webnovel

Gula, Susu, Krimer

N : Kenapa kamu nggak suka kopi

I : Kopi pahit

***

Aku menyeruput segelas teh hangat yang baru saja tersaji di atas meja sambil menatap tajam pada pria di sampingku yang dengan santainya melahap sepiring nasi dgn lauk tempe orek dan telor dadar.

"Jadi ini bantuan yang Bapak maksud? Minta ditemani makan siang di warteg?" tanyaku dengan penegasan.

"Bukan." Ia menggeleng singkat.

"Tunggu saya selesai makan. Kamu juga, habiskan dulu makanan kamu itu." Pak Neo menunjuk hidanganku dengan dagunya. Tangan kanannya kembali menyendok.

Aku mengipas kegerahan di wajah dengan tangan kiriku yang melambai. Satu persatu bulir peluh menetes dari sisi-sisi wajahku. Udara hari ini panas sekali. Belum lagi ditemani oleh bising ramai klakson angkutan yang tengah lalu-lalang. Hiruk-pikuk yang cukup membuatku bernapas gerah.

Susah payah aku berusaha menggerakkan tangan kananku untuk mengangkat sendok. Nyeri luka bakar di punggung tanganku masih berdenyut kencang. Sedikit menyulitkanku untuk melahap makanan. Namun karena tatapan Pak Neo sedang terfokus pada punggung tanganku, aku berusaha menahan nyerinya lalu berhasil menyuap nasi ke dalam mulutku.

"Gimana rasanya?" Pak Neo menanyakan pendapatku setelah ia meletakkan sendok di atas piringnya yang sudah kosong. Cepat sekali ia makan.

"Enak," bohongku.

Balado telor yang aku santap sungguh asin. Entah berapa sendok garam yang ditumpahkan ke dalam masakan ini. Tapi tidak mungkin aku jujur. Setidaknya aku harus menghormati pilihannya untuk makan di warteg sederhana ini. Beberapa pengunjung lain yang aku yakini juga karyawan di perusahaan Pak Neo, melirik kepo ke arahku.

"Jangan bohong. Saya bisa lihat dari wajah kamu."

Aku mendelik kaget. "Memang Bapak lihat apa di wajah saya?"

"Kalau kamu tidak suka makanan ini."

Aku menghela napas pelan. Kalau dia sudah tahu kenapa juga harus bertanya padaku?

"Bapak tau dari mana?"

"Tuh tertulis di dahi kamu."

Aku melirik pada mbak-mbak yang masih sibuk melayani pelanggan lain. Berharap ia tidak mendengar percakapan kami.

"Jadi Bapak butuh bantuan apa dari saya?" Aku lekas bertanya sambil kembali menyendok nasi.

Aku mulai risih jika harus berlama-lama membuang waktu hanya untuk berdua-duaan seperti ini dengan Pak Bos.

Setelah meletakkan gelas berisi air putih yang baru saja diteguknya, Pak Neo membuka tas kerjanya lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas yang sudah di-staples menjadi satu bundelan.

"Ini dibaca." Ia menyodorkan bundelan itu padaku.

"Apa ini, Pak?" Mataku meneliti deretan tulisan di atas kertas setelah menerimanya.

"Job-desc kamu. Apa yang harus kamu lakukan selama jam kerja kamu."

Aku masih berdiam diri, fokus pada poin-poin yang tertera pada tulisan. Lalu menghela napas saat tersadar jika ternyata tugasku jauh lebih melelahkan daripada tugas seorang sekretaris.

Ah ya, aku jadi teringat cerita Mbak Naru waktu itu. Kalau sebenarnya Pak Neo punya sekretaris, Mbak Nessi namanya. Sayangnya saat ini Mbak Nessi sedang cuti lahiran. Baru dua bulan lagi ia akan bergabung kembali di perusahaan.

"Oke, Pak. Nggak ada masalah," jawabku setelah meletakkan bundelan kertas itu di atas meja.

"Benar?" tanyanya sekali lagi.

Aku menggangguk yakin. Lagipula aku bisa apa? Toh aku sudah berhutang banyak padanya. Terjebak dalam lingkaran setan yang entah akan menggiringku ke neraka bagian mana. Nggak mungkin juga kan kalau setan membimbingnya ke surga?

