webnovel

1. Misteri Coklat

Jakarta, 24 Juli 2014

Walaupun jam dinding di kelas sudah menunjukkan pukul dua siang, anak-anak kelas X IPA 7 belum keluar. Mereka masih berkutat dengan selembar kertas masing-masing. Otak mereka terputar rumit karena memecahkan lima soal pre-test matematika dari Bu Maya. Guru matematika yang satu itu, baru sekali masuk kelas, sudah tak segan-segan menunjukkan sisi killer-nya.

"Cepat kumpulkan, sudah jam dua." Suara tegas Bu Maya memecah keheningan. "Apa kalian tidak mau pulang?"

"Ly, gimana nih? Kertas aku masih kosong semua," bisik Tiara pelan kepada Lyodra, teman sebangkunya pada hari itu.

"Nih." Gadis yang akrab disapa Lily itu menyodorkan sedikit kertasnya ke arah Tiara. "Aku cuma bisa satu nomor. Nomor 2 doang. Sisanya ngawur."

"Nggak masalah." Tiara bergegas menyalin jawaban Lyodra sama persis.

"Cepat, cepat, cepat! Sudah jam dua lewat lima menit. Letakkan alat tulis kalian!" perintah Bu Maya.

"Yo wis lah, pasrah aku," ucap Tiara lesu. Ia tidak sempat menyelesaikan jawabannya dengan lengkap.

Desahan napas lega dari anak-anak membaur jadi satu, apalagi ketika Bu Maya sudah angkat kaki dari kelas. Terdengar sahut-sahutan sumpah serapah dari lima anak laki-laki di kelas itu yang ditujukan kepada Bu Maya.

"Anjir, kalian tadi bisa jawab nggak?" tanya seorang gadis berkulit putih yang rambutnya dicepol dua. Ia bertanya kepada Lyodra dan Tiara yang duduk di belakangnya.

"Nggak lah, edan. Kita kan masuk sekolah tujuannya buat belajar, bukan buat dites," gerutu Tiara. "Dikira lagi penerimaan CPNS apa? Belum apa-apa udah dikasih soal yang njelimet banget. Astaghfirullah."

"Iya. Ngeselin emang," sahut Lyodra mengeluh singkat.

Setelah beres-beres peralatan sekolah, Lyodra dan Tiara berjalan bersama keluar kelas sampai ke warung Pak Pon yang terletak di selatan sekolah. Setiap sehabis pulang sekolah, mereka pasti mampir ke warung tersebut untuk menanti kehadiran ojek online pesanan mereka.

"Kamu tahu nggak sih, Ly?" Tiara membuka obrolan. Ia mengambil botol minuman dari tasnya, lalu menenggaknya sampai habis. "Di kelas kita itu ada cogan!"

"Oh ya? Yang mana?"

"Yang tadi duduk di sebelah kanan meja kita," balas Tiara dengan mata berbinar.

Lyodra mencoba mengingat laki-laki yang duduk di sebelah kanan mejanya tadi, tetapi ia tetap saja tidak ingat karena memang ia tidak memperhatikan.

"Siapa namanya?"

"Samuel. Samuel Kevandra Gozali." Ternyata Tiara sudah menghapal nama lengkap lelaki itu. "Namanya bagus kan? Cocok sama orangnya, cakep banget."

"Halah," tanggap Lyodra malas. "Seganteng apa sih?"

"Lihat aja deh besok di kelas. Atau kalau kamu udah keburu kepo, kamu cari aja Facebook-nya, Twitter-nya, atau Instagram-nya."

"Hmmm." Lyodra hanya bergumam malas. Sejak ia dikhianati oleh mantan kekasihnya belum lama ini, ia tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya lelaki. Butuh waktu untuk memulihkan hatinya.

Seorang lelaki paruh baya berjaket hijau berhenti di depan warung Pak Pon. Ia tetap duduk di motor, lalu menaikkan kaca helmnya.

"Kak Tiara?"

"Saya, Pak." Tiara bangkit berdiri, lalu pamit kepada Lyodra sambil melambaikan tangan.

***

Malam hari Lyodra gabut alias tidak ada kerjaan. Ia masih dalam minggu pertama kegiatan belajar mengajar mengajar di kelas X, jadi belum ada tugas. Kerjaannya hanya guling-guling di kasur sambil nyanyi-nyanyi tidak jelas.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Lyodra teringat Tiara yang tadi siang memberitahunya bahwa di kelas ada lelaki tampan yang bernama Samuel Kevandra Gozali. Ia beringsut mengambil ponsel bututnya di atas nakas, kemudian dengan lincah membuka aplikasi Instagram.

