1 persahabatan

Rama pergi menemui Sinta di rumahnya untuk mengajaknya bermain bersama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dengan bermain di kebun atau belajar bersama.

Keesokan paginya, Rama datang ke rumah Sinta untuk belajar bersama. Sinta menghampiri Rama yang sedang duduk sambil membaca buku.

"Hai Rama, apa kau mau minum teh?" Tanya Sinta. Rama menggeleng.

"Tidak terima kasih. Aku tidak suka teh."

"Kenapa? Bukankah itu manis, tidak pahit kok. Kau bisa meminumnya," kata Sinta sambil memberikan segelas teh pada Rama.

"Aku tidak suka teh. Sebenarnya aku memang tidak suka manis-manis. Jika aku minum teh, aku nanti akan muntah," jelas Rama. Sinta menganggukkan kepalanya.

''Aku minta maaf," ucap Sinta. Rama tersenyum.

" Tidak masalah, mari kita belajar bersama!" Rama dan Sinta kemudian belajar bersama.

Suatu hari, ayah Rama harus pergi ke Jakarta untuk urusan bisnis. Rama pun kecewa ketika tahu bahwa ia akan berpisah dengan Sinta.

Keesokan paginya, Rama pergi menemui Sinta dan mereka pun bermain di kebun untuk terakhir kalinya karena besok Rama harus pergi ke Jakarta.

Mereka tiduran di sebuah tenda sambil memandangi pohon yang rindang.

"Hari ini menyenangkan ya! Setiap kali aku menghabiskan waktu bersamamu saat itu hari-hariku terasa berwarna," ucap Sinta.

"Aku juga, namun sayangnya, besok aku harus ke Jakarta."

"Untuk apa?"

"Ayahku ada urusan pekerjaan yang harus dikerjakan di sana. Jadi keluargaku akan pindah ke Jakarta." Sinta menunduk.

"Apa itu berarti kau tidak akan menemuiku lagi?" Rama memandangi Sinta dan tersenyum.

"Mungkin tidak, tapi aku berjanji padamu bahwa sejauh apapun dan seberapa lama aku pergi aku pasti akan kembali padamu," janji Rama pada Sinta. Sinta tersenyum.

Rama memandangi jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 14.25 WIB.

"Sudah ya. Aku harus pulang."

"Rama, sebelum kau pergi, apa aku boleh berkata sesuatu padamu?" pinta Sinta.

"Tentu, apa?"

"Aku harap kamu selalu bahagia di manapun kamu berada." Rama tersenyum.

"Kau juga selalu bahagia." Rama pergi meninggalkan Sinta. Sinta hanya tersenyum menatap Rama. Tiba-tiba

Rama berbalik dan melambaikan tangannya sambil tersenyum begitupula sebaliknya.

Keesokan paginya, hari ini Rama dan keluarganya pergi ke Jakarta menggunakan mobil. Jalanan di Jakarta begitu padat sehingga kadang menyebabkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, di sana daerahnya sangat luas dan ada beberapa pohon rindang di pinggir jalan raya.

Sudah hampir 5 jam Rangga (ayah Rama) mengendarai mobil namun mereka belum juga sampai rumah. Rama yang mulai mengantuk itupun tertidur di bahu Farah (ibu Rama). Farah melihat Rama tertidur kemudian membangunkannya dan bertanya, " Rama, apa kau tidak ingin melihat pemandangan di Jakarta ini, Nak?"

Rama hanya diam dan memandangi Farah dengan lesu. Rasa ngantuknya setiap saat semakin bertambah. Rama terus menguap hingga akhirnya ia kembali tertidur pulas di bahu Farah.

Keesokan paginya, setelah lama mengemudi, mereka sampai di rumah yang Rangga beli.

"Ayo bangun! Kita sudah sampai," kata Rangga sambil membuka pintu mobil.

Rama terbangun dan mengucek matanya. Ia melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 08.35 WIB.