"Jadi kamu nggak keberatan sudah harus tiba di apartemen saya jam tujuh pagi?" Pak Neo menatapku lurus.

Kali ini aku mengangguk pelan. Harusnya dia mengerti kan kalau aku sebenarnya berkeberatan, tapi tak berdaya untuk menolak.

Suara helaan napas Pak Neo terdengar oleh telingaku.

"Saya tahu kamu keberatan. Tapi itu bagian dari tugas kamu untuk bersikap profesional."

Lagi-lagi, kalau dia sudah tahu bagaimana jawabanku kenapa juga harus bertanya.

"Ya, Pak." Aku menjawab singkat lalu meraih gelas teh. Aku butuh air untuk membasahi kerongkongan yang sesaat kering saat bersitatap dengan Pak Bos.

Ia mengalihkan wajahnya pada beberapa pria pamit yang undur diri padanya. Mereka juga karyawan di kantor Pak Bos. Hanya saja aku belum kenal siapa-siapa saja mereka. Aku memandang iri, andai saja aku bisa melakukan apa yang baru saja mereka lakukan. Kabur dari hadapan Pak Bos. Menghilang dari pandangannya. Kalau bisa malah menghilang dari kehidupannya. Kembali pada kehidupanku semula. Berjualan bakso dan mie ayam di warung. Sepertinya aku mulai 'halu'.

Sungguh pahitnya realita. Kopi saja kalah pahitnya. Semoga saja ada gula, susu, dan krimer nantinya yang mampu mengalahkan rasa pahit dalam hidupku.

"Jangan bengong-bengong, nanti kesambet." Teguran dari Pak Neo menyadarkanku.

"Kesambet apa?"

"Setanlah. Masa kesambet saya."

"Memangnya ada setan di sini, Pak?" tanyaku polos pada Pak Bos.

"Ada."

"Serius, Pak? Di mana?" tanyaku kembali penuh rasa ingin tahu.

"Di sini." Terasa sentilan di dahiku bersamaan dengan jawabannya.

Aku berdecak sebal. Berani-beraninya dia menyentilku. Memangnya aku anak kecil. Benar-benar menyebalkan!

"Saya akan lakukan semua hal yang tertera di sini," kataku lemas.

"Terpaksa?" Aku tidak mengerti pertanyaan Pak Neo ini merupakan sindiran atau pertanyaan retorika.

"Mau saya jujur atau bohong?" balasku santai.

"Terserah kamu." Ia mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Jujur silahkan, bohong silahkan. Yang nanggung dosa kan kamu sendiri. Bukan saya." Lalu menyeruput segelas air putih hangat di samping tangannya.

Sial! Sial! Sial!

"Sama aja itu sih, Pak." Aku membalas sebal.

"Memangnya saya punya pilihan lain selain mengerjakan yang sudah Bapak tetapkan di sini?" tanyaku menyindir.

"Punya."

"Apa?"

"Keluar dari pekerjaan dan lunasi hutang kamu."

Sumpah kalau ini orang bukan atasanku, sudah kukaramkan tubuhnya di dasar Samudra Hindia. Biarkan tubuhnya hancur berkeping-keping jadi santapan ikan hiu di dasar laut.

Selesai makan siang, Pak Neo tidak langsung mengajakku kembali ke kantor. Dengan mobil kantor, ia mengajakku pergi ke sebuah mal besar di Jakarta Selatan. Aku bingung sendiri kenapa ia membawaku ke tempat ini.

"Mau ngapain kita, Pak?" tanyaku sembari melongok keluar jendela mobil. Aku sama sekali belum pernah kesini.

Sambil melepas seat-belt, ia yang duduk di jok kiri depan bukannya menjawab malah bertanya balik. "Menurut kamu?"

"Mana saya tahu," jawabku sedikit sebal sambil menerka-nerka di dalam kepala.

Makan siang? Tidak mungkin. Kami baru saja makan. Nonton? Hush! Cepat-cepat aku tepis tebakan itu dari pikiranku. Belanja? Memangnya kami pasutri. Atau ketemu klien? Kenapa tidak sekalian tadi pas jam maksi? Aku menggeleng terus-menerus. Sepertinya bukan semua yang aku tebak. Lantas untuk apa kami ke masuk ke mal?

Namun aku bisa melihat Pak Neo melirikku yang duduk di jok belakang dari spion depan. Aku balas menatapnya datar.