"Sa-muel... Ke-van-dra... Go-za-li..." Lyodra mengeja nama Samuel sambil jari-jarinya mengetikkan nama itu di kolom pencarian.

Hasil pencarian teratas menunjukkan akun dengan nama Samuel Kevandra Gozali dan username @samuelgozali. Ketika Lyodra mengunjungi profil akun tersebut, ia langsung disuguhkan oleh foto-foto tampan dan cool seorang Samuel. Lyodra membuka satu per satu foto Samuel, bahkan mengabadikannya dalam tangkapan layar.

"Ternyata bener kata Tiara, emang ganteng banget..." pekik Lyodra terpesona. "Meleleh adik, Bang."

Tidak bosan-bosannya Lyodra memandangi foto-foto Samuel di Instagram. Puas di satu foto, beralih ke foto lain. Sampai matanya terasa berat, kemudian ia terlelap memimpikan Samuel.

***

25 Juli 2014

Langit di SMA Wiyata Mandala yang cerah menyambut kedatangan Tiara yang hatinya sedang berbunga-bunga pagi itu. Tiara turun dari motor ojek online-nya sambil menahan senyum. Ia tidak sabar untuk bertemu Samuel hari ini, setelah tadi malam ia hanya bisa berjumpa dengan lelaki itu di alam mimpi. Ia bertekad hari ini akan mengajak Samuel berkenalan dan ngobrol santai.

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Mata Tiara membelalak ketika Samuel dengan wajah cool turun dari mobil merah di parkiran. Samuel melepas kacamata hitamnya, lalu ia menyampirkan ransel di sebelah bahunya.

Tiara memekik girang. Baginya, Samuel adalah salah satu makhluk yang menyempurnakan pagi harinya. Ia berlari kecil untuk menyusul Samuel, hingga ia bisa menyamakan langkahnya di sisi Samuel.

"Hai," sapa Tiara dengan senyum lebar. "Kamu anak kelas X IPA 7 ya?"

Samuel berlagak tidak mendengar apa-apa. Ia terus berjalan sembari mengangkat dagu.

"Aku ngomong sama kamu lho." Tiara memperkeras suaranya.

"Nama kamu siapa? Aku Tiara," kata Tiara sambil mengulurkan tangan.

Samuel melirik Tiara sekilas, lalu fokus berjalan lagi. Tatapan dingin Samuel membuat hati Tiara bergetar. Namun, setelahnya, Samuel berdecih pelan.

"Berisik banget sih. Dasar cewek kampung," ketus Samuel.

Lutut Tiara lemas. Ia terdiam berdiri di pinggir lapangan upacara. Matanya sayu melihat punggung Samuel yang semakin menjauh dari pandangan. Air matanya ingin tumpah, tetapi ia tahan. Ia merasa tidak dihargai sama sekali.

"Dasar cowok songong!!! Hih, nyebelin! Jancuk!" umpat Tiara, sambil menghentakkan sebelah kakinya ke tanah.

***

"Hai, gue boleh duduk di sebelah lo nggak?" Gadis bercepol dua itu menghampiri meja Tiara. Kursi di sebelah Tiara masih kosong. Seharusnya itu untuk Lyodra, teman pertama yang ia kenal sejak masa orientasi siswa baru.

Hitung-hitung ganti teman sebangku, Tiara mengiyakan. Gadis itu menaruh tasnya di kursi di sebelah Tiara. "Kenalin, gue Hazhiva. Biasa dipanggil Ziva."

"Aku Tiara."

"Temen lo yang kemarin duduk sama lo, siapa namanya?" tanya Ziva. "Nanti ajak dia duduk di depan kita aja. Gue pengen kenalan juga sama dia."

Belum sempat Tiara menjawab, Lyodra sudah menunjukkan dirinya di kelas. Matanya menyapu seisi kelas untuk mencari Tiara.

"Nah, itu dia orangnya. Ly, sini!" panggil Tiara.

Lyodra menghampiri meja Tiara yang sebelahnya sudah diisi Ziva.

