2 First Met

Di bawah pohon yang rindang ku sandarkan punggungku pada sebuah batang besar yang menjulang, kukembali menyendiri dengan sehelai kertas putih sebagai teman dikala aku merasa kesepian. Inginku menuliskan semua yang sedang berkecamuk dalam diri, takkan ada yang tahu soal perasaan hati manusia selain Dia sang Tuhannya.

"Yuan Lin?" panggil seseorang yang menyebut syahdu nama indahku.

"Jianghan?" jawabku yang terheran-heran melihat sosok pria gagah yang kini tengah berdiri menjulang di hadapanku, dia adalah Xiao Jianghan.

"Jangan takut sendiri, aku kemari karena hatimu memanggilku, akulah yang akan menjadi teman setia di kala kesepianmu datang melanda." ujarnya yang membuatku terperangah kagum, ucapannya sangat manis dan romantis membuat sekujur tubuhku kembali terhipnotis oleh sosok agung nan rupawan bernama Jianghan. Dialah pangeran hatiku yang selama in kuidam-idamkan kedatangannya.

Aku tersenyum menatapnya, ia membalas senyumanku dan duduk di sampingku, tangannya merangkul bahuku, hingga membuat kepalaku bersandar pada dada bidangnya, tanpa terasa akupun jatuh dan terlelap dalam di tangannya.

"Kau tertidur?" tanyanya yang memastikan bahwa aku benar-benar terlelap dalam belaian halusnya yang membelai rambutku. Aku hanya bergumam menjawab pertanyaannya, aku tak menyangka bahwa bahunya sangat nyaman untuk disandari.

"Apa kau keberatan jika aku bersandar seperti ini?" tanyaku dengan mengangkat alisku memandangnya yang tengah memandangku dengan tatapan penuh kasih yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Tidak, bersandarlah sepuasmu." jawabnya yang membuatku semakin tenang dalam buaian cintanya.

Aku mulai melilitkan tanganku pada pinggulnya,

"Terima kasih banyak, Jianghan."

Ia hanya tersenyum memandang tingkah kekanak-kanakkanku. Aku tak peduli apa yang akan ia pikirkan tentang diriku, yang terpenting adalah aku bisa mendekapnya dan bersandar di bahu bidang dan perkasa yang selama ini di idam-idamkan oleh setiap kaum hawa yang ada di sekolah, aku merasa bahwa akulah wanita yang paling beruntung yang ada di dunia ini. Kudengar ia mulai bersenandung sembari membelai halus rambut dan tanganku.

"Mengapa kau bernyanyi, Jianghan?" tanyaku

"Aku ingin membuatmu tertidur, tidurlah Lin aku akan menyanyikan lagu tidur romantis hanya untukmu." jawabnya yang masih membelai halus.

Akupun semakin terhanyut dalam dekapannya membuatku lupa bahwa aku akan menuliskan segala sesuatu yang ingin kucurahkan bersama kertas putih yang kubawa, namun karena Jianghan telah datang membuat semua rasa yang mengganjal dalam dadaku sirna sudah, kurasa dialah obatnya dari segala hal yang membuatku merasa terbeban.

"Tidurlah, lupakan semua masalahmu, Yuan Lin." ucapnya lagi dengan sedikit berbisik ke telinga kananku yang membuatku semakin hangat karena sandarannya dan semakin lelap dalam pangkuannya.

"Yuan Lin!!!" teriak seseorang memanggil keras namaku dengan tangan kekarnya menggebrak meja. Sontak hal ini membuatku terkejut dan terbangun dari mimpi indahku yang membawa kenyataan bahwa Jianghan tidak ada di sisiku dan aku juga tidak tertidur di bahu gagahnya, aku masih berada dalam ruang kelasku. Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku melihat sosok pria berkacamata berdiri menantang dan menatapku dengan wajah yang sangat buas seakan ia ingin memangsa seseorang.