"Nggak usah main tebak-tebakan di kepala. Turun!"

Aku mulai berprasangka aneh. Kenapa sih dia selalu tahu apa yang ada di dalam kepalaku? Masa iya dia punya kemampuan baca pikiran orang?

"Kita mau ngapain sih, Pak?" tanyaku lagi masih penasaran.

"Ikut saja," jawabnya tak acuh.

Ya sudah, manut saja sama kata Pak Bos. Daripada ribut lagi. Aku mengekori langkahnya saja dari belakang.

Namun baru beberapa langkah kami masuk ke dalam pintu mal, langkahnya terhenti dan ia menoleh kebelakang. "Ngapain kamu di belakang saya?"

"Ngikutin Bapak."

"Memangnya saya induk bebek. Sini kamu."

Ia memintaku berdiri di sampingnya. Dengan sabar aku menuruti perintahnya. Berjalan beriringan di sampingnya. Meskipun aku tidak merasa nyaman karena posisi tubuhnya yang terlalu dekat denganku. Belum lagi tatapan orang-orang yang tertuju pada kami. Lebih tepatnya pada Pak Bos. Meskipun penampilannya biasa saja, wajahnya tidak biasa-biasa saja bagi para kaum hawa. Aku saja sering kali merasa jantungan jika memandangnya terlalu lama.

Kami memasuki sebuah department store. Aku menatapnya heran. Pak Neo mau beli baju? Tapi semakin aku memperhatikan arahnya berjalan, semakin aku bingung. Kini kami berada di bagian pakaian wanita. Dan ia melihat-lihat sekeliling sambil berpikir.

"Pegang." Ia menyerahkan dua helai atasan wanita padaku dengan mata masih mencari-cari di antara sekian banyak gantungan.

"Pegang." Kembali ia menyerahkan beberapa helai blus wanita padaku.

Aku hanya menerima dan menyimpannya di pergelangan tangan kiriku.

"Hmmm." Ia berpangku tangan seraya mengusap dagu. Seperti sedang berpikir keras.

Cukup! Aku tak tahan lagi.

"Maaf, kalo boleh tau ini baju-baju buat siapa, Pak?" Aku memberanikan diri meneruskan rasa penasaranku yang tergelitik. Namun apa saudara-saudara? Pak Neo tidak menghiraukan pertanyaanku. Tangannya masih sibuk menyibak. Mencari-cari di antara begitu banyak gantungan.

"Buat pacar Bapak?" tanyaku asal berusaha mencuri perhatiannya.

"Saya nggak punya pacar."

Aku tergelak. Serius pria setampan Pak Neo tidak punya pacar? Tidak ada cewek yang mau? Tapi kalau dipikir-pikir, wajar saja sih. Mengingat sifatnya yang menyebalkan itu. Aku manggut-manggut sendiri.

"Punyanya calon istri."

Kepalaku berhenti manggut-manggut. Ternyata aku salah. Ada juga kaum hawa yang mau sama dia.

"Jadi, baju-baju ini buat calon istri Bapak?"

Kali ini ia tidak menjawab lagi. Tapi tatapannya yang tadi sibuk di antara baju-baju seketika beralih padaku. Aku segera menciut takut. Namun aku menyadari tatapan itu berbeda. Tidak seperti biasanya yang menatap sinis dan dingin.

"Cepat kamu cobain sana." Ia menunjuk ke arah kamar pas yang tidak jauh dari posisi kami dengan dagunya.

Aku mengerjap bingung. "Saya?"

"Iya. Kamu. Memangnya siapa lagi?"

"Calon istri Bapak seukuran sama saya?" tanyaku lagi dengan dahi berkerut.

Ia menatapku baik-baik dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Mungkin. Sudah cobain sana."

Aku pun membalik badan dan segera melakukan perintahnya. Mencoba beberapa lembar pakaian yang tergulung di pergelangan tangan kiri. Agak lama aku berada di dalam kamar pas. Karena butuh usaha keras bagiku membuka kancing-kancing baju dengan tangan kananku yang masih nyeri.

Berkali-kali aku menatap kaca tak berkedip. Selera Pak Neo oke juga. Baju-baju pilihannya ini terlihat bagus melekat di tubuhku.