"Sudah jam setengah sembilan dan kita baru sampai?" tanya Rama.

"Ya, ada masalah apa? Biasanya kau selalu tepat waktu," timpal Farah. Rangga tersenyum kecil sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Hehehe, maafkan aku. Tadi aku lupa jalan menuju ke sini," jawab Rangga. Farah hanya diam dan mengembuskan nafasnya.

Mereka kemudian masuk ke dalam. Rama kagum melihat rumah barunya yang sangat besar dan luas. Di sana juga ada televisi yang berukuran besar di ruang keluarga. Rama duduk sambil menekan tombol remot dan menonton tv. Farah melihat Rama dan bertanya,'' Rama, ayo makan dulu. Oh ya, apa kau sudah mencuci tangan mu atau belum?,''

Rama menggelengkan kepalanya.

"Dengar Rama, setelah kau pergi dari luar, kau harus mencuci tanganmu," lanjut Farah. Rama mengangguk.

Bukannya pergi mencuci tangannya, ia justru tiduran di sofa sambil menonton tv. Ia begitu senang melihat sinetron di TV hingga ia tidak bisa melakukan aktivitas apapun selain tiduran sambil menonton TV. Rangga datang menghampiri Rama sambil membawa cemilan berupa biskuit dan memakannya.

"Kau belum mencuci tanganmu? Dengar, jika ibu melihatmu tiduran seperti ini, maka ia akan memarahimu," kata Rangga pada Rama. Rama pun beranjak dari sofa, dengan lemas ia melangkahkan kakinya. Kakinya terasa berat, jalannya lambat. Beberapa saat kemudian Rama sampai di westafel dan mencuci tangannya.

Sementara itu, Sinta sering menghabiskan waktunya dengan memberikan makan kambing dekat rumahnya. Baginya, kambing-kambing tersebut merupakan teman yang ia miliki selain Rama.

15 tahun kemudian.....

Rama dan Sinta sama-sama remaja. Sekarang Rama dan keluarganya akan kembali ke Solo setelah lama ayahnya bekerja di Jakarta.

Rama berniat untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Surakarta, dimana Sinta juga kuliah di sana.

Keesokan paginya, hari ini ada pertandingan basket di kampus. Seperti biasa, para gadis bersorak melihat para pemuda yang sedang bermain basket di lapangan kampus. Hanya Sinta yang tidak ikut melihat pertandingan tersebut dan membaca buku di kelas untuk mempersiapkan ujian semester bulan depan.

Pada hari Minggu, Sinta sedang menjahit pakaiannya sambil duduk di bawah tenda dan memandangi kebunnya. Ia melihat pohon Apel yang berdiri kokoh dan daunnya yang lebat sudah mulai berbuah.

Tiba-tiba Tiara datang dan duduk di samping Sinta dan bertanya, " Apa yang kau lakukan? Bukankah hari ini akan ada pesta di rumahnya Lina? Kenapa kau belum bersiap-siap?"

"Aku tidak akan datang ke pesta," jawab Sinta singkat sambil menjahit.

"Apa katamu? Kenapa kau tidak mau ikut? Di sana kan nanti ada kue, musik, dan pastinya anak laki-laki. Memangnya kau tidak ingin memiliki pacar?" tanya Tiara. Sinta diam sejenak.

''Dengar, kalau aku tidak menemukan pemuda tampan untuk menjadi pacarku, maka aku akan jatuh cinta dengan pemuda nakal untuk ku nikahi," jawab Sinta kemudian tertawa kecil. Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sementara itu, Rama berlari ketakutan dari tangga.

"Rama, apa yang kau lakukan?" tanya Boy (kakak Rama yang baru pulang dari Belanda).

"Ssst, kak apa aku boleh minta tolong padamu?" pinta Rama. Boy tersenyum.

"Tentu saja, jadi ada masalah apa?"

