1 Kadal Raksasa

Tidak ada yang tahu kenapa seorang Zhaoyang Hong harus begitu setia pada istrinya yang telah pergi selama enam bulan itu. Orang-orang telah banyak berkata, bahwa seharusnya, Zhaoyang Hong —dengan wajah tampannya—memiliki lagi seorang istri. Atau jika pun dia menginginkan lebih banyak, dia bisa mendapatkannya dengan mudah. Sayangnya, pemuda dua puluh dua tahun itu justru berkata dia hanya ingin memiliki satu istri —Xia Wei. Sampai kapanpun. Bahkan jika dia bereinkarnasi di kehidupan selanjutnya, maka dia akan meminta kepada Tuhan untuk menyatukannya kembali dengan seseorang dengan jiwa Xia Wei didalamnya.

Paman Hong yang mulai jengkel berkata, "Jika kau tidak mau menikah lagi. Maka setidaknya bekerjalah menjadi lelaki bayaran. Dengan begitu, kau bisa mendapatkan banyak uang. Pergilah dari sini dan lakukan perjalanan mencari istrimu sampai mati."

"Aku tidak akan berhubungan dengan siapapun selain Xia Wei. Kau tahu benar, Paman Hong."

Keras kepalanya bahkan mampu mengalahkan batu. Paman Hong menggelengkan kepala. Badai besar seolah menghantam dadanya kuat-kuat. Sepertinya dia harus pergi ke dukun terdekat untuk mengeluarkan mantra sialan yang digunakan Xia Wei.

"Terserah kau berkata apa. Ini terakhir kali aku menawarkan jasa perjodohan untukmu. Lain waktu, jika kau merengek untuk mendapatkan istri karena depresi, aku tidak akan membantumu. Kau dengar?"

Zhaoyang mengangguk, tersenyum tipis dan berkata, "Aku akan mengingatnya."

"Kau sudah memanen semuanya?" tanya Paman Hong.

"Kurasa begitu. Ada hal lain yang harus aku kerjakan?"

Paman Hong menggeleng. "Aku akan mengantarkan upahmu setelah  menjual semua sayuran ini. Kau bisa pulang sekarang. Sebelum itu, bisakah kau mengantarkan buah apel ini untuk bibimu yang sedang mengandung itu. Dia lebih suka mengamuk akhir-akhir ini, dan akan luluh dengan buah kesukaannya. Apalagi kau yang memberinya."

Zhaoyang menerima dua buah apel dari tangan Paman Hong dengan wajah bertanya.

Seolah peka, Paman Hong menjelaskan, "Dia bilang, jika melihatmu secara terus menerus, itu akan membuat keponakanmu memiliki wajah yang tampan sepertimu."

Pemuda yang dipuji itu tersipu malu, tapi sebisa mungkin menahan reaksi wajahnya dan bergegas pergi.

Sebenarnya kau dimana, Xia Wei? 

Rasa rindunya tiba-tiba hadir. Mengoyak hatinya dengan sadis. Perasaan ini bahkan lebih parah daripada percobaannya untuk tidak makan apapun selama tiga hari.

Dimana gadis kecilnya? Dimana sosok penguat jiwanya? Zhaoyang menjadi cemas. Jika saja Xia Wei ada disini, bersamanya, dia pasti sedang mengandung buah hati mereka.

Seperti Paman Hong, Zhaoyang juga ingin bisa melihat perut istri yang ia kasihi membesar. Menyembunyikan sebuah kehidupan kecil. Memberi reaksi menggemaskan saat dia mengelus perut itu. Tapi ... Kemana Zhaoyang harus pergi untuk bisa mendapatkannya?

Xia Wei. Gadis manis dengan tubuh mungil itu telah pergi. Entah kemana. Dengan siapa. Tidak ada yang tahu. Bahkan Zhaoyang sebagai suami pun tidak bisa mengeluarkan suara saat orang-orang bertanya.

Ada satu hari yang bahkan sampai mati pun, Zhaoyang tidak akan pernah melupakannya. Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada satu pun hal aneh pada Xia Wei. Saat malam tiba, Zhaoyang Hong masih memeluk tubuh itu. Mendekapnya dalam. Menikmati kehangatan dari seseorang yang ia cintai.

Namun, di pagi harinya, Xia Wei telah menghilang tanpa jejak. Tak seorang pun melihatnya. Pencarian dilakukan selama beberapa minggu. Nihil. Tidak ada satupun petunjuk yang di dapat. Semua orang menyerah, kecuali Zhaoyang Hong. Dia yakin Xia Wei tidak akan pergi begitu saja. Dia tahu persis bagaimana Xia Wei.

Faktanya, mereka berdua adalah sahabat sejak kecil. Saat kedua orang tua Zhaoyang meninggal karena kebakaran, Xia Wei memberi satu buah stroberi untuk menghiburnya. Gadis polos itu berhasil membuat Zhaoyang kembali tersenyum. Sampai akhirnya dia berjanji untuk menjaga Xia Wei selamanya. Setidaknya sebelum tragedi itu terjadi.