Andai saja memang aku yang punya. Ah, tidak mungkin! Pikiran itu kutepis seketika. Apalagi saat melihat label harga yang tertera. Mataku membelalak tercengang. Untuk sebuah blus atasan berbahan sifon saja harganya sampai 350.000? Yang benar saja. Bisa dapat tujuh potong kalau aku beli di pasar.

"Gimana?" Suara Pak Neo memanggilku dari luar.

Aku menyibak tirai kamar pas lalu menunjukkan penampilanku padanya. Matanya menelitiku dengan seksama dari atas sampai bawah.

"Hmmm. Oke."

"Bagus, Pak?" tanyaku ingin tahu pendapatnya. Ah, kenapa juga aku peduli dengan pendapatnya.

"Bagus. Ya sudah, ganti lagi."

Aku kembali menutup tirai seiring dengan punggungnya yang berbalik membelakangi. Beberapa kali aku berusaha menarik napas dalam dan menghembus perlahan. Entah kenapa. Tatapannya tadi membuat jantungku tak tenang hingga napasku tertahan.

Aku bergegas berganti baju dan merapikan baju-baju yang sudah kucoba tadi. Membawanya keluar lalu menyerahkan semuanya pada Pak Neo yang tiba-tiba menatapku aneh.

"Ada apa, Pak?"

Ia cepat menggeleng sambil berucap, "Nggak apa-apa." Lalu berjalan meninggalkan aku yang  terdiam kaku untuk beberapa detik.

Pak Neo sudah berada di depan kasir membayar semua baju yang aku coba-coba tadi. Aku menatap miris pada tentengan plastik yang kini berada di tangannya. Berangan-angan, andai saja aku mampu membeli pakaian semahal itu. Tapi siapalah aku yang hanya mampu menelan ludah pahit saat hati diserang rasa iri.

"Nih, bawa." Pak Neo menyerahkan bungkusan itu padaku.

Aku menerimanya, menurut saja apa yang diperintahkan olehnya.

"Mau kemana lagi kita, Pak?" tanyaku bingung saat masih mengekori langkahnya yang belum menuju pintu keluar mal.

"Toko sepatu," jawabnya singkat dengan mata mencari-cari.

Aku hanya bisa menghela pelan. Jadi jadwalku hari ini khusus menemaninya berbelanja barang untuk calon istrinya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan di kantor. Meski aku sebal dan keberatan, aku tidak bisa menolak. Aku ingat betul salah satu poin yang tertera di job-desc-ku tadi. Mengikuti dan mendampingi atasan saat diperlukan.

"Ukuran sepatumu berapa?" Ia bertanya dengan mata tertuju ke bawah. Lebih tepatnya tertuju pada kakiku.

"Eh?"

"Hmm, kira-kira 38 sepertinya." Ia menduga-duga sendiri. Tapi dugaannya benar. Ukuran sepatuku memang 38.

"Pak?" panggilku ragu-ragu. Ingin tahu maksud dan tujuannya apa menanyakan itu.

Namun panggilanku tidak digubrisnya. Matanya sibuk mencari-cari di antara rak sepatu wanita. Ini maksudnya apa, sih?

Daripada makan ati diabaikan olehnya, aku memutuskan untuk duduk saja di salah satu bangku panjang yang tersedia di tengah-tengah toko sepatu bermerek ternama itu. Berpangku tangan menatap lantai mal yang bersih kinclong hingga siluet wajahku terpantul jernih di sana.

Sengaja aku menundukkan kepala. Mana berani aku menatap sepatu-sepatu bagus nan mahal yang terpampang di display. Berusaha sadar diri. Orang kelas menengah kebawah sepertiku cuma mampu beli sepatu di pasar.

"Menurut kamu bagus yang mana?" Tiba-tiba Pak Neo berdiri di hadapanku menunjukkan empat model sepatu wanita yang berbeda.

Aku mendongakkan kepala untuk menatapnya lurus. Serius dia tanya aku?

"Bagus semua, Pak." Aku menjawab asal tanpa benar-benar mengamati keempat sepatu tersebut.

"Dilihat dulu yang benar."

Dengan malas sambil menghela napas, aku menurut. Memperhatikan keempat sepatu itu. Bagus semua sih, tapi bukan tipe sepatu yang aku suka dan membuat kakiku nyaman saat dikenakan. Aku tidak pernah mengenakan sepatu berhak tinggi seperti yang ia bawakan ini.

