2 PINDAH RUMAH

Di meja makan, seluruh keluarga sudah berkumpul. Para sepupu Galang yang sering menginap di rumah tersebut pun masih berada di sana. Papa dan mama Galang juga sudah duduk dengan rapi di meja makan. Hanin segera berjalan ke arah meja makan, salah satu sepupu Galang yang sering menginap di sana langsung berdiri. .

"Silakan kakak ipar," ucapnya sembari menarik kursi. Hal tersebut membuat semua orang yang ada di sana bersorak. Bagaimana tidak Yusuf, sepupu Galang, memang selalu ada saja bertingkah manis pada semua orang baru.

"Modus sih Yusuf," teriak Ibran. .

"Apaan sih lo," jawabnya. Anita dan Anggoro kedua orang tua Galang hanya geleng-geleng kepala melihat kedua keponakannya yang selalu saja jahil dengan semua orang. Bahkan mereka berdua juga tidak luput, dari sikap jahil keduanya.

"Udah jangan gitu Suf, nanti kak Hanin nya jadi takut sama kamu."

"Lah emang aku apaan tante, dugong sampai-sampai takut."

"Bukan dugong. Tapi buaya," sahut Ibran.

"Asem lo."

Semua orang disana tertawa melihat Ibran dan Yusuf yang selalu berargumen tanpa henti. Mereka tak menyadari jika Galang berjalan ke arah meja makan, tatapan yang diberikan oleh Galang benar-benar dingin, aura pria itu membuat Hanin, begitu takut menatap suaminya.

"Loh udah turun kamu Sayang?" tanya Anita. Galang hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Anita yang ingin, menyiapkan makanan untuk sang anak, segera dihalangi oleh suaminya. Anggoro berkata supaya Hanin saja yang melayani suaminya. Dengan tangan yang bergetar, Hanin segera mengambil nasi dan beberapa lauk di atas piring suaminya. Tatapan yang ditampilkan oleh Galang semakin membuat Hanin takut.

Selama proses makan bersama, hanya suara dentingan sendok yang terdengar, di rumah ini sudah memiliki aturan yang harus ditaati oleh semua nya, ketika makan tidak ada yang boleh bersuara atau berisik. Anggoro begitu disiplin dalam segala hal, dan itu juga yang sering membuat Galang kesal dengan semua aturan yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

Setelah selesai sarapan bersama Galang meminta semuanya tetap berada di meja makan. Pria itu ingin menyampaikan sesuatu. Hanin hanya bisa diam, wanita itu merasa tidak nyaman dengan anda bicara Galang yang begitu dingin saat berbicara dengan kedua orang tuanya.

"Ma Pa. Hari ini kami mau pindah ke rumah baru."

"Kenapa mendadak Sayang? Kalian itu baru menikah, kenapa sudah langsung pindah?" tanya Anita kaget. Wanita itu tidak menyukai, kalimat yang baru saja didengarnya.

"Pernikahan aku saja bisa kalian buat mendadak. Kenapa pindah rumah gak bisa."

"Galang!!" pekik Anggoro. Terlihat jelas dari tatapan matanya yang begitu tajam, bahwa saat ini Anggoro begitu marah dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh anaknya.

"Pokoknya aku dan dia akan pindah dari rumah. Terserah Papa dan Mama mau mengizinkan aku atau tidak. Sudah cukup kalian ikut campur dalam urusan aku," jawab Galang. Setelah mengatakan hal itu, Galang segera beranjak dan berjalan ke lantai atas. Pria itu, pergi menuju ke dalam kamarnya, sedangkan di meja makan semuanya terdiam. Ibran dan Yusuf yang biasanya selalu bisa mencairkan suasana tapi kali ini tidak, mereka jadi ikut terdiam.

"Ma! Maafkan perkataan mas Galang. Hanin yakin, bahwa mas Galang tidak bermaksud berkata seperti itu," ucap Hanin. wanita itu tidak tega melihat air mata yang mengalir di sudut mata sang mertua.

"Tidak nak. Bukan kamu yang salah, memang anak itu tidak bisa mengontrol ucapannya." Anggoro selalu sabar menghadapi anak laki-lakinya itu, meskipun tingkah laku Galang selalu saja membuatnya naik darah.

"Hanin pamit naik ke atas ya Pa dan Ma. Menyusul Mas Galang," ucap Hanin. Keduanya menganggukkan kepalanya. Pandangan mata kedua pasangan suami istri itu, saling menatap ke arah punggung Hanin. "Mama bahagia memiliki menantu seperti Hanin, Pa," ujar Anita.

Di dalam kamar, Hanin melihat bahwa saat ini, suaminya sedang duduk di sofa dengan tatapan yang begitu datar dan menyeramkan. Hanin lalu berjalan dan mendekati sang suami, dirinya duduk di samping Galang.

