusing akibat pusaran tadi reda.

Di mana ini?

Aku membetulkan posisiku dan segera berdiri. Saat ini aku ada di tepian tebing yang ditumbuhi rumput kekuningan. Begitu kudengar suara ombak yang berdebur, aku langsung menengok ke bawah. Belum sempat memastikan di mana aku berada sekarang, mendadak saja dari arah bawah tebing beberapa bayangan hitam melesat melewatiku. Karena kejadiannya begitu cepat, aku kaget dan dengan panik mundur ke belakang. Aku tak memperhatikan langkahku hingga kakiku tersandung batu kecil dan kepalaku terbentur dengan keras ke tanah.

Sakit sekali rasanya! Aku merasakan kepalaku berdenyut hebat dan pusing. Saat sedang meratapi nasibku, aku kepikiran akan sesuatu.

Bagaimana aku bisa merasakan sakit? Mestinya sekarang aku sedang bermimpi karena aku ingat tadi tertidur di kamarku.

Aku terdiam sebentar untuk meresapi rasa sakit di kepalaku. Ini sungguh nyata. Aku benar-benar merasakan sakit. Setahuku di mimpi kita sama sekali tak bisa merasa kesakitan. Aku terduduk bengong sambil mengangkat satu tanganku. Harus kupastikan sekali lagi.

Sakit...

Aku menggampar pipiku sendiri dan rasanya memang benar sakit. Yang membuatku heran, aku juga bisa menggerakkan tubuhku sendiri. Apakah ini sungguh mimpi jika aku bisa melakukan hal itu?

Masih dipenuhi rasa bingung, aku berusaha berdiri dan berjalan beberapa langkah ke depan untuk melihat tempatku terpental dari pusaran yang membawaku ke sini. Ombak yang tadi kudengar berasal dari lautan di bawah. Aku berdiri di tengah tebing yang mengelilingi sebuah teluk kecil. Dataran berumput yang tenang  di atas sini kontras sekali dengan keadaan di bawah yang dipenuhi batuan karang yang sesekali dihantam ombak besar. Matahari yang sedang terbenam membuat air laut berwarna oranye keunguan. Aku seperti terhipnotis melihat ombak berkali-kali menghantam karang. Aku baru tersadar saat kudengar suara memekik dari langit.

Bayangan hitam yang tadi hampir menghantamku kini berterbangan di langit yang dipenuhi awan dengan bentuk yang akan membuat siapapun terpana. Paduan langit sore dan awan yang luar bisa, membuatku takjub memperhatikan bayangan hitam yang bergerak melingkar di atas. Jumlah mereka ada enam buah, dan terbang dengan cara yang sangat aneh. Aku perlu memicingkan kedua mataku untuk melihat benda apa sebenarnya mereka.

Aku bisa melihat bentuk mereka dengan lebih jelas. Mereka berbentuk seperti bola dengan empat sayap dan dua kepala serta ekor pendek. Bentuk mereka kelihatan lebih jelas lagi saat mereka terbang ke arahku. Aku melihat badan mereka penuh bulu seperti burung. Mereka lucu sekali.

Aku merentangkan kedua tanganku untuk menyambut kawanan bola bersayap dengan gembira. Melihat penampilannya, aku yakin bola-bola itu adalah makhluk yang ramah. Saat bola bersayap itu sudah berjarak lima meter dariku, barulah aku sadar bahwa mereka berniat menyerangku.

"AWAAAASSSS!!"

avataravatar
Next chapter