"Buat calon istri Bapak?" tanyaku lagi saat menatapnya.

Tidak menjawab, Pak Neo hanya memutar bola matanya lalu mendesah.

"Yang ini, Pak." Aku menunjuk sepatu berhak tinggi warna biru navy di tangan kirinya.

"Kamu coba." Ia meletakkan sepatu itu di sampingku.

"Saya?"

"Memangnya saya ngomong sama siapa lagi kalo bukan kamu."

"Kaki calon istri Bapak juga seukuran sama saya?"

Lagi-lagi ia tidak menjawab. Hanya berdecak lalu balik badan untuk mengembalikan tiga sepatu lainnya yang ia tenteng tadi.

Aku melepas sepatu pantofel milik Mama yang melekat di kaki kananku. Menggantikannya dengan sepatu navy berbahan suede berhak tinggi pilihan Pak Neo. Aku melihat ukuran yang tertera di bawah solnya, 38.

Sepatu itu memang terlihat bagus di kakiku. Tiba-tiba aku merasa seperti wanita-wanita karir pada umumnya yang mengenakan setelan blazer dan sepatu berhak di kantor, dengan riasan make-up ala tutorial di youtube. Ah, andai saja ...

"Gimana?" tanya Pak Neo yang sudah kembali berada di depanku.

"Menurut Bapak?"

Matanya menatap kakiku lalu tersenyum tipis. Serius dia senyum?

"Perfect."

Usai membayar dan lagi-lagi menyerahkan bungkusan sepatu itu padaku, Pak Neo mengajakku masuk ke sebuah kedai kecil yang menjual minuman berbagai jenis kopi-kopian.

Setelah memesan kopi yang ia inginkan, Pak Neo menanyakan kopi mana yang aku mau.

Aku menggeleng pelan. "Maaf, saya nggak suka kopi. Bapak saja."

"Jadi, kamu mau minum apa?"

"Air putih saja. Saya bawa kok di tas." Aku mengeluarkan tumbler berisi air putih dari tasku.

Kami berdua duduk di meja kecil berisi dua kursi yang disediakan kedai itu.

"Kenapa kamu nggak suka kopi?" tanya Pak Neo menatapku tanpa berkedip. Membuatku gugup seketika. Tapi tentu saja aku berhasil menutupinya dengan wajah datarku.

"Kopi pahit, Pak."

Pahitnya mengingatkan saya pada getirnya hidup. Lanjutku dalam hati.

"Namanya kopi ya pahit. Kalo nggak mau pahitnya terasa bisa ditambah gula, susu, krimer."

"Itu semua cuma kamuflase, Pak. Untuk menutupi pahitnya kopi. Sama seperti sambel yang menutupi rasa masakan yang tidak enak."

"Maksudnya?" Sebelah alisnya terangkat.

"Coba Bapak makan ayam goreng hambar pake sambel. Jadinya lebih enak kan. Fungsi sambel, gula, susu, creamer sama, Pak. Sama-sama membuat kita sejenak lupa kalo ada rasa yang tidak enak di lidah."

Pak Neo terdiam menyimak perkataanku yang lumayan panjang. Sepertinya dia bisa mengerti filosofi dibalik ucapanku itu.

"Hidup kamu sepahit itu, ya?"

"Semua orang pasti punya bagian pahit dalam hidupnya. Termasuk Bapak."

Ia terdiam sejenak sebelum membalasku. "Tau darimana kamu?"

"Saya enggak tau. Tapi almarhum Papa saya bilang begitu."

Aku tidak tahu apakah ucapanku itu menyinggung Pak Neo atau tidak. Yang jelas, sejak menyesap kopinya hingga sekarang kami sudah memasuki mobil kantor, Pak Neo diam saja. Bahkan sama sekali tidak memandangku.

"Kembali ke kantor." Ia menepuk pundak Pak Heru yang berada di kursi kemudi. Tanpa sama sekali menoleh padaku yang duduk di jok belakang bersama tumpukan belanjaan untuk calon istrinya.

Aku merogoh ponsel jadulku di dalam tas untuk mengecek pukul berapa sekarang. Karena sepertinya kami menghabiskan waktu berjam-jam di dalam mal tadi. Jam 16.20. Kira-kira setengah jam lagi waktu pulang kantor. Kenapa tidak sekalian saja kami menghabiskan waktu sampai jam lima sore di mal? Jadi aku bisa langsung pulang saja dari sini tanpa harus bersusah payah balik dari kantor yang jaraknya lebih jauh dibandingkan jarak dari mal ini ke rumahku.