"Berdiri!!" pinta Sosok guru yang tegas itu sebagai bentuk hukumanku, akupun mulai mendirikan tubuhku sembari menundukkan pandanganku menatap meja dan buku yang tergeletak di hadapanku.

"Apakah belajar itu melelahkan bagimu, Yuan Lin hingga kau tertidur pulas di dalam kelas saat pelajaran berlangsung?!" bentak guru Lu Yang dengan sangat kerasnya hingga membuat satu ruangan terdiam membeku karena bentakannya yang sangat melengking nyaring di telinga dan cukup membuat jantung berdegup dengan sangat cepat.

Suasana ruang kelas menjadi kian mencekam jika guru Lu Yang marah, bisa-bisa semua mendapatkan gigitan yang berbisa dan peringatan keras agar untuk selalu belajar.

"M..Maaf pak." jawabku dengan menundukkan kepalaku sembari memandang buku yang terdapat di atas mejaku.

"Dengarkan baik-baik kalian itu akan segera naik kelas, kalian ini kelas paling terakhir dalam urutan peringkat, nilai kalian semua sangat buruk di sekolah ini. Mengapa kalian selalu malas-malasan dalam belajar?" nasihat Pak Lu Yang

"Maaf Pak." jawab satu kelas dengan serempak.

"Kalian coba contohlah teman-teman kalian yang ada di kelas 2A kelas unggulan itu, mereka selalu belajar kapanpun dan dimanapun karena apa? Ya, karena mereka tidak mau kalah saing dengan teman-teman sekelasnya, sementara kalian di kelas 2F bukannya berlomba-lomba dalam meraih prestasi malah berlomba-lomba dalam kemalasan. Generasi macam apa kalian ini?" sindir keras Pak Lu Yang dengan membanding-bandingkan kelas kami dengan kelas yang lainnya. Seluruh siswa di kelas mulai menunduk dan mengangguk mengiyakan semua ucapan sang guru besar Lu Yang.

Kali ini bukan sekali bagi kelas kami dibanding-bandingkan tapi sering kali dan sudah berkali-kali dijadikan anak tiri dan tempat tuk meluapkan segala amarah yang ada. Kelasku adalah kelas F dimana semua siswa yang menghuni kelas ini adalah siswa yang memiliki nilai terburuk dalam setiap ujian mata pelajaran atau ujian praktik di sekolah, termasuk dengan diriku yang sangat lemah dalam segala hal yang berbau hitung menghitung. Aku bukanlah apa-apa hanya sebuah butiran debu jika dibandingkan dengan seluruh anak kelas A, B, C atau yang lainnya. Otakku tak seperti mereka yang selalu belajar dan membaca buku setiap waktu, aku mudah bosan dengan kegiatan yang seperti itu. Bukankah prestasi tak selalu diukur dari nilai yang bagus?

"Ah, menyebalkan sekali guru Lu Yang, dia selalu memarahi kelas kita, mengapa selalu kelas kita yang menjadi sasaran empuk untuk meluapkan kemarahannya?" celoteh Shu In dengan menghela napas panjangnya seakan jiwanya benar-benar terganggu dengan semua masalah yang ada.

"Ya, telingaku sampai panas mendengar omelannya. Dia selalu membanding-bandingkan dengan kelas A, padahal kita ini kelas F." respon Fen sembari tangannya mengaduk-aduk minuman dinginnya.

"Lagipula setiap anak pasti punya bakat masing-masing, kan? Jadi, mengapa ia selalu memaksakan kehendak agar nilai semua anak bagus, itu sama saja ia memaksa ikan untuk terbang dan burung untuk berenang." tambahku dengan menyangga pipiku.

"Aku setuju!" jawab Fen dengan mengangkat tangannya atas pernyataan yang kuungkapkan dari dalam lubuk hati yang telah terpendam lama karena sering merasa tersakiti.

