2 ONE

❄Thaurielle Oddelfo Xaviere❄

   Langkah kakiku terdengar begitu nyaring saat melangkah masuk kedalam kelas yang sepi. Tak ada anak yang duduk di bangku kelas. Hanya ada seorang pria yang duduk di belakang sendiri sambil melipat-lipat kertas dan membentuknya menjadi seperti pesawat.

    Aku tak begitu menggubrisnya. Mungkin dia sedang merasa buruk hari ini. Akhirnya aku sampai di bangku yang terletak tepat di samping jendela. Aku duduk di bangku itu dan melihat keluar jendela. Jam segini seharusnya Imelda atau Dannish datang.

    "Apa aku boleh duduk di sini?" tanya pria yang tadi duduk menyendiri sekarang sudah berada tepat di depanku. Ia memegang sandaran bangku yang berada di depanku sambil memandangku dengan dingin.

    "Tentu saja. Ini tempat umum, kau bebas duduk di mana saja," jawabku dengan jantung berdebar karena terkejut tadi. Perlahan ia duduk lalu ia menatap keluar jendela.

    Hanya begini saja? Tidak ada percakapan, begitu? Lebih baik aku sendirian daripada bersama seseorang lalu tak membicarakan apa-apa. Ingin rasanya aku melangkah keluar kelas, tapi terkesan kalau aku menghindarinya. Dia pasti akan merasa tersinggung. Terpaksa aku hanya duduk di kelas sambil menunggu Imelda dan Dannish tiba.

    "Aku Zayn Malik. Siapa namamu?" tanya pria bernama Zayn itu memecah keheningan. Ia bertanya tanpa menatapku. Maka aku juga akan menjawabnya tanpa menatapnya. Aku melihat pemandangan di luar jendela.

    "Thaurielle Xaviere. Panggil saja aku Ariel," dan kami kembali terdiam. Zayn. Namanya bagus juga. Seandainya dia lebih ramah. Tapi jujur saja, aku belum pernah melihat ia sebelumnya. Mungkin dia siswa baru.

    "Aku siswa baru disini," katanya yang seolah tahu apa yang baru saja ku pikirkan. "Tidak ada yang mau mengobrol denganku saat pertama kali aku datang kemari. Kenapa orang-orang disini tak begitu ramah?"

    Apa dia menyindirku? Atau dia ingin aku menjadi temannya?

    "Kurasa itu sudah biasa disini, Zayn. Cuek dan lainnya, itu sudah biasa. Mereka takkan mengobrol denganmu kalau kau tak mau menyapanya terlebih dahulu," jawabku. Kupikir, aku telah mendeskripsikan diriku sendiri.

    Bisa kulihat wajahnya lewat pantulan bayangannya di jendela, kalau dia tersenyum lalu melirikku. "Kau benar. Dan kurasa kau sudah mendeskripsikan dirimu," katanya. Kulihat senyumannya semakin lebar saja. Aku hanya tertunduk malu.

    "Ini Queens, Zayn. Aku terlahir di sini. Jadi wajar kalau aku seperti mereka."

    "Kau lahir di sini? Yang benar?" tanyanya seperti menuduhku kalau aku ini berbohong. Lagi pula aku benar. Aku lahir di kota ini. Dia pikir aku lahir dimana? Di pantai, lalu keluar dari dalam batu? Yang benar saja.

    "Tentu saja aku yakin. Memang salah kalau orang sepertiku lahir di tempat seperti ini? Kau sendiri datang dari mana?" tanyaku balik padanya. Ia berbalik dan membuatku menatap matanya dan memandang wajah rupawannya itu.

    "Aku datang dari tempat yang jauh."

    Cih! Lagi-lagi jawaban seperti itu. Terkadang aku muak dengan kalimat barusan. Dunia ini luas dan memiliki banyak kota dan negara. Memangnya ada negara atau kota dunia lain di sini?

    "Bisakah kau jawab yang lebih tepatnya? Karena.. dunia ini luas, Zayn," balasku berusaha untuk sabar. Hingga akhirnya Dannish datang dan ia berteriak selamat pagi dari ambang pintu. Suaranya terdengar menggema saking sepinya kelas.

   "Pagi, Dan," balasku lemas. Ia menghampiriku lalu menepuk bahuku dua kali. Hingga akhirnya ia duduk di belakangku. Ia menyentuh bahuku dengan jari telunjuknya. Aku hanya memandangnya dari bayangannya di jendela.

    "Siapa dia?" tanyanya dengan berbisik. Walaupun sudah pelan, tapi sepertinya Zayn mendengarnya.

    "Namanya Zayn. Dia siswa baru di sini," jawabku. Kulihat Zayn masih menatapku dan menatap Dannish di belakang yang terus bersembunyi di belakangku. "Sepertinya dia butuh teman."

    "Kalau begitu kau bisa menjadi temannya," balas Dannish dengan cepat. Aku hanya membelalakkan mata dan berusaha menahan pekikkanku. "Kau butuh banyak sosialisasi, Ariel."

    Sosialisasi? Bukan nya sok.siali.sasi? Aku tak terlalu suka bergaul. Apalagi dengan orang yang baru ku kenal. Aku hanya bisa terkena sial jika bersamanya.

    "Tapi, Dan—"

    "Hei! Apa kalian tak ingin ke lapangan? Sesuatu terjadi di sana!" seru Imelda yang baru saja datang langsung berteriak dan wajahnya tampak merah padam. Aku dan Dannish langsung berdiri.

    "Ada apa disana?" tanyaku yang juga ikutan panik.

    "Pokoknya ke lapangan saja. Ayo!" seru Imelda yang lari tunggang langgang meninggalkanku. Aku dan Dannish kembali menyampirkan tas dan keluar. Saat di ambang pintu, aku teringat Zayn.

    "Ayo, ikut!" ajakku padanya. Tapi ia hanya diam. Aku memutar bola mataku. Sudah pendiam, malas pula.

   "Ayo, kita ke lapangan!" seruku sambil menggandeng tangannya. Aku tak tahu kenapa aku menggandengnya. Aku juga kasihan kalau dia harus sendirian di sini.

    Aku terus menggandeng Zayn dan membawanya berlari sekencang angin. Mudah-mudahan bukan karena ada perkelahian antar siswa.

avataravatar