Suasana kembali hening. Tak ada pembicaraan apapun di dalam mobil. Tidak sepatah katapun keluar dari bibir Pak Neo. Bahkan Pak Heru yang pada saat berangkat tadi masih bersuara bahkan mendendangkan lagu dangdut  kesukaannya, kini bungkam seakan tahu diri jika bosnya sedang bad-mood.

Tidak butuh waktu lama bagi Pak Heru membelah jalanan ibukota untuk sampai di kantor. Untung saja Pak Heru tahu banyak celah melewati jalan tikus. Dalam dua puluh menit kami sudah kembali tiba di kantor.

"Makasih ya, Pak." Aku berucap sambil menunduk pada Pak Heru setelah menutup pintu mobil.

Sedangkan Pak Neo hanya memandangku dengan tatapan dingin. Lalu berjalan memasuki lobi tanpa sedikitpun berpikiran membantuku yang kewalahan dengan belanjaannya. Aku tergopoh-gopoh mengikuti langkahnya dari belakang. Beberapa pasang mata menyaksikan kerepotanku dengan pandangan mencibir. Aku tahu jelas pandangan macam apa itu. Sudah jadi makanan dalam hidupku sehari-hari. Sudah biasa.

"Lho, baru balik jam segini? Mau lembur lo?" Mbak Naru yang berjalan berpapasan dengan kami menghentikan langkahnya lalu menegur Pak Neo dengan santainya.

"Enggak," jawabnya singkat.

Sepasang mata Mbak Naru meneropong kondisiku. "Kamu kayaknya repot banget, Mo. Belanjaan siapa tuh sebanyak itu?"

"Eh, ini —"

"Gue yang beli." Pak Neo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kenapa?"

"Elo? Belanja beginian? Buat siapa?" Mbak Naru terlihat kaget hingga menarik kepalanya kebelakang.

"Ehm. Ru, laporan kuartal kemarin gimana?" Pak Neo tidak berniat meladeni keterkejutan Mbak Naru. Alih-alih mengalihkan pembicaraab

"Beres, Bosss!" jawab Mbak Naru mantap menyatukan telunjuk dan jempolnya hingga tiga jari lainnya terangkat.

"Good." Pak Neo hendak kembali melangkah namun dengan cekatan tangan Mbak Naru menghentikannya.

"Eh, eh, pertanyaan gue tadi belum dijawab. Buat siapa tuh?" Matanya menunjuk pada bungkusan-bungkusan yang aku tenteng hanya dengan tangan kiri.

Ya ampun, Mbak Naru. Tidakkah ia menyadari aku sedang kerepotan. Kalau mau melanjutkan bincang-bincang sebaiknya ikut kami saja ke atas. Atau setidaknya bantulah aku.

"Urusan lo?"

"Bukan. Tapi gue kan kepo." Mbak Naru mengerling nakal.

"Dan kepo lo bukan urusan gue. Bye."

Meninggalkan Mbak Naru yang melotot sebal, Pak Neo masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Aku mengangguk kecil pada Mbak Naru lalu terburu-buru ikut masuk bersamanya.

Lift itu hanya dihuni oleh kami berdua. Namun entah kenapa ruangan kotak itu terasa sempit dan sesak. Ditambah lagi wajah Pak Neo yang seperti diselimuti awan gelap. Suasana horor macam apa ini.

Ting!

Untungnya dalam dua menit kami tiba di lantai tempat ruangan Pak Neo berada. Aku bernapas lega setelah melangkah keluar dari lift. Rasanya perlu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Ini mau ditaruh di mana, Pak?" tanyaku setelah meletakkan bungkusan-bungkusan itu di atas mejaku.

Tidak langsung menjawabku, Pak Neo menoleh padaku beberapa detik, lalu beralih pada plastik-plastik di atas meja itu. Ia tampak sedang berpikir keras.

"Pak?"

"Pak?" panggilku untuk kedua kalinya karena ternyata ia sedang melamun.

Setelah tersadar, ia mengangkat tangan kirinya, menatap jam tangan sport hitam yang melingkar di sana.