"Maaf ya, gue ngambil alih posisi lo di sebelah Tiara. Lo duduk di sini aja." Ziva menunjuk kursi di depannya. "Nanti lo gue kenalin sama temen sebangku gue kemarin, namanya Mahalini. Panggil aja dia Mamah. Soalnya mukanya udah cocok jadi mamah muda gitu. Hihi." Ziva terkekeh geli.

Lyodra mengangguk canggung. "Boleh boleh."

Tak lama kemudian, Mahalini datang. Ziva meminta Mahalini untuk duduk sebangku dengan Lyodra. Mereka berempat saling berkenalan satu sama lain, dilanjutkan dengan mengobrol ringan yang disertai candaan.

Jadwal pelajaran pertama pada hari itu ialah biologi, yang diampu oleh Pak Sun. Sudah tiga puluh menit penghuni X IPA 7 menanti kehadiran Pak Sun, tetapi yang ditunggu belum datang-datang juga. Dimas, sang ketua kelas, berinisiatif pergi ke ruang piket untuk menanyakan perihal belum datangnya Pak Sun.

Dimas membawa kabar gembira untuk anak-anak. Ternyata Pak Sun sedang ada diklat ke luar kota. Suasana kelas mendadak jadi ramai. Begitu juga dengan Lyodra, Tiara, Ziva, dan Mahalini yang mulai mengobrol ngalor ngidul.

Obrolan mereka berempat berangsur seru, seperti pertemanan yang sudah dibina sejak lama. Mulai dari membicarakan Bu Maya, guru matematika killer yang juga wali kelas X IPA 7, senioritas kakak kelas, organisasi dan ekskul yang tersedia di sekolah, sampai anak ibu kantin yang dikabarkan dipenjara karena tertangkap basah memakai obat-obatan terlarang. Lyodra yang sebenarnya pendiam bisa dengan mudah berbaur dengan Tiara, Ziva, dan Mahalini yang cerewet tetapi menyenangkan. Kalau sudah merasa cocok dengan lingkungan pertemanannya, Lyodra lama-kelamaan akan mengeluarkan sisi barbarnya juga.

Tiba-tiba Ziva menyebut nama Samuel di tengah obrolan mereka. Nama seseorang yang semalam mampir ke mimpi Lyodra dan Tiara. Ziva bilang, Samuel itu sahabatnya sejak di SMP. Katanya, Samuel selalu jadi bintang kelas dan 'aset' sekolah. Samuel pernah memenangkan olimpiade matematika dan IPA ketika ia duduk di kelas VIII. Samuel anak hits Jakarta yang tampan, tajir, berkulit putih, bermata sipit, jago main gitar, dan jago olahraga.

Wajah Tiara berubah jadi masam saat Ziva menceritakan kelebihan Samuel yang katanya membuat siapapun gadis yang melihat lelaki itu akan klepek-klepek. Tiara teringat lagi kejadian tadi pagi di lapangan. Kejadian yang membuatnya seketika berubah membenci seorang Samuel.

"HEH! Percuma ganteng, wajah mirip oppa-oppa Korea, kalau kelakuannya kayak bangsat!" decih Tiara jengkel.

"Ini gimana konsepnya, sekelas baru seminggu udah main bangsat-bangsatin orang aja? Jangan-jangan, lo mantannya Samuel yang pernah diselingkuhin ya?" tebak Ziva ngasal.

"Huek." Tiara memasang wajah seperti mau muntah. "Nggak sudi sama dia." Ia pun menceritakan bagaimana awalnya ia bisa mengagumi Samuel, sampai kejadian tadi pagi secara jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Lyodra tertegun mendengar cerita Tiara barusan. Ia tahu Samuel memang anak orang tajir dan hits, tetapi ia masih tak menyangka kalau mulutnya licin sekali sampai berani berkata seperti itu kepada Tiara. Padahal menurutnya Tiara sudah cantik. Apalagi dirinya sendiri yang menurutnya tidak lebih cantik dari Tiara, pasti Samuel sudah sakit perut jika ia ajak kenalan.

"Nah, itu dia minus-nya si Samuel. Songong. Dia maunya bergaul sama anak-anak yang selevel sama dia doang. Dulu di SMP, kalau ada anak yang cupu dikit atau anak beasiswa gitu, dijamin Samuel nggak mau deket-deket," terang Ziva. "Tapi sebenarnya anaknya baik kok."