"Kakak tolong selamatkan aku! Atau kalau tidak ibu akan membunuhku," jelas Rama lalu bersembunyi di belakang Boy. Tiba-tiba Farah datang, raut wajahnya terlihat kesal.

"Rama!'' panggilnya, namun tidak ada jawaban dari Rama.

"Di mana anak itu?" tanya Farah. Boy menghampiri Farah. Rama mengikuti Boy.

"Ada apa bu? Kenapa ibu terlihat cemas?" tanya Boy pada Farah.

"Tentu saja, adikmu tadi habis mencuri uang ibu," jawab Farah.

"Apa?" Rama keluar dari persembunyiannya.

"Ibu kau salah paham. Aku tidak mencuri apapun, aku bersumpah," bantah Rama. Farah tidak menghiraukan perkataan Rama dan terus memukulnya.

Rangga yang mendengar keributan kemudian pergi menemui Farah dan Rama.

"Ada masalah apa ini? Kenapa kau memukulnya?" tanya Rangga yang baru saja datang.

"Tadi Rama habis mencuri uang ibu sebanyak enam puluh ribu," jawab Farah.

"Ibu berbohong! Aku tidak mencuri."

"Oh ya, jadi kau tidak mencuri? Dasar pembohong!" kata Farah sambil memukul Rama. Rama hanya berlari menghindar dari Farah.

"Ibu, jika ibu terus memukulku lalu bagaimana aku bisa bisa berkata jujur padamu?"

"Baik, ibu sudah tidak memukulmu, sekarang katakan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang kau lakukan," pinta Farah.

"Akan ku ceritakan, tapi kau harus berjanji bahwa ibu tidak akan memukulku."

"Ibu berjanji."

"Jadi begini ceritanya..."

Flashback, kemarin malam Rama sedang bermain game di handphonenya. Tanpa disengaja, koutanya habis dan membuatnya kesal. Rama pun pergi menemui Farah untuk meminta uang agar ia bisa membeli kouta.

Di kamar, Rama melihat ibunya sedang tertidur pulas di ranjangnya. Ia duduk di samping Farah sambil memegang bahu Farah.

"Ibu, apa aku boleh minta uang?" Pinta Rama.

"Tentu saja, berapa?"

"Tidak banyak, hanya enam puluh ribu."

"Kalau begitu kau ambil saja di dompet ibu. Ibu tidak bisa bangun karena masih mengantuk," ujar Farah sambil menguap lalu memejamkan matanya dan kembali tertidur.

"Tapi ibu?"

"Sudah, kamu ambil saja."

"Baiklah kalau ibu memaksa," jawab Rama. Ia membuka dompet Farah dan mengambil beberapa uang.

"Terimakasih bu," ucapnya lalu pergi.

Kembali ke sekarang, Rama menarik napasnya dalam-dalam.

"Begitulah ceritanya," kata Rama. Farah menunduk.

"Baik, ibu yang salah. Maafkan ibu," ucap Farah. Rama tersenyum.

"Tidak masalah ibu."

Mereka kemudian pergi ke meja makan untuk sarapan.

Keesokkan paginya, Rama berjalan menuju ke perpustakaan sambil membawa buku bersama Reza.

"Aku dengar dua minggu lagi pak Andi akan mengadakan ujian matematika," ujar Reza. Rama menatap Reza.

"Tapi aku belum siap."

"Kau tenang saja. Bagaimana jika nanti sore kita belajar bersama teman-teman di rumahnya Sinta?" usul Reza. Rama mengangguk.

"Baik, aku setuju."

Saat jam istirahat, Reza pergi menemui Sinta.

"Hai Sinta! Nanti sore boleh kah aku dan teman-teman belajar bareng di rumahmu, soalnya Minggu depan akan ada ujian," pinta Reza pada Sinta. Sinta tersenyum.

"Tentu saja boleh."