"Aku juga setuju, tapi kenyataannya seperti itu mereka yang pintar selalu diutamakan. Karena jika orang itu pintar pasti akan dianggap pintar dalam segala hal, sementara yang bodoh, selamanya akan dianggap bodoh dalam segala hal. Hidup memang keras, kau bodoh dan kau akan menerima hinaan sepedih ini." ujar Shu In dengan mengerucutkan bibirnya yang kini terlihat hampir seperti Donald bebek.

Aku dan Fen hanya menghela napas sembari menatap makanan yang tersaji di depan meja kantin, seakan tak ada lagi selera untuk makan, seketika perut kami menjadi sangat kenyang ketika mengingat kejadian buruk hari ini.

Jiao Fen dan Im Shu In adalah sahabat terbaikku sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah, mereka selalu ada menemani dan mendukungku apapun yang kumau, kami seperti keluarga hanya terkadang kami suka heran mengapa nasib kami bertiga selalu sama, saat sekolah dasar aku memiliki barang yang sama seperti mereka, dan hingga sampai kami duduk di sekolah menengah atas kamipun disatukan di kelas dengan nilai terendah, kelas F. Entah ini kebetulan atau keajaiban, akupun tak tahu. Tapi, yang jelas mereka sangat baik padaku.

Terdengar sorak-sorak bergembira seluruh siswi sekolah mengiringi langkah sosok pria dengan rambut cepak yang tertata rapi melintas di hadapan mereka. Dia adalah Xiao Jianghan, siswa dari kelas 2A yang dikenal sebagai seorang siswa dengan daya ingat dan otak genius segenius Albert Einsten namun gayanya sangat keren dan mempesona bagaikan sosok pemain drama di televisi. Parasnya yang rupawan dan indah membuat seluruh gadis di sekolah mengejang tak karuan dan ingin segera menjadi kekasihnya, sorot matanya yang tajam selalu menjadi misteri bagi setiap orang yang melihatnya dan senyumnya yang manis manja mampu membuat jantung berhenti berdetak.

"Kak Jiang." sapa seorang gadis memanggil namanya dengan suara yang merdu dan melambaikan tangannya, namun Jianghan hanya diam dan menatapnya tanpa membalas sapaan gadis yang tengah duduk di kantin itu. Ia tetap mengabaikan dan acuh terhadap apa yang ia lihat.

Itulah sikap buruk dari Jianghan yang tak kusukai, dia sangat dingin kepada siapapun yang ada, dia selalu acuh dan kadang juga sombong, dia adalah pria introvert terparah yang pernah kutemui, sikapnya yang dingin dan penuh misteri yang tak terpecahkan. Ia takkan mengobrol ataupun menyapa seseorang kecuali ia sudah mengenal dan berteman akrab dengan orang itu, memang dia pria aneh. Namun, sangat mengagumkan untukku.

"Jianghan dia pria angkuh yang tak kenal simpati." kata Shu In sembari melahap kentang goreng yang ada di depannya.

"Kau ini bicara apa, Shu In?" tegurku sembari memukul gemas pada lengan Shu In seenaknya saja ia mengejek cintaku.

"Bagaimana kau bisa menyukai pria seperti dia, Lin?" sidiknya yang sangat ingin tahu tentang rasaku pada Jianghan yang begitu besar sebesar bumi dan sedalam lautan. Aku hanya menggelengkan kepala sembari mengangkat bahuku mengisyaratkan bahwa aku tak tahu mengapa aku bisa jatuh cinta pada pria yang berhati es seperti Xiao Jianghan.

"Baiklah. Aku tak habis pikir saja bagaimana bisa dia mewarisi sifat cuek dan bodo amat terhadap segala hal seperti itu. Kurasa di kehidupan masa lalunya, dia adalah sebuah batu yang kemudian berinkarnasi menjadi manusia." jelas Shu In dengan terus memakan kentang goreng kesukaannya itu dengan lahap tanpa sisa.