Lyodra menelan ludahnya yang pahit. Kenyataan itu harus ia terima. Ia sadar kalau ia hanya anak beasiswa di SMA Wiyata Mandala yang merupakan salah satu sekolah favorit di Jakarta ini. Siswa di sekolah itu kebanyakan dihuni oleh anak dari keluarga berada, karena kuota beasiswa hanya sepuluh persen dari daya tampung siswa dalam satu angkatan. Sudah bisa masuk di sekolah itu pun Lyodra sudah bersyukur. Ia hanya perlu fokus belajar. Tidak perlu memikirkan laki-laki lagi, apalagi laki-laki yang jelas-jelas tidak sepadan dengannya. Itu hanya akan membuatnya sakit hati.

"Baik dari mananya coba?" protes Tiara. "Kamu bilang baik karena kamu sahabatnya, Ziv. Coba kamu ngerasain ada di posisi aku, pasti udah kamu maki-maki tuh cowok bangsat!"

"Kamu nggak boleh ngomong gitu, Ti. Aku yakin setiap orang punya sisi baik juga. Siapa tahu setelah SMA dia bakal berubah jadi lebih humble," ucap Lyodra yang terkesan seperti membela Samuel.

Mahalini memicingkan matanya menatap Lyodra. "Jangan-jangan... kamu suka sama Samuel ya, Ly?"

Lyodra terperangah. "Eh, eh... Nggak gitu–"

"Jangan Ly, jangan," sergah Tiara. "Aku nggak rela temen aku yang sebaik kamu ini suka sama cowok yang nggak punya etika kayak Samuel."

"Kok lo sekarang ngelarang-larang Lyodra? Lo cemburu ya, Ti?" tuduh Ziva.

"NGGAK CEMBURU!"

"Menurut gue, Lyodra biasa aja ke Samuel. Wajar dia melihat orang dari sisi yang berbeda. Justru gue curiganya sama lo, Ti. Lo kalau terlalu benci sama dia, lama-lama bisa jadi cinta tuh," ejek Ziva tertawa puas.

"Amit-amit cabang olahraga!" Tiara mengetukkan kepalan tangannya ke dahi, lalu ke meja. "Iyuh! Makan tuh cinta."

Ketiganya tertawa melihat tingkah Tiara yang begitu membenci Samuel sampai sebegitunya. Biasanya kebencian yang terlalu berlebihan akan menimbulkan benih-benih cinta.

Mereka beralih topik membahas pramuka. Baru masuk sekolah di minggu pertama, pramuka langsung diadakan nanti siang sepulang sekolah. Pramuka adalah ekskul wajib yang paling Ziva benci, karena harus panas-panasan di tengah lapangan, dan kegiatannya yang menurutnya melelahkan. Ziva mengompori teman-temannya untuk bolos pramuka bersama nanti siang. Namun, mereka masih bingung apa alasan yang akan mereka katakan kepada kakak-kakak Dewan Ambalan yang berjaga di depan gerbang.

"Apa gue bilang kalau nenek gue meninggal aja ya? Kan nenek gue emang udah meninggal beneran setahun yang lalu," pikir Ziva.

"Terus aku gimana dong? Nenek sama kakekku empat-empatnya masih ada semua. Bahkan nenek tiriku juga masih ada," kata Tiara.

"Buset, berarti dulu orang tua kamu sering disiksa sama ibu tirinya dong?" tebak Mahalini.

"Iya, mana nenek tiriku tuh judes banget. Mukanya udah kayak kuntilanak. Hiiii." Tiara bergidik ngeri membayangkan wajah ibu tiri dari ayahnya.

Di tengah-tengah keheningan mereka berempat yang sedang memikirkan alasan, muncullah seorang gadis berambut coklat keriting memecah keheningan.

"Aku denger, kalian mau bolos pramuka ya?"

Ziva berjengit. Terkejut ia melihat gadis itu tiba-tiba muncul, sampai tubuhnya hampir njengkang ke belakang. "Lo siapa? Ngagetin aja lo."

"Aku Novia," kata gadis itu memperkenalkan diri. "Nanti siang aku harus ikut lomba melukis kaligrafi, jadi harus bolos."

Ziva tercenung sejenak. Otaknya berputar, sampai akhirnya muncul lampu bohlam yang menyala di atas kepalanya. "AHA! Gue ada ide."

Berkat ide gila dari Ziva, mereka berlima bisa lolos dari kakak-kakak Dewan Ambalan. Mereka beralasan bahwa mereka berlima satu kelompok dalam sebuah lomba kaligrafi, padahal sebenarnya yang ikut lomba itu hanya Novia seorang.