Sore hari, Rama pergi belajar bersama di rumahnya Sinta. Mereka duduk sambil membahas materi matematika. Sinta datang sambil membawa beberapa gelas teh.

"Silahkan diminum," kata Sinta sambil menaruh gelasnya di meja. Semua meminum teh tersebut kecuali Rama. Sinta memandang Rama.

"Kenapa kau tidak minum?" tanya Sinta.

"Aku tidak haus."

"Kau harus minum, tidak baik menolak pemberian orang," nasihat Sinta.

"Hmm." Rama meminum tehnya dan mengerutkan dahinya. Sinta bingung dengan sikap Rama.

"Kenapa kau mengerutkan wajahmu?! Apa kau ingin mengejek teh buatanku?" Rama menggeleng.

"Tidak, aku hanya--" Tiba-tiba Sinta memotong perkataannya.

"Kau tidak perlu berbohong seperti itu, kalau tidak suka jangan minum."

"Aku minta maaf." Sinta hanya diam. Rama berusaha menghabiskan tehnya. Tanpa disengaja ia justru memuntahkan teh tersebut karena tidak tahan dengan rasa manis di teh itu. Sinta yang melihat Rama memuntahkan tehnya ke lantai merasa kesal dan memarahinya.

"Sudah kubilang bukan kalau tidak suka jangan minum, lihat! gara-gara kau lantaiku jadi basah dan kotor. Aku paling tidak suka belajar di tempat yang kotor seperti ini," gerutu Sinta. Rama menunduk.

"Sebelum kau pergi nanti kau harus membersihkan lantai ya," lanjutnya.

"Baik, aku minta maaf."

Mereka kembali belajar. Tiba-tiba Sinta mengingat kenangannya bersama Rama waktu kecil. Ia juga ingat kalau Rama tidak menyukai teh. Setiap saat pikirannya hanya memikirkan Rama sampai teman-temannya pulang.

Rama mengambil pel dan membersihkan lantai. Ia melihat Sinta melamun lalu bertanya, "ada apa? Kenapa melamun?" Sinta tersenyum menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan temanku. Oh ya kalau kau tidak keberatan apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" pinta Sinta. Rama tersenyum mengangguk.

"Apa?"

"Apa kau benar tidak suka minum teh karena kau membenci makanan atau minuman manis?" Rama mengangguk.

"Ya, itu memang benar tapi bagaimana kau bisa tahu?"

''Itu karena aku mengenalmu. Sebenarnya, aku adalah teman masa kecilmu, Sinta. Dulu aku dan kau sering menghabiskan waktu bersama di kebun," jelas Sinta. Rama terdiam sambil mengingat kenangan masa kecilnya bersama Sinta.

"Oh ya! Aku ingat sekarang. Jadi kau Sinta?" Sinta mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Senang bertemu dengan mu kembali," ucap Rama sambil tersenyum.

"Aku juga, setiap hari aku selalu merindukanmu. Aku kesepian tanpamu Rama," ujar Sinta.

"Kau tenang saja. Aku sudah kembali dan kita akan menghabiskan waktu bersama seperti dulu," jawab Rama. Sinta tersenyum.

Rama melihat jam tangannya.

"Sudah ya, aku harus pulang sudah hampir petang. Sampai jumpa," ucap Rama kemudian pada meninggalkan Sinta.

"Tunggu," cegah Sinta. Rama berbalik.

"Ya ada apa?"

"Rama, apa kita bisa pergi jalan-jalan di taman besuk pagi?" pinta Sinta. Rama tersenyum.

"Tentu saja."

"Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa," ucap Rama sambil melambaikan tangannya kemudian pergi meninggalkan Sinta. Sinta hanya tersenyum memandangi Rama.

Keesokan paginya, Rama dan Sinta sedang jalan-jalan di taman.

"Rama, bagaimana keadaan di Jakarta? Apa Jakarta itu luas?" tanya Sinta. Rama menatap Sinta dan tersenyum.

