41 41. A Cold night

Hawa dingin kuat merambah masuk dan mulai menusuk tulang belulang siapapun yang tak kunjung merapatkan mantel tebal yang ia kenakan. Luna masih berusaha dengan sekuat tenaga untuk membopong tubuh pria kekar di dalam rangkulannya itu. Separuh sadar sudah kembali selepas Luna menepuk-nepuk pundak pria bertubuh kekar di sisinya. Mengajaknya keluar dari bangunan kedai untuk segera pulang ke rumah. Ia tak menyangka, pria sekekar ini tergolong begitu payah dalam hal mengonsumsi alkohol.

Gadis itu kini menghembuskan napasnya kasar. Mulai pandangannya menyisir setiap bagian tempat yang ada di sekitarnya. Mencoba mencari taksi yang berhenti di sisi jalanan untuk menjemput penumpang yang datang. Ia menemukannya! Sebuah taksi dengan supir yang sedang berada di luar. Pria tua bertubuh kerempeng itu bak seorang yang sedang mencari sesuatu sekarang ini. Tatap matanya tak fokus dengan sesekali mengembuskan napasnya sembari melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya.

Luna menghampiri. Masih dengan langkah yang tergopoh-gopoh sebab beban di pundaknya benar-benar berat sekarang ini. Tubuh Tuan Ge berlipat-lipat lebih besar dan lebih tinggi darinya. Tubuh mungil nan jenjang miliknya mungkin hanya separuh kurang dari tubuh kekar milik pria berjas biru tua itu.

"Excuse me, can you help me?" Gadis itu menyela. Tersenyum kaku sembari menahan beban yang kian berat kala Tuan Ge mulai menggelayuti dirinya. Sungguh, Luna berharap kalau pria satu ini segera sadar sepenuhnya. Ia tak akan pernah mempersalahkan jikalau Tuan Ge marah padanya nanti. Luna akan mengikhlaskannya. Hal yang paling ia inginkan sekarang ini adalah Tuan Ge segera sadar.

"Tentu." Pria tua itu kini memindahkan fokus matanya untuk menatap Tuan Ge. Menelisik pria yang menundukkan wajahnya sebab keadaan tak memungkinkan untuk ikut berbicara.

"Suamimu mabuk?" tanyanya menyusul. Luna segera menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tak tahu arti berumah tangga, bagaimana bisa pria tua di depannya itu menyambut dirinya dengan kalimat itu?

"Dia bosku. Dia sedang mabuk berat. Bisa 'kah kau menghantarnya sampai ke rumah?" Luna menimpali. Napasnya sedikit terengah-engah. Sesekali ia melirik Tuan Ge yang hanya mengerang ringan sembari menghembuskan napasnya kasar. Kedua pipinya memerah. Hawa dingin benar-benar membuat tubuh pria itu membeku.

"Masuklah. Bawa pacarmu—"

"Dia bosku," sela Luna kembali bersuara. Nada bicaranya sedikit dingin. Pria tua ini tak juga kunjung mengerti dengan apa yang dikatakan olehnya. Tuan Ge Hansen Joost adalah bosnya!

"Baik-baik. Maafkan aku," ucapnya tertawa kecil. Segera ia membukakan pintu untuk Luna. Memberi celah bagi gadis itu agar bisa memasukkan tubuh kekar pria berjas biru tua itu masuk ke dalam taksi.

Luna kini menghela napasnya kasar. Menatap Tuan Ge yang mulai memejamkan matanya. Tubuhnya lemas. Seakan tempat duduk sudah meleburkan segalanya. Hanya bersisa rasa mabuk yang menguasai tubuhnya dan menghilangkan kesadaran pria itu.

"Di mana alamat rumahnya?" tanya si supir pada gadis yang baru saja ingin menutup pintu taksi. Luna menghentikan aktivitas kecilnya. Sejenak ditatapnya si lawan bicara yang cukup lama menunggunya dalam diam. Luna tak bisa menjawab apapun. Bukannya tak mau, memang dirinya tak bisa. Ia tak tahu di mana kediaman Tuan Ge sekarang ini.

--bodoh!