Meskipun ingin pergi untuk mencari keberadaan Xia Wei, Zhaoyang mati-matian menahan diri. Sebelum pergi, dia ingin membantu Paman dan bibinya lebih dulu. Mereka adalah orang tua pengganti bagi Zhaoyang. Maka dari itu, Zhaoyang akan tetap disini. Setidaknya dia ingin sedikit berguna. Upah yang dia dapatkan dari Paman Hong, dikumpulkannya ke dalam tiga wadah. Wadah pertama adalah tabungan untuk perjalanannya nanti. Wadah kedua akan dia gunakan untuk hadiah saat Bibi Hong melahirkan. Dan wadah ketiga, digunakan untuk kebutuhannya.

Meskipun panen tidak dilakukan setiap hari, Paman Hong selalu memberinya sedikit makanan agar Zhaoyang tidak kelaparan.

Sesampainya di depan pintu, Zhaoyang memutar kepalanya ke segala arah. Setiap sore, biasanya Bibi Hong pasti berada di luar. Menikmati suasana di atas sebuah batu besar di dekat pohon. Tapi hari ini, tak nampak Bibi Hong disekitar rumah. Entah Zhaoyang yang tak sadar, atau memang Bibi Hong memang tidak ada sedari tadi.

Mungkinkah Bibi Hong tidur? Biasanya, wanita hamil lebih sering tidur dibanding wanita biasa.

Zhaoyang berpikir sesaat. Dimana dia harus menyimpan apel yang diberikan pamannya?

Menyimpannya di atas meja mungkin bukan pilihan buruk. Jadi, dengan gerakan perlahan Zhaoyang membukakan pintu. Begitu hati-hati kalau saja Bibi Hong benar sedang beristirahat.

Saat pintu terbuka, Zhaoyang berubah menjadi patung. Jiwanya seolah hilang. Meninggalkan raga yang kini kesulitan untuk bernafas.

"Bibi ... Hong ..." Apel ditangannya terjatuh. Memantul pada lantai berbahan kayu itu.

Lari, Zhaoyang!

Sial. Bahkan kakinya seolah enggan untuk bergerak. Tenggorokannya tercekat hebat. Nafasnya benar-benar berantakan.

Makhluk besar seperti kadal, tetapi memiliki tangan layaknya manusia itu tengah memasukkan kepala Bibi Hong ke dalam mulutnya. Mata hijaunya mengerling ke arah Zhaoyang. Kemudian, dia mengeluarkan kembali kepala Bibi Hong. Wajahnya rusak parah. Hanya terlihat seperti gumpalan darah dan tulang.

Zhaoyang Hong ingin berteriak sekeras mungkin, tapi bahkan pita suaranya pun kehilangan keberanian.

"Ada tamu rupanya. Selamat datang, Tampan."

Makhluk itu menyeringai. Cairan hijau menetes dari sela-sela gigi panjang nan runcingnya.

Zhaoyang membalikkan tubuhnya. Hendak berlari dan meminta pertolongan. Sayangnya, ekor mahluk  yang terlampau panjang itu lebih dulu melilit salah satu kaki Zhaoyang Hong. Mengangkat tubuh pemuda itu dengan mudah lalu membatingkannya ke lantai.

"Kau baru saja datang. Kenapa harus cepat-cepat pergi?"

Belum sempat Zhaoyang merasakan rasa sakitnya dengan baik, ekor mahkluk itu kembali mengangkat tubuhnya. Mengantarkan Zhaoyang Hong ke hadapan makhluk menjijikkan yang telah membunuh bibinya.

"Aku merasa tidak asing. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Zhaoyang memejamkan matanya kuat-kuat.

"Cih. Hanya pemuda sombong rupanya. Kau bahkan tidak mau melihatku." Makhluk itu menggerakkan ekornya ke atas. Lalu kembali menjatuhkan tubuh Zhaoyang.

Tulang rusuk pemuda itu terasa patah. Nafasnya tersengal hebat. Darah seolah naik ke tenggorokannya. Membuatnya tersedak. Mata Zhaoyang bergulir pada tubuh Bibi Hong. Wanita pengganti ibunya itu terkulai di lantai begitu saja. Air memenuhi mata Zhaoyang. Namun, sebuah pergerakan kecil membuat ketakutan Zhaoyang agak berkurang. Jari-jari Bibi Hong masih bergerak. Meskipun lemah. Mungkin, jika Zhaoyang bisa membawa Bibi Hong keluar, dia akan selamat.

Tapi ... Bagaimana caranya?

Mata hijau kadal besar itu berhasil memerhatikan gerakan kecil bibi Hong. Tangannya mencengkram kepala wanita itu. Mulut makhluk itu terbuka lebar. Seolah menghisap sesuatu.

Kedua mata Zhaoyang hampir keluar. Sesuatu berwarna putih, seperti asap. Keluar dari dalam tubuh Bibi Hong. Itu bukan asap biasa! Tapi jiwa bibi Hong. Makhluk itu pemakan jiwa.

Zhaoyang berteriak. Tak peduli meskipun tenggorokannya terasa dipenuhi duri.

"Bibi Hong!"

avataravatar