1 Bagian 01 "Bertemu"

Mungkin sebagian orang akan menilai orang ketika melihat orang itu. Padahal, mereka tak tahu bagaimana sifat aslinya.

Hutna Eseby, gadis yang lebih akrab disapa Seby itu memiliki image yang jutek dan cenderung cuek. Tetapi bukan seperti itu aslinya. Seby adalah orang yang baik dan lembut ketika mengenalnya lebih dekat. Tetapi dia bukan orang yang gampang percaya dengan orang lain.

"Nanti kamu pulangnya nunggu kakak," ujar Miko, kakak laki-laki Seby.

"Oke!" Seby menyatukan ujung ibu jarinya dan telunjuknya, hingga membentuk huruf 'O'.

Miko tersenyum, laki-laki itu mulai berjalan mendahului Seby. Miko Hertano adalah kakak yang sangat menyayangi adiknya. Ia selalu mengkhawatirkan Seby disetiap aktivitas gadis itu. Hm... itu karena dirinya tak mau kehilangan adik kesayangannya. Sudah cukup dulu ia hampir kehilangan Seby untuk selamanya. Tetapi untungnya, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup bersama adiknya itu.

"Seby!" Panggil seorang gadis seumuran dengannya dari kejauhan.

Seby hanya tersenyum sembari melambaikan tangan kearah temannya yang bernama Yuna itu. Yuna membalas senyumnya, gadis itu sedikit berlari menghampiri Seby.

"Tumben agak pagi," ujar Yuna yang merasa Seby datang lebih awal darinya.

"Kak Miko ada kelas pagi," jelas Seby.

Yuna hanya mengangguk paham. Mereka berjalan berdampingan menuju kantin, sembari bercakap-cakap ringan.

"Eh, tahu nggak? Katanya ada anak baru loh Se,"

Seby tak perduli dengan ucapan Yuna. Gadis itu lebih memilih untuk mencari tempat duduk, dan memakan snack. Seby memang selalu begitu, dan Yuna hanya bisa mendengus. Gadis itu pun memutuskan untuk duduk disamping Seby.

"Se, kamu nggak tertarik apa sama omongan aku?" Yuna mencoba membuka topik pembicaraannya kembali.

Seby menggeleng pelan, "nggak" ujarnya santai.

Tetapi Yuna tetaplah Yuna. Gadis itu tetap ingin membahas topik yang ingin ia bicarakan. "Katanya hari ini ada anak baru Se,"

"Terus?" Seby tak perduli.

"Tapi dia cewek, jadi nggak bisa aku taksir deh,"

Sudah Seby duga! Ujung-ujungnya Yuna pasti seperti itu. Menyukai orang, tetapi perasaan itu hanya sementara. Berbeda dengan Seby yang sekali menyukai orang, maka rasa yang timbul itu akan sangat lama bertahan atau bahkan bisa selamanya. Bisa dikatakan jika Seby adalah gadis yang setia pada pasangannya. Tapi sayang, Seby belum pernah merasakannya. Ah! Atau ia belum menyadarinya? Entahlah.

"Se,"

"Hm?"

Yuna menyenggol lengan Seby dan membuat Seby menatapnya. "Apa sih?" Ujar Seby kesal. Yuna mengode Seby agar mengikuti arah pandangannya. Seby yang akhirnya peka pun mengikuti arah pandang Yuna.

"Ganteng kan Se?" Yuna tersenyum melihat empat orang yang baru saja memasuki kantin.

Seby merotasikan bola matanya dengan malas, seolah tak tertarik dengan apa yang Yuna lihat. Empat laki-laki sebaya dengan kedua gadis itu, dan cukup populer di Kampus ini. Tentu saja populer karena ketampanan mereka dan Seby pun mengakui hal tersebut. Tetapi tak seperti yang lain, gadis itu tampak tak tertarik untuk mendekati salah satu dari mereka. Sebut saja Jeffrey, Marteen, Bima dan Jeka.

"Se?" Yuna kembali menyenggol lengan Seby dan membuat Seby langsung mengikuti arah pandang Yuna.

"Si Jeff senyum ke kita Se," ujar Yuna pelan, tetapi terkesan antusias.

Ya, Seby merasakannya. Salah satu dari keempat orang yang sudah disebut oleh Yuna itu tersenyum. Jeffrey Galih Aditya, biasa dipanggil Jeffrey atau lebih singkat lagi dipanggil Jeff. Tetapi Seby tetaplah Seby. Gadis itu tak percaya jika Jeffrey sedang tersenyum kearah mereka.

"Nggak usah ge-er lah Yun," ujar Seby.

Yuna mendengus. Ia tahu, Seby memang selalu seperti itu.

"Boleh ikut duduk?" Ujar Bima yang entah sejak kapan sudah berada didepan mereka dengan ketiga laki-laki tadi di belakangnya.

Seby dan Yuna saling pandang sebentar, sebelum akhirnya Yuna menyetujui dan membuat Seby malas akan hal itu.

"Boleh kenalan gak?" Jeffrey mengulurkan tangannya.

Dengan gerakan cepat Yuna langsung membalasnya. "Yuna," ujarnya tersenyum, kemudian ia melepaskan dan Jeffrey pun beralih pada Seby.

"Seby," ujar Seby tanpa membalas uluran tangan Jeffrey.

Jeffrey hanya mengulum senyum dan menarik kembali uluran tangannya. Bima dan Marteen yang melihat itu hanya bisa menahan senyum. Keduanya tahu jika Jeffrey tertarik pada Seby. Tetapi dari yang mereka lihat tadi, sepertinya Seby sama sekali tak berminat pada Jeffrey. Bima pernah mengalami hal serupa, ia pun menepuk pelan bahu Jeffrey. Sedangkan diantara mereka, ada Jeka yang sibuk dengan ponselnya. Laki-laki itu duduk disebelah Seby, dan membuat Seby kadang tak sengaja meliriknya.