Ia kini mulai meramalkan kalimat sumpah serapah. Kembali melirik Tuan Ge yang ads di dalam taksi. Luna bukan gadis yang kejam. Ia tak bisa meninggalkan Tuan Ge begitu saja. Menanyai perihal alamat rumah pada orang yang sedang mabuk berat pun tak akan ada gunanya. Jika Luna menghantarkan Tuan Ge ke bangunan Ge Sketchbook Company, maka sepi sebab larut sudah tiba. Luna kembali menghela napasnya. "Antarkan kita ke rumahku," pungkasnya menutup kalimat.

•••Imperfect Ceo•••

Suara bel ditekan. Nyaring bunyinya menyentak penghuni rumah untuk segera datang dan membukakan pintunya. Seorang pria bertubuh kekar dengan kemeja biru tua yang selalu ia jaga rapi meksipun lelah seharian beraktivitas. Hari ini rencana tak berjalan dengan sempurna. Ia tak jadi berkunjung dan menginap di rumah sakit tempat neneknya dirawat. Alasan yang baik untuk itu adalah sebab besok, dirinya harus segera menghadap bos besar tempatnya bekerja magang. Ada panggilan khusus. Dalam panggilan itu mengabarkan bahwa ia harus mempercepat waktu magangnya. Bukan dua hari lagi, namun besok pagi!

"D--damian??!" Gadis muda menyapanya dengan aneh. Melirik tas besar yang ada di dalam genggaman tangan kanannya. Pria itu tak berkutik sedikitpun. Hanya diam sembari terus menatapnya sayu.

"Ku kira kau datang ke rumah sakit nenek dan menginap di sana?" tanyanya kembali menyusul. Damian mengabaikan. Berjalan masuk ke dalam rumah kemudian kasar melepas kedua sepatunya. Ia melemparnya asal. Seakan-akan ada yang sesak di dalam hatinya sekarang ini. Raut wajah Damian Edaurus juga tak bersahabat. Jika itu sebab gagalnya ia menginap di rumah sakit sang nenek dirawat, maka terlalu berlebihan. Damian hanya merasa tak enak telah mengecewakan hati manusia tua yang amat ia cintai itu. Selebihnya tak ada!

"Kau terlihat sedang marah. Ada sesuatu yang sedang terjadi?" Ia kembali berucap. Kini matanya mulai menyapu setiap inci perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh sang kakak. Damian tak pernah pulang dalam keadaan begini. Ia pandai menjaga hatinya tetap dalam keadaan baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak. Ia adalah pria yang pandai memakai topeng untuk menyembunyikan segala sesak dan penat yang ia rasakan. Bukan seperti malam ini, Damian terlihat menatap keadaan dengan penuh amarah.

"Aku lelah. Aku ingin beristirahat." Ia berucap selepas sukses melempar asal sepasang sepatu kets yang dikenakannya malam ini. Mengusap puncak kepala gadis yang hanya setinggi dadanya saja.

Mira tak akan melepas sang kakak begitu saja. Damian selalu ada kala ia membutuhkan bala bantuan. Mendengar segala keluh kesahnya perihal kehidupan yang terlalu bising dan membosankan. Mira ingin membalasnya. Meksipun tak bisa serupa dengan apa yang diberikan Damian untuk dirinya, namun setidaknya ia akan berusaha membuat pemungkas hari yang bahagia untuk sang kakak.

"Masalah perempuan?" Mira menyela. Menarik ujung lengan kemeja sang kakak yang digulung rapi seperempatnya.

Damian menoleh. "Sudah malam tidurlah."

"Wanita yang ada di dalam foto itu?" tanya Mira kembali mengimbuhkan. Sudah dikatakan bahwa Mira tak akan melepas sang kakak begitu saja. Harus ada kejelasan arti dari tatap penuh amarah yang menggebu-gebu itu.

"Dia selingkuh atau dia menolak perasaanmu?"

Damian kini menghela napasnya kasar. Meletakkan tas jinjing yang terasa begitu berat untuk kelima jari jemari panjangnya itu. Arah sorot lensa tajamnya kini tepat ia tujukan untuk Mira. Gadis baik nan polos yang kini tersenyum aneh sembari mengedipkan matanya sesekali.

"Tidurlah. Ini sudah malam," ucapnya.

Mira berdecak. Merengek manja untuk mengekspresikan kekesalannya kali ini. Damian benar-benar pria yang teguh dalam pendiriannya.

... To be Continued ...

avataravatar
Next chapter