"Tentu, di sana sangat luas, ada taman yang indah yang terdiri atas bunga-bunga yang berwarna-warni seperti bunga mawar berwarna merah, kuning, jingga, dan merah muda," cerita Rama.

"Wow, sepertinya pemandangannya sangat indah. Oh ya, selama di sana kau tidak merindukan apapun?"

"Tidak," jawab Rama sambil menggelengkan kepalanya. Sinta menunduk.

''Oh."

"Tidak aku juga merindukan sesuatu.'' Sinta menatap Rama.

"Siapa?"

"Sweety."

"Siapa Sweety?"

"Kucingku," jawab Rama lalu tertawa. Sinta merasa kesal dan melipat kedua tangannya sambil mengalihkan pandangan melihat bunga-bunga yang ada di taman.

Rama menepuk bahu Sinta.

"Maaf, aku tadi hanya bercanda. Jujur, aku sangat merindukanmu," ucap Rama. Sinta menatap Rama.

"Benarkah?"

"Ya, aku berkata jujur." Sinta tersenyum. Mereka duduk di bangku untuk istirahat sejenak. Rama melihat ada penjual es cream dan pergi menghampirinya. Ia berniat untuk membelikan Sinta es cream. Sementara itu, Sinta heran karena ia tidak melihat Rama.

_"Di mana Rama, apa jangan-jangan dia pergi meninggalkanku?"_ tanya Sinta dalam hatinya.

"Aku di sini," jawab Rama seolah ia tahu jika Sinta sedang mencarinya. Sinta menoleh. Ia melihat Rama.

"Bagaimana kau bisa tahu jika aku mencarimu?" tanya Sinta pada Rama.

"Itu rahasia. Aku ini bisa mendengar suara hati, jadi jangan coba-coba untuk berbohong," jelas Rama.

"Hmm."

"Oh ya, ini es cream untukmu," kata Rama sambil memberikan es cream untuk Sinta. Sinta lalu mengambil es cream tersebut dan memakannya.

"Terimakasih."

"Dengan senang hati." Sinta tersenyum, ia melihat jam tangannya.

"Sudah jam dua belas, aku ingin pulang."

"Mau ku antar?" Sinta tersenyum menggeleng.

"Tidak terimakasih."

"Ayolah, aku kan juga ingin berkunjung ke rumahmu?" pinta Rama. Sinta menghela napasnya.

''Baiklah, ayo." Rama kemudian mengantar Sinta ke rumahnya menggunakan motornya.

"Wow! Motor mu ini bagus juga ya,'' puji Sinta saat di jalan. Rama tersenyum.

"Terimakasih. Sebenarnya motorku ini mudah rusak."

"Kalau rusak, lalu bagaimana motormu bisa berjalan?" tanya Sinta.

"Itu karena aku sudah memperbaikinya. Motorku ini adalah motornya ayah ku dulu," jawab Rama.

"Kau kan bisa beli motor baru yang lebih keren daripada ini.'' Rama tersenyum menggeleng.

"Tidak, aku lebih suka motor ini karena ini merupakan motor bersejarah untukku, ini adalah salah satu kenanganku." Sinta tersenyum.

Tidak terasa, mereka sudah sampai di rumah Sinta. Sinta turun dari motor.

"Terimakasih sudah mau mengantarku pulang dengan selamat," ucap Sinta sambil tersenyum. Rama tersenyum.

"Oh ya, apa kau mau mampir ke dalam?" Rama menggeleng.

"Tidak, aku harus pulang, mungkin lain kali aku aku akan mampir," jawab Rama. Sinta tersenyum.

"Baiklah, terserah kau saja."

"Sampai jumpa!" Rama pergi meninggalkan Sinta. Sementara Sinta hanya memandang Rama sambil tersenyum lalu masuk ke rumahnya.

avataravatar
Next chapter