webnovel

Inayah, Mengurai Gelap

Saat hidup terasa begitu melelahkan dengan segalanya yang begitu menggiurkan, terjebak dalam kubangan hitam berputar-putar mencari jalan keluar. Saat hidup terasa sangat memuakan dengan segala sandiwaranya mencoba tetap tersenyum lalu kembali menapaki takdir tanpa tahu kemana jalan akan membawa akhir. Dan saat semua orang hanya menontonnya dengan tawanya yang pecah, sambil berseru, “Dia hanya seorang anak itik yang merindu matahari.” Tapi Ia percaya, “Fainni Qorib”, sesungguhnya, tak sejengkalpun kita diabaikan. Buku ini tentang perjuangan meraih apa yang diyakini “menang”

Ismi_Dey · Teen
Not enough ratings
23 Chs

KEMBALI DALAM KUBANGAN

Aku mungkin sombong tak menghiraukan bisikan kecil Tuhan. Atau saking terlena dengan perasaan di dada. Kalian boleh kok memanggilku jalang, karena memang begitulah aku. Setengah tahun lalu aku kembali dalam dunia malam. Bersembunyi dalam malam, dari kejamnya norma masyarakat. Aku masih sekolah kalau kalian tanya. Sebuah SMA Negeri di pinggiran kota. Meski begitu itu merupakan SMA favorit di daerahku.

"Naya, perpus yuk?" ajak Jean, teman sebangkunya.

Masih tahap perkenalan. Seperti biasa, aku tak mudah bergaul dengan orang baru. Aku bertindak pasif dan menimbulkan khas bahwa aku pendiam. Anak yang tak akan mungkin macam-macam.

"Boleh," jawabku lalu mengikutinya berjalan ke perpustakaan. Siapapun yang melihatnya pasti mengira kami memiliki semacam hubungan tuan dan pembantu. Karena memang aku selalu berjalan dibelakangnya, bukan di sampingnya. Tak apa, aku akan menampilkan sosok polos hingga lulus nanti. Harusnya semua tak boleh tahu bahwa aku sudah bekerja.

"Naya kalau jalan sebelahan sini, loh," Jean menarik lenganku agar berjalan beriringan.

Aku mengikutinya dengan muka sedikit menunduk. Jika istirahat seperti ini kami sering ke perpustakaan. Aku hanya menemaninya membaca sedangkan aku tidur di pojokan. Aku harus mengisi tenaga untuk lembur nanti malam.

"Kamu ngekost di mana, sih? Aku boleh main kapan-kapan?" tanya Jean sembari membenarkan rambutnya.

"Deket sini, paling jalan 10 menit sampai," jawabku. Aku harus tidur kalau tidak nanti malam aku hanya kuat sampai jam 3 pagi.

Selama SMA aku ngekost, sebuah kost yang lumayan bebas dan murah. Hanya sepetak kamar dengan kasur yang kubeli sendiri dan lemari kain serta meja kecil untuk belajar. Murah sekali sebulan hanya dua ratus ribu rupiah. Aku kira mampu sekali menyewanya langsung setahun.

"Rumah kamu jauh, ya?" tanya Jean.

"Lumayan, memang mau belajar mandiri aku, kan nggak selamanya kita bergantung sama orang, kendati orang tua pun," jawabku masih dengan mata terpejam.

"Aku main boleh?" tanya Jean polos.

Aku tersenyum menggeleng. Ia pasti berfikir macam-macam nantinya. Aku tak mau menghancurkan citra yang sudah kubangun. Aku… tak ingin masa SMP ku terulang. Menyakitkan.

"Ini Naya, kan? Dari SMP Negeri 1 Pelosok?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiri kami.

"Ya?" tanyaku heran.

"Aku Budi, kita se SMP lho, cuma beda kelas aja," katanya tersenyum menggoda?

'Hah?!'

***

Dunia sempit kawan, apalagi duniaku. Aku sungguh menertawakan diri sendiri dengan segala kenaifan ini. Aku sudah berusaha mencari sekolah yang tak banyak dari teman SMP yang akan mendatangi. Kukira juga teman-teman SMPku tak banyak yang mengenalku. Mereka terlalu enggan bertemu apalagi jika hanya berpapasan, wajahnya langsung menatap kearah lain.

"Oh, maaf aku nggak inget," jawabku akhirnya dan langsung kembali meletakkan kepala.

"Boleh gabung?" tanya Budi langsung mengambil tempat di sebelah Jean dan berkutat pada bukunya. Mau tak mau menegakkan badan mengalihkan kantuk dengan bacaan yang makin membosankan.

"Nay, misal ada lowongan pemotretan kamu mau?" tanya Jean tak memperdulikan Budi.

"Pemotretan apa?" tanyaku tak tertarik.

"Kakakku punya usaha jasa foto, mau buat iklan," jawab Jean.

"Ceritanya aku diendorse?" tanyaku dengan nada canda.

"Lebih tepatnya model, sih?" jawabnya, "kamu lumayan cantik ljo, Nay," lanjutnya.

Tentu aku senang. Wanita mana yang tak suka pujian? Bahkan ibuku tak pernah memberi pujian terkait fisik. Memang siapa yang tak senang mendengar pujian? Selama ini jika bukan cemoohan yang aku dengar pasti segala umpatan yang membuatku makin menggemuruhkan tekad bahwa aku harus lebih dari mereka.

"Lihat nanti waktunya, Je," jawabku.

Aku harus pandai membagi waktu jika aku menerima tawaran. Meskipun ini tawaran yang pertama bagiku. Dan bisa jadi membuatku makin terkenal nantinya, ah, membayangkan saja aku sudah senang. Melihat mereka yang merubah segala sudut pandang yang pernah mereka tujukan padaku.

