3 Di Pelukan Seorang Lelaki

I know you think that you are too far gone

But hope is never lost, hope is never lost

- You're Gonna Be OK by Brian & Jenn Johnson -

==========

Reiko mendengar bahwa pekerjaannya di konbini ini dilaksanakan selama 12 jam. Yah, itu adalah jam kerja yang sangat jarang di Jepang. Biasanya hanya sekitar 6 atau 8 jam sehari. Melewati itu, bisa dianggap mengeksploitasi karyawan.

Tapi ... jika tidak yang ini, mana lagi? Apabila Reiko menolak pekerjaan di sini, apakah akan ada jaminan dia akan menemukan lowongan pekerjaan di konbini lainnya di sekitar sini? Dia sudah lelah dan harus secepatnya mendapatkan uang.

"Dari ... jam berapa saya harus bekerja jika saya bersedia di sini?" tanya Reiko sambil tatap penuh harap pada lelaki di depannya.

"Dari jam 7 pagi sampai 7 malam. Kalian karyawan perempuan tidak mungkin aku minta bekerja di jam malam, kan? He he he ..." Jawaban dari pemilik toko sangat melegakan bagi Reiko. Setidaknya, jam itu masih masuk akal baginya.

"Baiklah, saya bersedia, Tuan." Reiko tidak bisa lagi mengelak dari nasib yang harus dia jalani saat ini.

Tak apa, dia bisa keluar dari tempat ini jika dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak jam kerjanya. Untuk sementara, konbini ini adalah penyelamat dia.

12 jam, Reiko terus terngiang itu di benaknya. Itu artinya dia akan mengurangi jadwal untuk kegiatan sebagai yutuber. Ahh, tidak apa-apa. Toh, dia bukan karyawan di kanal yutub-nya, dia bebas jika hendak aktif ataupun hiatus dari sana.

"Baguslah, aku suka pekerja yang baik dan rajin. Kalau aku senang, aku pasti akan memberikan upah tambahan untukmu." Pemilik toko itu melanjutkan. "Kau bisa mulai bekerja besok pagi, jangan terlambat."

Reiko mengangguk lalu bungkukkan badan dengan sikap ojigi[1] untuk kesopanan dan rasa terima kasih dia karena diselamatkan.

Tapi, ada satu hal yang harus dia tanyakan kepada pemilik toko. Meski dia ragu, tapi dia harus melakukannya. "Ano ... um, Tuan ..."

"Namaku Yamada Shoichiro, kau bisa memanggilku Pak Sho." Pemilik toko tersenyum cukup lebar pada Reiko. "Katakan, apakah ada yang masih ingin kau tanyakan?"

"Ano[2] ... etto[3] ... nama saya Arata Reiko, bolehkah ... um ... aku menerima gaji bulan ini terlebih dahulu?" Reiko meremas tangannya sendiri dan menatap penuh harap meski ragu pada Tuan Yamada.

Tuan Yamada kerutkan keningnya, ini membuat asa Reiko melorot turun. "Tidak masalah." Dan jawaban ini sangat melambungkan asa gadis itu kembali. "Tapi akan aku berikan minggu depan sambil aku ingin melihat bagaimana kinerjamu, oke?"

Minggu depan? Baiklah! Tidak mengapa! Masih tersisa 3 minggu berikutnya untuk dia mencari apartemen baru. "Baik, Pak Yamada! Terima kasih! Sungguh saya berterima kasih atas kemurahan hati Bapak." Reiko berkali-kali melakukan ojigi pada Yamada Shoichiro.

Kemudian, Reiko pun bisa keluar dari ruangan itu dengan hati ringan karena beban terberat dia sudah lepas. Dia melangkah ringan melalui rak-rak di konbini itu, dan rasanya tubuhnya juga ikut terasa ringan saat dia merasa sekitarnya mendadak buram dan akhirnya gelap.

Sebelum tubuhnya menghantam lantai dengan sia-sia, ada sebuah lengan kokoh yang menyambarnya cepat. Seorang lelaki berjas mahal warna kelabu tua bergaris telah menyelamatkan Reiko.

Pekikan terdengar dari salah satu karyawan konbini yang sedang berdiri tak jauh dari Reiko.

"Sudah, sudah tidak apa-apa." Lelaki itu berkata ke karyawan tersebut sambil menopang, setengah memeluk Reiko yang pingsan. Ia menatap wajah pucat Reiko dan merasakan keringat dingin gadis itu dari kulit yang bersentuhan.

"Tuan!" Lelaki lain yang juga memakai jas segera memburu ke lelaki berjas mahal tadi. "Apakah Tuan baik-baik saja?" tanyanya dengan mata cemas kepada lelaki yang sepertinya bos dia.