"Hati-hati ya, Nov. Semoga sukses lombanya. Semangat!" seru Tiara ketika sudah lolos keluar gerbang. Di depan sudah ada paman Novia yang menjemput dengan mobil sedan berwarna silver.

"Makasih semuanya. Dadah!" Novia melambaikan tangan dari dalam mobil yang kacanya dibuka.

Ziva mengajak ketiga temannya karaoke bersama. Mereka berempat berjalan ke pinggir jalan raya untuk menghadang angkutan kota yang arahnya menuju ke mal.

"Guys, ini tuh Jakarta," celetuk Ziva tiba-tiba.

"Aku tahu, Ziv. Siapa bilang kalau ini Makassar, hah?" sergah Tiara greget.

"Ya udah. Mulai sekarang, kalian harus biasain ngomong pakai gue-lo. Jangan aku-kamu gitu, ah. Geli gue. Berasa pacaran aja kita," decak Ziva.

"Hmm, sebenarnya gue udah biasa sih ngomong gue-lo sama kakak gue, karena dia udah tinggal di Jakarta sejak empat tahun yang lalu," kata Lyodra yang langsung mempraktikkannya. "Jadinya gue kebawa-bawa deh."

"Nah, ayo, Ti, Mah. Kalian juga harus menyesuaikan dong. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

Semenjak acara membolos pramuka bersama hari itu, kelima gadis yang berasal dari daerah yang berbeda-beda itu membentuk suatu kelompok persahabatan yang dinamakan Lima Serangkai. Lyodra yang pendiam, Tiara yang bawel, Ziva yang barbar, Mahalini yang manja, dan Novia yang perfeksionis saling melengkapi dalam persahabatan yang semakin akrab.

Lyodra pikir, ia akan sulit mendapatkan teman dekat di SMA-nya ini. Selama masa orientasi dan seminggu kegiatan belajar mengajar, temannya hanya Tiara. Ternyata dugaannya salah. Ada Ziva yang asli Jakarta, Mahalini yang anak pengusaha kaya dari Bali, dan Novia dari Manado yang sudah sejak SD tinggal di Jakarta. Mereka bertiga tidak alergi berbaur dengan Lyodra dan Tiara yang notabene berasal dari keluarga sederhana.

***

13 Februari 2015

"Gue boleh pinjem duit kalian dulu nggak? Nanti gue ganti di kelas."

Begitulah yang Lyodra katakan kepada Tiara dan Ziva, ketika ia menyadari bahwa ia tak membawa uang sepeser pun di dalam kantong kemeja dan rok seragamnya. Lyodra berniat membeli teh hangat, untuk menghangatkan badannya yang meriang karena flu berat.

"Maaf banget, Ly. Gue juga nggak bawa duit. Kan gue ke sini cuma nemenin kalian," jawab Tiara.

Ziva merogoh kedua saku roknya. "Yah, gue kebetulan cuma bawa goceng, nih. Gue mau beli jus mangga, jadi pas deh."

"Oh... Ya udah deh," pasrah Lyodra.

"Emang lo mau beli apa, Ly?" tanya Ziva.

"Teh anget."

"Oh iya, lo sakit ya, Ly?" Ziva jadi merasa bersalah. "Ya udah, lo pakai nih dua ribu. Gue beli es teh aja. Biar cukup duitnya."

"Makasih ya, Ziv." Lyodra tersenyum di dalam masker yang menutupi hidung dan mulutnya.

Ketika Lyodra dan Ziva asyik berburu minuman di kantin, Tiara pun ke toilet sebentar.

Lyodra meminum teh hangatnya sambil duduk di pojok bangku yang masih tersisa. Bangku-bangku yang tersedia sudah ditempati orang-orang yang menikmati makanan dan minuman mereka.

Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahu kanan Lyodra. Ia langsung menoleh ke belakang.

"Hai! Kamu Lyodra anak X IPA 7, kan?" tanya seorang perempuan, yang Lyodra tahu bahwa seseorang itu adalah kakak kelasnya.

"Iya. Saya Lyodra, Kak."

"Saya dari panitia Secret Admirer mau menyampaikan kiriman ini buat kamu. Terima kasih."

