webnovel

Xiao Jianghan

Suasana sore ini semakin dingin, angin yang berhembus semakin kencang seakan ikut menembus tajam ke kulit. Nampaknya, musim dingin akan segera tiba semoga saja salju turun tahun ini. Sudah lama, aku tak melihat salju turun dengan lebat, aku rindu melihat gumpalan es berwarna putih yang memenuhi jalanan dan pepohonan. Kali ini benar-benar dingin.

"Apa kau kedinginan?" tanya Jianghan yang menyidikku dengan menyeringaikan sebelah bibirnya melihatku yang tengah menghangatkan telapak tanganku dengan mendekatkannya pada ujung bibirku.

"Kalau iya, kenapa? Apa salah jika aku kedinginan?" ucapku dengan sedikit kasar padanya sembari melilitkan tanganku memeluk tubuhku dengan erat.

"Kukira seekor kutu tak bisa kedinginan." ledeknya kali ini menyebutku sebagai kutu.

"Apa maksudmu mengatakan kutu padaku? Kau menghinaku?" ucapku kali ini yang menatapnya tajam seenaknya saja ia mengataiku dengan sebutan kutu. Apa aku ini terlihat seperti seekor kutu dimatanya.

"Karena kau sangat kecil dan menyebalkan itu sama seperti sifat kutu, kecil dan suka menganggu." balasnya dengan menyeringaikan bibirnya lagi.

"Kau ini menyebalkan sekali, biarlah daripada kau tinggi seperti jerapah." balasku yang mengejeknya. Jianghan mulai memutar bola mata malasnya sembari menghela napasnya seakan ia pasrah atas ejekanku yang menyebutnya seperti seekor jerapah si leher panjang itu. Tiba-tiba ia mulai mengeluarkan sebuah jaket hitam dari dalam tasnya dan menyodorkannya padaku.

"Pakailah ini, aku tak mau jika kau terus bersin-bersin menyebarkan virus padaku." Ia masih terus mengejekku dengan melemparkan jaket hitamnya ke mukaku, pria ini sangat tidak sopan, asal melempar sembarangan. Aku terus menatapnya kali ini dengan mengernyitkan dahiku mengapa bisa dia bersikap manis seperti ini padaku.

"Apa? Mengapa kau terus menatapku seperti itu? Kau tidak mau menerima jaketku?" tanyanya yang mulai menyidikku dengan mata sipitnya

"Tidak, bukan seperti itu."

"Kalau begitu kembalikan saja jaketku!" pintanya kali ini dengan mengulurkan tangannya meminta jaketnya kembali, namun dengan sigap aku memakainya. Seenaknya saja ia meminta kembali, aku juga membutuhkan jaketnya untuk menghangatkan diri. Kulihat Jianghan mulai menyeringaikan bibirnya sepertinya ia berpikir tentang suatu hal aneh tentang diriku. Aku mulai menundukan kepalaku menahan senyum girang yang ingin terhias di wajahku.

Di perjalanan sore dengan sorot cahaya jingga yang menyinari penjuru kota. Terlihat dua bayangan hitam saling berjalan beriringan menyusuri kota yang hampir malam dengan sepeda yang terdorong seakan memberikan nuansa romantic remaja di era 90-an.

"Jianghan, jika aku boleh tahu wanita seperti apa yang kau suka?" tanyaku yang memberanikan diri dan menatap wajah sampingnya, kulihat Jianghan mulai terbelalak kaget dengan pertanyaanku. Ia mulai terbatuk.

"Mengapa kau bertanya tentang hal seperti itu?" kagetnya dengan mata yang terbuka lebar

"Aku hanya ingin tahu saja tipe idealmu, jadi kau suka wanita yang seperti apa?" sidikku sekali lagi dengan harapan ia mau memberitahuku tentang tipe wanita idealnya.

"Yang jelas bukan seperti dirimu." jawabnya dengan nada yang cuek dan menggiring sepedanya dengan cepat meninggalkanku.

"Selalu saja seperti itu." decak kesalku sembari menendang bebatuan jalanan.