"Mas kamu tidak seharusnya berbicara seperti itu, Mama dan Papa itu orang tua kamu," ucap Hanin. Galang menoleh ke arah Hanin dengan tatapan yang sangat tidak suka akan ucapan Hanin barusan. "Kamu bukan, siapa-siapa saya. Jadi jangan pernah ikut campur dengan apa yang saya lakukan." Perkataan yang baru dilontarkan oleh Galang, membuat dada Hanin seperti dihantam dengan begitu keras.

"Aku istri kamu Mas," jawab Hanin dengan lantang .

"Hanya sebatas Istri diatas kertas. Kamu harus ingat itu, kamu juga tidak berhak untuk mencampuri semua urusan aku" bentak Galang. Setelah mengatakan hal itu, Galang lalu pergi meninggalkan Hanin seorang diri namun, saat akan keluar dari dalam kamar Galang menoleh kembali ke arah belakang. "Jangan bertingkah seolah seorang istri sungguhan, karena pernikahan ini hanya pernikahan konyol dan abu-abu bagi saya."

Hanin menatap nanar ke arah suaminya, tanpa Hanin sadari jika air matanya kembali menetes.

"Aku istri kamu Mas, dan aku berhak atas kamu. Aku akan berusaha mempertahankan hubungan ini," ucap Hanin di sela-sela air matanya yang masih mengalir.

Seseorang yang akan masuk ke dalam kamar tersebut mengurungkan niatnya, dirinya mendengar semua pertengkaran antara Hanin dan Galang. Bahkan pria itu mengepalkan kedua tangannya, akibat kesal dengan ucapan yang baru saja dirinya dengar dari mulut Galang.

"Kak Hanin akan bahagia, gue yakin kalau suatu saat nanti bang Galang akan kembali sama kak Hanin," gumam Ibran.

***

Galang tetap dengan keputusannya, keduanya sudah berada di dalam mobil untuk pergi ke rumah yang katanya sudah sangat lama disiapkan oleh Galang ketika dirinya akan menikah nanti. Lebih tepatnya menikah dengan orang yang dicintai nya. Sejak awal mereka berdua berangkat, tidak ada pembicaraan yang dilakukan hanya ada kesunyian di dalam sana. Suara mesin mobil yang menghiasi keduanya. Sesekali Hanin melirik ke arah sang suami yang terlihat begitu fokus dengan jalanan yang ada di depan mereka.

Apalagi raut wajah Galang terlihat sangat tidak bersahabat, Galang seolah menahan kekesalan yang akan siap meledak jika sesuatu terjadi. Hingga hal itu membuat Hanin hanya bisa diam dan kembali menatap ke arah jendela.

"Semoga aku bisa merubah sikap kamu, Mas!" gumam Hanin di dalam hati.

Dua puluh lima menit berlalu, mobil yang dikendarai oleh Galang sudah sampai di sebuah rumah yang begitu mewah. Desainnya sangat rapi dan sederhana tapi terlihat sangat mewah. Galang lebih dulu turun dari dalam mobil. Pria itu lalu mengetuk kaca pintu di mana Hanin berada.

"Masih mau berada di dalam sini hah? Tidak ada niat untuk keluar?" Pertanyaan yang diberikan oleh Galang, membuat Hanin segera keluar. Setelah itu Galang masuk ke dalam rumah, jangan berharap bahwa Galang akan menjadi para suami yang akan membantu istri untuk membawakan koper-koper.

Karena hal itu, tidak akan mungkin terjadi, Galang masuk seolah tidak memiliki beban dan hidupnya, sedangkan Hanin berusaha untuk menurunkan semua barang-barang miliknya, dengan begitu susah payah.

"Sabar Hanin, semua akan baik-baik saja. Kamu harus bersabar, Mas Galang pasti akan berubah."

Hanin segera membawa koper miliknya untuk di bawah masuk ke dalam rumah, dan benar saja apa yang dilihat olehnya pertama kali, bahwa rumah yang terlihat begitu sederhana namun, begitu mewah.

"Mau kemana Mas?" tanya Hanin. Wanita itu bingung, saat melihat Galang yang akan pergi lagi dari rumah.

Galang tidak menjawab pria itu, segera meninggalkan rumah tanpa peduli dengan apa yang ditanyakan oleh istrinya. Melihat sikap Galang, membuat Hanin hanya bisa sabar.

Hanin membawa, kopernya ke dalam kamar yang ada di lantai atas. Wanita itu segera membereskan pakaiannya namun, ketika membuka lemari sudah ada banyak pakaian wanita di dalam sana.

"Apakah Mas Galang sudah menyiapkan semuanya?" tanya Hanin dengan senyum yang begitu mengembang. Hanin begitu senang namun, kesenangannya itu hanya sementara ketika tanpa sengaja dirinya melihat sebuah bingkai foto di dalam lemari.

Foto seorang wanita dan pria yang sangat mesra, saling memeluk satu dengan lainnya.

"Hubungan macam apa yang kalian miliki," gumam Hanin.

###

avataravatar
Next chapter