"Aku tidak apa-apa, Zuko. Justru dia yang kenapa-kenapa." Lelaki berjas mahal menatap Reiko yang terkulai lemas di satu lengannya. Kemudian, untuk menghindari terus dijadikan tontonan di sana, lelaki itu membopong tubuh Reiko dan membawanya ke mobil dia.

"Tuan, apa yang harus kita lakukan?" tanya Zuko yang merupakan asisten lelaki itu. Mereka semua sudah berada di dalam mobil dengan Reiko ada di pelukan lelaki berjas mahal dan masih pingsan. Sedangkan mobil masih diam di tepi jalan, tidak melaju.

Namun, sebelum lelaki itu menyahut asistennya, ada gerakan kecil dari Reiko, menandakan dia sudah mulai sadar kembali.

Ketika gadis itu tersadar dari pingsannya, dia terkejut melihat dirinya ada dalam pelukan seorang lelaki. Secara otomatis, Reiko mendorong dada lelaki di sampingnya dan berseru, "Siapa kau! Mau apa?" Ia lekas menyilangkan dua lengannya, memeluk dirinya sendiri sebagai sikap defensif yang normal bagi seorang perempuan.

Lelaki itu tidak lekas menjawab dan hanya tersenyum tipis, namun sang asisten yang bersuara, "Kau harusnya berterima kasih pada Tuan Ryuu karena dia sudah menolongmu atau kau bisa mengalami gegar otak!"

"Zuko ..." Lelaki bernama Ryuu tadi seakan sedang menegur halus asistennya.

Mata Reiko bergerak menampakkan kebingungannya. Harus berterima kasih? Bisa gegar otak? Apa maksud lelaki yang duduk di depan sana? Kemudian, dia pun teringat apa yang terjadi sebelum dia kehilangan kesadaran.

"A-apakah tadi aku pingsan?" tanya Reiko mulai mengubah nada bicaranya, tidak sesengit tadi.

"Hmph! Kau pikir kau barusan sedang tidur cantik, begitu?" tanya Zuko dengan nada menyindir.

"Zuko, jangan tidak sopan begitu." Lelaki Ryuu memperdalam suaranya yang berat.

"Maaf, Tuan. Saya hanya ingin menyadarkan gadis ini." Zuko menganggukkan kepala dengan cepat pada lelaki Ryuu.

"Ehem!" Reiko menempelkan punggungnya ke pintu mobil sambil duduk menghadap ke lelaki Ryuu, pemilik mobil tersebut. "Ano ... maafkan kalau aku salah paham pada Anda, Tuan. Dan terima kasih telah menolongku."

Ya, kalau dipikir-pikir, dia memang bisa saja mengalami cidera apabila dia jatuh pingsan dan kepalanya menghantam sesuatu entah itu rak besi atau lantai di konbini. Ucapan dari asisten Zuko memang benar, dia patut berterima kasih pada penolongnya.

Lelaki di samping Reiko duduk dengan sikap penuh wibawa dan jumawa, menampilkan sosok bagaikan kaisar yang berkuasa. Tubuhnya tinggi sekitar 190 sentimeter dan terlihat kokoh di balik jas mahalnya.

Reiko secara cepat menganalisa penampilan dari lelaki itu. Kokoh dan tampak penuh kuasa. Tentu bukan merupakan seseorang dengan latar belakang sederhana, bukan?

Lelaki itu bertanya pada Reiko, "Wajahmu pucat, apakah kau sakit? Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit."

"Aku ... aku tidak sakit. Aku sehat, terima kasih." Reiko lekas menjawab meski agak tak menyangka akan pertanyaan itu.

"Apakah kau sudah makan tadi pagi?" tanya lelaki Ryuu masih menatap lekat pada Reiko.

"Aku ... sepertinya sudah." Reiko menjawab. Namun, segera terdengar bunyi 'krruuukk' yang jelas berasal dari perutnya. Sialan! Reiko mengumpat ke perutnya yang membuat dia malu berat.

[1] Ojigi atau membungkuk dalam budaya masyarakat Jepang adalah sikap menurunkan punggung dan kepala sebagai isyarat sosial kepada orang lain atau simbol penghormatan atau pernyataan terima kasih yang dalam.

[2] ano di Jepang hampir persis dengan kata 'anu' yang sering digunakan orang Indonesia.

[3] etto adalah bahasa gaul di Jepang seperti mengucapkan 'um ...' atau 'jadi ...' di percakapan Indonesia yang biasanya digunakan ketika dia ragu hendak bicara.

avataravatar
Next chapter