Hari telah berganti malam, rembulan kini bersinar menggantikan sang surya. Pikirku masih terbayang dengan sosok Jianghan, apakah ia sudah sampai di rumah atau belum? Kuputuskan untuk menghubunginya agar membuat hatiku sedikit tenang. Kuraih ponselku yang tergeletak di atas meja belajar, kucari nomornya dalam kontak yang ada di ponselku.

"Hubungi atau tidak ya? Jika kuhubungi aku takut dia akan semakin menjauh dariku karena aku terlalu agresif, tapi jika aku tak menghubunginya hatiku tidak tenang, mengapa sulit sekali untuk mengungkapkannya jika aku benar-benar mencintainya. Menjadi seorang wanita sangat menyulitkan." keluhku yang menutupi wajahku dengan kedua tanganku.

Terdengar ponselku mulai berdering nyaring. Nampaknya ada sebuah pesan yang baru saja hinggap di sana.

"Apa jaketku masih ada bersamamu, Lin?" Aku yang tengah membaca pesan, ternyata pesan itu adalah pesan dari Jianghan yang kudamba-dambakan kehadirannya. Bagaimana bisa, baru saja aku ingin mengiriminya pesan ternyata ia sudah mengirimkannya terlebih dahulu. Kurasa ia tahu apa yang kurasakan.

"Jianghan mengirimiku pesan!" ucapku yang kegirangan sembari melompat-lompat di atas kasur. Melihat ia menuliskan pesan saja, aku sudah kegirangan seperti ini. Apalagi jika ia mengatakan cinta dan memintaku untuk menikah dengannya, kurasa jantungku akan berhenti berdetak karena terlalu bersemangat.

"Tunggu dulu, Jaket? Astaga jaket itu!" ucapku yang mulai kebingungan. Aku bergegas mencari jaket itu, kurasa ia aku sudah mengembalikan jaket itu padanya, kuperiksa seluruh isi tasku namun jaket itu tidak ada, atau jangan-jangan jaket itu masih ada di ruang tamu. Aku bergegas pergi menuju ruang tamu, terlihat sebuah kain hitam tergeletak di lantai. Syukurlah, jaket Jianghan tak jadi hilang. Jika jaket ini hilang bisa-bisa perang dunia ketiga terjadi.

"Iya, jaketmu ada padaku, Jianghan." ketikku yang membalas pesan singkatnya sembari kusisipkan emoticon senyum padanya. Dalam hatiku selalu berharap semoga kali ini ia membalas pesanku. Tiba-tiba ponselku mulai berdering lagi.

"Kembalikan padaku besok!" balasnya yang menyisipkan emoticon marah. Aku mulai mengerucutkan bibirku, bagaimana bisa pria ini bersikap cuek seperti ini. Nampaknya, aku harus mencari topik pembicaraan lain supaya aku bisa saling membalas pesan dengan Jianghan malam ini. Kesempatan tak datang dua kali.

"Iya, aku tahu. Apakah kau sudah sampai di rumah, Jianghan?" pesanku mulai terkirim, aku mulai menggigit bibirku hampir sepuluh menit lamanya ia tak kunjung membalas pesanku. Aku mulai gelisah. Kurasa aku bisa gila karena menunggu balasan darinya, setiap detik bahkan menit aku selalu memeriksa ponselku. Tetapi, tetap ia tak membalas pesanku.

"Apakah aku terlalu berlebihan menanyakan hal seperti ini? Kurasa anak kecilpun akan pulang jika sudah waktunya pulang, ah dasar aku bodoh sekali." gumamku dalam hati sembari memukul kepalaku dengan tanganku sendiri. Tiba-tiba ponselku kembali berdering.

"Ya." balas Jianghan dengan cueknya.

Ini menyebalkan sekali ia hanya membalas pesanku dengan ucapan singkat seperti ini, seharusnya ia menceritakan bagaimana ia dalam perjalanan atau semacamnya.

Bagaimana bisa ia bersikap cuek dengan wanita, aku sudah lelah mencari topik pembicaraan tetapi tetap saja seperti ini. Menyebalkan sekali. Jika aku punya mantera sihir aku ingin mengutuknya menjadi batu.

Tak kusangka, aku menunggu lama hanya untuk membaca pesan "ya" darinya. Ini benar-benar gila.