"Kau ini bicara apa, Shu In? Aku tak mengerti." tanya Fen dengan nada tak percaya akan ucapan Shu In yang mulai melenceng dari topik pembicaraan. Aku hanya ikut mengangguk karena satu frekuensi dengan pertanyaan Fen, sahabatku.

"Astaga kalian ini, maksudku sikap Jianghan sama seperti sebuah batu." tegasnya kali ini membuat kami paham sembari terus memakan kentang dan meminum minuman sodanya.

Jianghan memang pria yang pintar tapi kalau soal hubungan sosial nampaknya ia masih sangat kurang, seharusnya ia juga belajar dari kelas 2F-ku dan seharusnya semua guru juga sadar akan kelebihan yang dimiliki kelas F yang tak dimiliki oleh kelas lainnya, kelasku adalah kelas yang paling solid dan setia kawan daripada kelas lain, jika satu orang tak mengerjakan tugas atau lupa membawa tugas maka satu kelaspun takkan mnegumpulkan tugas, satu di hukum maka satu kelas juga akan ikut di hukum. Maka dari itu siswa lain dan guru-guru selalu memandang jelek tentang kelas F, sebenarnya bukan kami bodoh tapi kami mengutamakan kesolidaritas dan kebersamaan itu yang dikatakan Shu In padaku.

Memang aku tak sepintar Jianghan dan gadis satu kelasnya, tapi aku sangat suka apabila melihatnya. Aku sering sekali memergokinya membantu siswa lain dalam mengerjakan tugasnya atau hanya sekedar menanyakan maksud dari soal tersebut, kurasa ia sangat cocok apabila menjadi seorang pengajar seperti guru Lu Yang, karena sikap sabar dan telatennya walaupun ia tetap cuek terhadap sesama.

Tapi, kalau soal akademik dialah maha rajanya, tapi yang masih menjadi pikiranku adalah apakah benar jika Jianghan itu inkarnasi dari sebuah batu? Apa setiap orang cuek di dunia ini adalah inkarnasi dari sebuah batu? Mana mungkin, kurasa Shu In yang terlalu berlebihan dalam menanggapi hal seperti ini, tapi jika itu benar Jianghan inkarnasi dari bentuk batu apa ya?

"Hei, Lin sayang apa kau sudah makan?" tanya seorang pria dengan nada lembutnya padaku yang menghampiriku yang tengah berdiam diri di lantai atas gedung sekolah sembari kurasakan sayup-sayup angin yang menghembus dan mataku tetap memandang langit biru yang cerah.

"Liao Jin?" gumamku yang tak percaya melihat sosok Liao Jin yang tengah berdiri menjulang di sampingku. Liao Jin dia adalah teman sekelasku dan dia juga dikenal sebagai pria paling agresif yang pernah kukenal, menurut berita yang kudapat dari teman-teman satu sekolah, Liao Jin menyukaiku sejak kami duduk di kelas satu tapi aku tak menyukainya dan tak merespon ucapan orang-orang itu, karena aku hanya menganggapnya sebagai teman tidak lebih dan aku hanya menyukai Jianghan dan akan selalu mencintainya.

Liao Jin adalah pria yang baik, ramah dan sopan. Dia adalah satu-satunya pria paling tampan yang ada di kelas F, karena ketampanannya menbuat banyak siswi dari kelas lain yang juga meliriknya dan mengirimkannya surat cinta tapi ia selalu membuangnya, entah mengapa ia selalu melakukan hal itu. Dia adalah pria yang sangat peduli terhadap kesehatanku juga, pria ini sangat sering membawakanku sebuah kotak makan baik itu ia masak sendiri atau bahkan ia membelinya di jalanan, karena orangtuanya adalah pengusaha restoran jadi tak heran jika selalu menanyakan apakah aku sudah makan dan dia selalu memberikan kotak makan siang yang enak padaku. Jika di gambarkan Jin memiliki postur tubuh yang tinggi semampan, berlesung pipi sebelah kanan dan dianugerahi senyum yang manis, akan tetapi jika di bandingkan dengan Jianghan, Jianghan jauh lebih eksotis parasnya dibandingkan dengan sosok Liao Jin ini.