"Kau ada kegiatan apa emangnya? Setiap kali kita ke perpus kau tidur, Nay?" tanya Jean menghentikan kegiatannya membaca. Sungguh ia gila baca. Aku saja heran dengannya. Bacaannya juga bukan novel jika bukan ensiklopedia pasti kamus. Aku tak paham dengannya. Kami paling endiam di kelas. Dan kata mereka hanya kami berdua yang bisa saling memahami.

"Aku kerja malam, Je," kataku, "partime."

"Masih kerja kamu, Nay?" Budi menyela kami.

"Ya, Bud, aku sekolah bayar sendiri," jawabku.

"Masih dengan Rizal?" tanya Budi lagi.

"Ya?" aku tak paham.

"Yaudah, berarti sore bisa ya?" Jean menimbrung.

***

Aku dan Budi diam. Seringaiku hanya kutampakan samar pada Budi. Aku menang tanpa harus menjelaskan dan membuka aib pada teman yang baru setengah tahun kami kenal. No, aku harus benar-benar menjaga aib. Ini sekolah favorit dan ada organisasi rohani yang mungkin akan mengajakku atau berceramah setiap hari.

"Kayaknya bisa," jawabku akhirnya dengan senyum lebar mengembang. Merasa menang.

"Oke, nanti aku bilang kakak," jawab Jean juga dengan muka sumringah.

Budi menatapku tajam yang kubalas dengan pandangan mengejek tanpa sepengetahuan Jean tentu saja. Bel kembali berbunyi kami baru akan beranjak saat tangan Jean ditahan oleh Budi sambil menatapku tajam.

"Hati-hati kamu sama dia," katanya pada Jean dengan bisikan yang tentu aku dengar.

"Aku… selalu hati-hati dengan orang baru, santai saja, jika aku mau berteman berarti…" ia menatapku tersenyum. Aku bingung tentu saja, "aku percaya padanya."

Kembali kemenangan ada padaku. Jean merangkulku keluar dari perpustakaan dan tetap berjalan dengan merangkulku. Risih sebenarnya tapi aku merasa nyaman. Andai pertemanan ini tulus hingga nanti. Andai Jean akan tetap menjadi teman nantinya saat tahu aku yang sebenarnya.

Kami berjalan tanpa lagi menatap ke belakang. Namun tiba-tiba ponselku bergetar. Pasti Jean juga merasakannya tapi aku bertekad untuk tak menggubrisnya sampai pulang sekolah.

***

Ada 40 pemberitahuan panggilan masuk di ponselku setelah sampai di kost. Sepanjang jalan aku biarkan benda pipih itu bergetar. Aku terdiam melihat deretan nomor yang sama. Tak mungkin keluargaku karena mereka tak tahu aku punya ponsel. Atau mungkin Rizal dengan nomor baru? Segera aku menelepon kembali. Pasti Rizal.

"Nduk?" aku membeku. Suara ini aku kenal sekali. Bagaimana bisa?

"Siapa?" tanyaku memantabkan hati.

"Ini simbok, masih di sekolahkah?" tanya suara di seberang.

"Sudah pulang, mbok, baru saja," jawabku kemudian.

"Jadi benar ini kamu, Nay?" tanya mbok Nur.

Isakannya sudah sedikit terdengar. Lalu ia membuang napas kasar sembari istighfar dengan suara lirih namun masih bisa kudengar.

"Jadi benar kau sekolah sampai kost agar bisa tetap bekerja?" tanya Mbok Nur.

"Ya?" aku tak paham.

"Simbok tahu sejak lama, kembalilah pulang, Nay," katanya memohon.

In your dream! Tak akan. Aku akan tetap sesuai dengan rencanaku. Siapa sebenarnya yang memberi tahu mbok Nur? Apa bapak sudah tahu juga?

Malam ini lumayan ramai dan aku mendapat 4 jam penuh bookingan yang artinya hari ini sedang panen. Empat ratus ribu rupiah bukan uang sedikit. Ini dalam hanya 4 jam saja dengan servis plus.

Hari Minggu biasanya aku akan bangun lebih siang. Aku pulang biasanya sebulan sekali. Mengambil uang jajan jatah yang diberikan bapak atau ibu serta uang kost, setengahnya, dan tiga liter beras untukku makan. Bulan ini malas sekali rasanya jika akan pulang. Aku sudah punya pelanggan tiap tanggal-tanggal tertentu jadi jika pas tanggal pelanggan jatuh malam Minggu aku harus lembur hingga siang, di hotel tentunya.

Aku sudah tidak suci di usiaku yang 16 tahun. Aku melepasnya pada seorang om yang terlihat tampan dan mapan. Ia bahkan menjadi pelanggan tetap tiap tanggal 15, 20, dan 28. Dan tip yang dia berikan selalu cukup untuk membeli sebuah kendaraan.

Teleponku berbunyi, aku melihat layar ponsel. Tertera nama Frediyan, pelanggan yang baru saja aku kenalkan.

"Halo om," jawabku menempelkan ponsel ke telinga.

"Hai, sayang," jawabnya menggoda. Bahkan ia menggodaku saat bertelepon seperti ini.

"Jalan, yuk?" ajaknya.

"Nggak ah, aku mau pulang," jawabku memberi alasan.

"Pulang kemana?" tanya om Frediyan.

"Rumah," jawabku.

"Aku antar?" tawarnya.

"Nggak deh, malu, rumahku cuma gubug reyot dari bambu," jawabku apa adanya.

"Shareloc tempatmu saat ini, biar aku jemput."

"Tapi, om! Halo?"