"Sudah waktunya pulang. Kamu bisa pulang sekarang," ucapnya dengan nada rendah. Membuat suara basnya terdengar ... tidak, tidak! Tidak terdengar bagaimana-bagaimana.

"Baik kalo begitu. Oh ya, terima kasih banyak untuk traktirannya hari ini." Aku sedikit membungkukkan badan untuk memberinya rasa hormat.

"Hm." Ia mengangguk singkat.

Aku membalik badan untuk kembali berjalan menuju lift.

"Imo." Namun suaranya kembali menghentikan langkahku. Membuatku berbalik kembali.

"Ya, Pak?"

"Barang-barangmu jangan lupa dibawa."

Aku mengernyit bingung. Barang-barang apa yang lupa kubawa? Aku cuma punya tas yang sekarang terselempang di bahuku.

"Tuh." Matanya menunjuk pada bungkusan belanjaan kami tadi.

"Hah?"

"Besok dipake ke kantor."

"Tapi Pak—"

"Kenapa?"

Aku menatapnya bingung. Sungguh tidak mengerti dengan pria yang sedang berjarak dua meter dariku itu.

"Bukannya ini semua buat calon istri Bapak?"

"Memangnya tadi saya bilang begitu?"

Bukannya iya? Lalu aku berusaha me- rewind di otak perjalanan kami selama di mal dan kata-kata apa  saja tadi ia ucapkan. Dan akhirnya aku menyadari, tentang calon istrinya itu hanya kesimpulan otakku saja. Bukan jawaban dari Pak Neo. Jadi malu sendiri, kan.

"Maaf, Pak. Saya yang menyimpulkan sendiri. Tapi maaf, saya nggak bisa terima semua itu."

Tatapan Pak Neo berubah tajam padaku. Ia melangkah maju, yang membuatku perlahan mundur.

"Jangan salah paham. Saya belikan itu semua demi image perusahaan. Apa mungkin saya biarkan kamu ikut saya kemana-mana ketemu klien, rapat, dengan penampilan seperti anak magang begitu?"

Apa katanya? Jangan salah paham? Siapa yang salah paham? Memangnya aku salah paham apa?

"Tapi Pak—"

"Kenapa lagi?"

Aku menghembus napas lemah. Hari ini aku benar-benar lelah sampai tidak ada tenaga untuk berdebat seperti biasanya. Ditambah lagi nyeri di punggung tangan kananku yang sudah dihiasi gelembung air.

"Harga semua itu mahal. Saya nggak sanggup bayarnya. Sisa gaji bulanan saya juga tinggal sedikit. Kalo dipotong lagi—"

"Anggap saja itu inventaris perusahaan. Bukan tanggungan kamu."

Aku tertunduk lesu dan menggumam sendiri. "Berarti kalo nanti aku keluar harus dikembalikan."

"Apa?" Ia mencondongkan wajah karena tidak mendengar gumamanku dengan jelas.

"Nggak pa-pa, Pak." Aku kembali meraih belanjaan di atas meja.

"Oya, satu lagi." Pak Neo merogoh saku celananya. "Ini, untuk ongkos naik taksi."

"Eh, nggak usah, Pak. Saya naik busway aja seperti biasa."

"Nggak usah sok jadi betina tangguh. Tangan kamu lagi sakit. Saya tau kamu kerepotan."

Kalau sudah tahu kenapa juga nggak bantuin dari tadi?

"Nggak usah, Pak. Terima kasih."

Ia mendekatiku lalu memasukkan paksa dua lembar uang berwarna merah itu ke dalam tasku.

"Uang itu bukan untuk nolongin kamu, tapi nolongin saya. Kalo kamu nggak bisa kerja besok karena kecapean, saya juga yang repot."

Aku tak bergeming menatapnya datar. Meskipun suara di dada kiriku berdebum tak karuan karena jarak di antara kami terlalu dekat.

"Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi. Assalamu'alaikum."

Kali ini aku benar-benar membalik badan dan berjalan cepat memasuki lift. Dari celah pintu lift yang perlahan menutup aku bisa melihat ia masih berdiri di tempatnya mengawasi kepergianku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan.

Perasaan macam apa ini. Sungguh menyebalkan ketika kita bahkan tidak sensitif terhadap apa yang kita rasa dan apa yang orang lain rasa.