Si kakak kelas langsung berlari begitu Lyodra menerima kiriman itu. Sebatang coklat dengan gulungan kertas berwarna pink di atasnya. Pita pink yang mengikat membuat kiriman tersebut manis untuk dipandang. Lyodra benar-benar mengamati benda itu. Ia bingung siapa yang mengirim ini untuknya. Masalahnya, saat ini ia tidak sedang dekat dengan lelaki mana pun. Ia juga tak percaya kalau ia punya pengagum rahasia di sekolah ini, mengingat dirinya hanya gadis kampung anak beasiswa yang tidak good-looking.

"Apaan tuh? Wih, coklat!" seru Ziva saat menghampiri Lyodra sambil membawa segelas es teh. Ziva mengambil coklat itu dari tangan Lyodra. Ia ingin mengamati lebih jelas betapa manisnya packaging coklat itu.

"Barusan ada kakak kelas ke sini, terus ngasih gue ini. Katanya dia dari panitia Secret Admirer." Lyodra mengernyitkan dahinya, seolah bertanya, Secret Admirer itu acara apaan sih?

"Oh... Secret Admirer. Sekarang kan hari valentine, jadi sekolah kita ngadain acara Secret Admirer buat orang-orang yang mau ngasih sesuatu ke orang yang mereka suka atau mereka kagumi. Tapi, identitas pengirimnya bakal dijamin kerahasiaannya oleh panitia. Penerima nggak boleh tau siapa pengirimnya," jelas Ziva.

"Kok gue nggak tau kalau ada acara beginian?" tanya Lyodra.

"Oh iya, kan, waktu event ini diumumin lo nggak masuk. Hari Rabu kemarin itu, Ly."

Waktu itu memang Lyodra tidak masuk sekolah gara-gara flu berat yang menyerangnya. Bahkan, sampai sekarang aja ia masih sedikit pilek-pilek, makanya ia masih memakai masker. Kebetulan hari ini masker yang ia pakai berwarna pink. Ia memang suka memakai masker dengan berbagai warna yang berbeda.

"Coklat dari siapa tuh?" tanya Tiara heran, sekembalinya dari toilet.

"Dari secret admirer-nya Lyodra, Ti," sahut Ziva.

"Wah, yakin?" Mata Tiara berbinar saat melihat coklat berpita pink itu. "Cie, Lily punya secret admirer nih sekarang. Eh, ada suratnya ya?"

Saking sibuknya menebak-nebak siapa yang mengiriminya coklat itu, Lyodra sampai lupa kalau ada surat yang belum dibaca. Mungkin surat itu bisa jadi petunjuk, siapa orang di balik secret admirer ini.

"Gue buka ya, Ly." Tiara meminta izin sambil langsung membuka lipatan kertas yang juga berwarna pink itu. Ziva pun bersemangat karena penasaran juga.

"Bacanya bareng-bareng dong. Gue juga belum baca, tau." Lyodra yang duduk di antara Tiara dan Ziva memejamkan matanya sebentar, lalu membukanya lagi.

Untuk: Lyodra

Hai, Ly. Aku udah lama memperhatikan kamu dari jauh. Aku rasa, aku suka sama kamu, tapi aku nggak tau cara ngungkapinnya. Hanya lewat surat ini, aku menunjukkan rasa yang aku pendam selama ini. Semoga kamu suka ya!

NB: Kamu bakal lebih cantik kalo nggak pake masker terus. Get well soon! :)

Tulisan cakar ayam, khas anak laki-laki. Lyodra sama sekali tidak mengenali tulisan itu. Gadis itu semakin bertanya-tanya. Bahkan ia masih belum percaya kalau ada seorang laki-laki yang diam-diam mengagumi dirinya hingga seperti ini.

"Kalian pada kenal sama tulisan ini nggak?" tanya Lyodra sambil menatap Tiara dan Ziva bergantian.

"Hmm, Samuel kali," jawab Ziva asal.

"Ziv! Demen banget ya lo sebut-sebut nama dajjal itu di depan muka gue!" sergah Tiara kesal.

Lyodra tertawa hambar. Kalau boleh ia jujur, sampai sekarang ia masih mengagumi Samuel, meskipun lelaki itu tetap sombong dan belum berubah sama sekali. Seharusnya Lyodra yang jadi secret admirer Samuel, bukan sebaliknya.

"Kalau sampai Samuel ngasih gue coklat, gue jamin dia udah nggak waras. Udah deh. Balik kelas yuk," ajak Lyodra yang kemudian menarik tangan Ziva. Tiara pun mengikuti.