"Kau sudah makan, sayang?" tanyanya sekali lagi tuk memastikan isi perutku yang membuatku terbangun dari lamunan siangku.

"Sudah. Jin, tolonglah jangan memanggilku dengan sebutan sayang, tidak enak jika didengar orang." ujarku dengan menepuk bahunya dan menatap bola mata hitam yang sipitnya itu.

"Apa panggilan sayangku itu mengganggumu, Lin?" tanyanya kali ini dengan menggenggam erat jari jemariku

"Tidak, hanya saja jika didengar orang serasa tidak pantas. Terlebih lagi jika para penggemarmu yang mendengar ucapan ini." jawabku dengan menarik tanganku dari genggaman tangannya, aku takut jika seseorang melihatku dengan Liao Jin bisa menjadi bahan gosip satu sekolah, jika satu sekolah tahu dan Jianghan juga mendengarnya bisa gawat bisa jadi Jianghan tidak akan menyukaiku, ya walaupun aku tahu ini semua mimpi, Jianghan saja tidak pernah memanggilku.

"Biarlah, biar semua orang tahu bahwa aku adalah milikmu, lagipula aku tak peduli dengan para fans-ku, yang kupedulikan itu hanya dirimu, Lin. Hanya kau yang kutunggu di sepanjang waktuku." jawabnya dengan menatapku penuh ketulusan. Aku hanya diam dan menyeringaikan bibirku sebagai tanda responku padanya.

"Kau ini bicara apa, Jin." elakku yang tiba-tiba tersedak sesuatu karena ucapannya.

"Minumlah, minumlah." Ia mulai panik dan menyodorkanku sebuah botol minum yang ia bawakan padaku. Akupun menegak air itu, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah plastik putih besar yang ada di bawah kakinya.

"Jin, itu apa?" tanyaku pada Jin sembari menuding sebuah plastik putih di sebelahnya.

"Roti panggang, tadi aku kira kau belum makan jadi kubawakan kau roti panggang ini. Tapi, ternyata aku terlambat, tapi tak apalah karena kau sudah kenyang, jadi nanti akan kubawa pulang saja." ucapnya yang membuat hatiku merasa miris. Dia sangat peduli padaku tapi aku selalu mengacuhkan secuil perhatiannya.

"Bawa kemari, akan aku makan. Aku lapar." pintaku sembari menengadahkan tanganku di hadapannya tuk meminta sepotong roti yang ia bawakan khusus padaku. Kulihat senyumnya kini mulai merekah menatapku, ia mulai mengeluarkan sebuah kotak makan siang dan memberikannya padaku. Kami berdua makan bersama dibawah langit biru, untuk kesekian kalinya, Jin menjadi teman di waktu sepiku.

"Aku senang menghabiskan waktuku bersamamu, Lin." tuturnya dengan tersenyum menatapku yang tengah makan roti panggangnya.

"Aku berharap aku bisa selalu ada disisimu kapanpun dan dimanapun ketika kau membutuhkan atau tidak membutuhkan diriku." gumamnya yang membuatku tersenyum malu dan memukul lengannya, ucapannya sangat romantis dan membuat ku tergoda.

Andai saja seseorang yang tengah duduk dihadapanku ini adalah Jianghan, mungkin aku akan merasa sangat bahagia dan ucapan yang diucapkan oleh Jin akan kuucapkan juga pada Jianghan bahwa aku ingin selalu berada di sampingnya kapanpun dan dimanapun, di segala situasi aku akan menjadi bayangannya.

avataravatar
Next chapter