Seby melihat jika Jeka sedang mengetikkan sebuah pesan di ponselnya. Meski Seby tak tahu jelas tentang apa yang Jeka ketik, tetapi gadis itu melihat nama orang yang dituju. Ternyata Jeka mengirim pesan pada ibunya.

"Duluan ya, ada kelas" ujar Jeka yang langsung bangkit dari duduknya. Meskipun keempat laki-laki itu adalah teman akrab, tetapi mereka beda jurusan. Berbeda dengan Seby dan Yuna yang satu jurusan. Jeka tersenyum sekilas, lalu mulai melangkah pergi. Yang lain hanya memandang kepergiannya, termasuk Seby. Gadis itu memandang ponsel yang Jeka genggam. Tetapi pandangannya malah terkunci pada gelang yang Jeka pakai.

Tunggu! Kenapa saat melihat gelang itu, mendadak kepala Seby menjadi pusing? Bayangan-bayangan hitam tiba-tiba bermunculan dikepalanya. Refleks, Seby memegangi kepalanya sembari menunduk.

"Se, kamu kenapa?" Tanya Yuna yang melihat Seby seperti kesakitan.

Seby hanya diam sambil terus menunduk dan memegangi kepalanya. Gadis itu juga memejamkan mata dan perlahan, bayang-bayang itu mulai hilang diikuti rasa pusing yang mereda.

"Kamu sakit?" Tanya Jeffrey yang ikut khawatir.

Seby menggeleng. "Udah gapapa kok,"

"Yakin Se?" Yuna menatap khawatir teman baikknya itu.

Seby mengangguk dan menepuk bahu Yuna. Seolah ia mengatakan pada temannya itu jika ia sedang baik-baik saja. Yuna hanya menatap Seby yang kini sudah berdiri. "Duluan ya," ujar Seby, kemudian mulai melangkah pergi. Terpaksa, Yuna pun mengikuti Seby meskipun ia masih ingin bercakap dengan tiga laki-laki tadi.

***

"Jeka," ujar Jeka menjabat tangan seorang gadis yang baru saja menjadi mahasiswa baru disini. Gadis itu tersenyum, tampak imut dan manis diwaktu bersamaan dan Jeka mengakuinya.

"Jeka? Kayak nama temen masa kecil aku dulu deh," Gadis itu bergumam, tetapi Jeka dapat mendengarnya.

Tak terasa, waktu sudah berlalu dan kini waktunya untuk mereka pulang. Jeka keluar kelas, dan tak sengaja bertemu pandangan dengan Seby. Mereka saling bertatapan, meskipun dalam jarak yang tak dekat.

"Jeka!" Seorang gadis menghampirinya dan membuat pandangan Jeka terputus.

"Ini punya kamu bukan?" Gadis itu menunjukkan pulpen bermotif kelinci yang dipegangnya.

"Ah... iya, makasih Una," ujar Jeka. Gadis yang dipanggil Una itu hanya tersenyum menanggapinya. Jeka kembali menatap kearah dimana Seby berada tadi. Tetapi ia tak menemukan gadis itu disana. Ia pun berfikir mungkin gadis itu sudah pulang.

"Lihatin apa si Je?" Ternyata Una belum pergi, dan membuat Jeka kini menatap gadis imut itu kembali.

"Nggak, kamu nggak pulang?" Tanya Jeka.

Una tersenyum dan menggeleng. "Ada yang pengen Una omongin sama Jeka,"

Mendengar hal itu, Jeka terdiam dan menatap Una seolah bertanya apa yang ingin gadis itu bicarakan dengannya.

"Tadi kan Una kenalan sama Jeka, terus... Una inget sesuatu. Boleh kan Una ngobrol sama Jeka? Siapa tahu pikiran Una benar," ujar Una hati-hati.

Jeka yang tak mau memusingkan hal tersebut pun mengiyakan ajakan Una untuk berbicara dengannya. Hal itu membuat Una tersenyum dan mengajak Jeka untuk pergi ke kafe yang dekat dengan Kampus mereka.

"Mau pesan apa?" Tawar Una.

"Minum aja, samain sama kamu" ujar Jeka yang sedang malas memilih menu.

Una memesan minum, dan tak lama kemudian minuman yang ia pesan diantar ke meja mereka.

"Apa yang mau kamu omongin?" Tanya Jeka.

"Tentang Jeka dan kelinci," Una tersenyum.

Jeka hanya memandang Una dengan bingung. Ada apa dengan namanya dan kelinci? Apa gadis didepannya ini sedang ingin tahu tentang dirinya? Jika iya, maka Jeka tak bisa menjelaskannya. Karena ia sendiri pun tak tahu kenapa dengan dirinya dan juga kesukaannya pada benda bercorak kelinci. Padahal Jeka sendiri takut pada kelinci yang asli.

"Kenapa sama namaku dan kelinci?" Tanya Jeka.

Una tersenyum, menatap langit-langit kafe sebentar, kemudian menatap Jeka. "Nama kamu Jonathan Jekadira bukan?"

Jeka mengangguk. "Dari mana kamu tahu?"

Una hanya tersenyum lagi. "Kamu paling suka sama kelinci, padahal kamu takut sama kelinci hidup," ujar Una dan membuat Jeka mengerjap tak percaya. Apakah Jeka sedang berhadapan dengan seorang peramal sekarang?

"Akhirnya, kita bertemu kembali Jeje!" Ujar Una dengan rasa senang. Sedangkan Jeka masih bingung dan semakin bingung ketika nama panggilan masa kecilnya diucapkan oleh gadis di depannya ini.

....to be continue

avataravatar