Sesampainya di depan kelas, mereka bertiga bertemu dengan Mahalini dan Novia yang sedang duduk di bangku panjang di depan kelas.

"Kalian berdua ke mana aja sih?" tanya Tiara. "Gue tadi nyariin kalian, tau, mau ngajak ke kantin."

"Gue ada kumpul teater mendadak. Biasa lah, anak sibuk," jawab Mahalini menyombongkan diri.

"Sama. Gue juga ada kumpul ekskul seni rupa," sahut Novia.

"Heh, kalian tahu nggak?" tanya Ziva sebelum memulai sebuah perbincangan yang kedengarannya menarik. "Temen kita yang lagi hobi pakai masker ini dapet coklat plus surat cinta dari secret admirer, lho," kata Ziva sambil melirik Lyodra.

"Demi apa?" pekik Mahalini kaget. "Ternyata diem-diem Lily punya secret admirer nih? Gila, gila. Kita berempat kalah nih sama Lily."

Mahalini dan Novia mengambil kertas berwarna pink yang akan diperlihatkan Lyodra itu. Mereka berdua membacanya sambil terkikik geli.

"Ly, dia sampai merhatiin lo akhir-akhir ini pake masker terus. Seperhatian itu," ledek Mahalini. "Makanya lepas dong maskernya."

"Gue pakai masker kan biar nggak nularin flu gue ke orang-orang," jawab Lyodra.

"Kali aja dia pengen lihat wajah cantik lo terus, Ly," sahut Novia.

"Emang cantik?" Ziva melirik Lyodra yang masih setia mengenakan maskernya.

"Haaatcih!"

Bersin Lyodra kambuh. Kebetulan sekali flunya kambuh setelah ucapan Ziva barusan. Lyodra sadar kalau ia tidak secantik teman-temannya yang lain. Kulitnya sawo matang, rambutnya hitam dan panjang, dan ada beberapa jerawat di wajahnya. Meskipun Novia juga berkulit sawo matang, tetapi Lyodra tetap saja insecure, karena menurutnya Novia juga masih lebih cantik darinya. Ia merasa ia yang paling tidak cantik di antara teman-temannya. Ia menekankan pada dirinya sendiri, ia tidak boleh iri. Justru ia merasa beruntung sekali karena teman-temannya ini mau berteman dengannya.

"Nggak, Ly. Astaga. Gue bercanda kok," kata Ziva lalu menepuk bahu Lyodra. Lyodra membalas dengan senyum di balik masker diikuti acungan jempol.

"Udah, udah. Kalau boleh, gimana kalau coklat ini dibagi lima?" usul Tiara.

"Boleh banget!" sahut Mahalini dan Ziva bersamaan.

"Eh, kita tanya Lyodra dulu dong. Boleh nggak, Ly?" tanya Novia.

"Ya udah, boleh deh," balas Lyodra pasrah.

"Beneran nggak, nih? Lo kelihatannya kayak belum ikhlas gitu." Tiara cemberut.

"Ya anggap aja pembagian coklat ini sebagai syukuran, Ly. Artinya kan ada cowok yang mengagumi lo diem-diem, nih. Pasti bentar lagi PDKT, terus jadian deh!" Mahalini mempengaruhi.

"Jadian apaan? Gue nggak ngarep sampai ke situ, kali. Orangnya aja nggak gentleman gitu, percuma. Paling dia juga cuma nge-prank gue," ujar Lyodra yang mencoba tidak terlalu memikirkan si secret admirer ini. Teman-temannya menyahut tertawa geli.

"Gue ikhlas kok. Gapapa. Kita makan bareng-bareng aja coklatnya," sambung Lyodra.

Ziva langsung membuka bungkus coklat tersebut. Terlihat coklat yang berbentuk panjang itu terbagi menjadi sebelas bagian kecil. Keempat sahabat Lyodra itu mengambil masing-masing dua bagian coklat. Tinggal tersisa tiga bagian untuk Lyodra.

"Karena coklat ini punya lo, nih kami sisain tiga buat lo," kata Ziva yang lalu menggigit coklat yang sudah diambilnya.

Lyodra hanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah konyol teman-temannya. Mereka memang kadang menyebalkan, tetapi mereka tak pernah absen membuat Lyodra tertawa setiap hari.

🦋🦋🦋