Aku mulai merebahkan tubuhku lagi di atas kasur yang empuk. Mengingat kejadian sore itu, disaksikan oleh cahaya jingga yang menghiasi langit kota. Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan untukku, aku pulang bersama Jianghan menyusuri kota Hangzhou dengan senja yang menghiasi angkasa. Aku kembali dibuat tersenyum sendiri sembari memandang jaket hitam yang kini ada di dalam mesin pencuci pakaian.

"Kau menyuci pakaianmu, Lin di malam-malam seperti ini?" tanya Ibuku yang terkejut melihatku tengah mencuci pakaian dengan takaran sabun dan pewangi diluar batas kewajaran. Aku mulai meringis sembari menggaruk kepala yang tak gatal.

"Tidak, aku sedang mencuci jaket temanku yang kupinjam tadi, bu karena besok ia memintaku untuk mengembalikannya."

Ibuku hanya menggeleng keheranan melihat ulah anak gadisnya yang mencuci satu jaket hingga menghabiskan dua sachet pewangi seperti ini. Aku hanya meringis membalas ibuku. Aku melakukan ini agar jaket Jianghan bisa tetap wangi. Tidak enak rasanya jika mengembalikan jaket yang bau tanpa pewangi. Ibuku mulai pergi meninggalkanku nampaknya ia merestui perbuatanku kali ini.

Pikirku mulai terbayang akan suatu hal yang aneh, nampaknya ada satu cara untukku memanfaatkan peluang ini.

"Sepertinya aku bisa memanfaatkan jaket ini untuk bertemu dengannya." ucapku dalam hati dengan menyeringai jahat. Kali ini pikiranku mulai menjurus pada suatu hal yang licik namun akan sangat menguntungkan bagi diriku. Aku akan mengerjainya dengan jaket ini, setidaknya di sekolah aku masih bisa melihatnya dari jarak dekat. Aku akan memintanya untuk menemuiku di taman sekolah, kurasa akan terjadi suatu hal romantic disana.

"Akan kubuat kau selalu teringat tentang diriku, Jianghan. Aku akan membuatmu bertekuk lutut dan membalas semua cintaku." ucapku kali ini dengan menepuk tanganku.

Di sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran, langit biru yang mulai bersinar dengan terang, terlihat dua orang tengah duduk di bangku taman dengan penuh teka-teki. Sosok pria nampaknya mulai terus memandangi wanita yang kini duduk berhadapan sembari terus menundukan kepalanya.

"Yuan Lin?" panggil sosok pria itu pada gadis yang ada di sampingnya sontak membuatnya menoleh dan menatap wajahnya. Sosok pria perkasa itu mulai memberanikan diri untuk menggenggam erat lengan Lin yang sedari tadi dingin karena hembusan angin.

"Aku mencintaimu, Lin. Menikahlah denganku." ucap Jianghan yang mulai memohon padaku sembari ia menyodorkan sebuah cincin yang indah dihadapanku.

"Jianghan, apa kau benar ingin menikah denganku?" balasku yang tak percaya yang mulai membelalakan mata kaget. Terlihat Jianghan mengangguk mengiyakan, tiba-tiba Jianghan mulai menarik tanganku dan menyelipkan cincin indah itu di jari manisku.

"J..Jianghan? Kau?" panggilku yang mulai terbata-bata menatapnya, Jianghan hanya tersenyum manis menatapku.

"Yuan Lin!!" teriak seseorang dengan kerasnya hingga membuatku terbangun dari lamunan dan menyadarkanku bahwa aku masih berada di dalam rumah bukan di taman bunga kota yang indah.

"Apa yang kau lakukan? Angkat jaket temanmu, lihat air mesin cuci tumpah kemana-mana." teriak Ibuku yang melihat lantai yang basah karena air.

Aku mulai terbelalak kaget, bagaimana bisa aku terjebak dalam khayalanku sendiri, benar, aku ini benar-benar sudah dibodohi oleh cinta hingga membuat akalku semakin menggila.

"Apakah suatu hari kau juga akan mencintaiku, Jianghan?" gumamku sembari meraih jaket hitam yang masih basah

Next chapter