2 Dunia Si Tak Punya

"Mbak Sum." Aku memberikan sebaskom besar adonan bakso yang siap dicetak lalu direbus dalam air mendidih pada Mbak Sum, seorang karyawan warung.

"Mbak Imo, sawinya belum dicuci." Mbak Sum menunjuk ke arah tumpukan sayuran hijau di dapur.

Aku pun beranjak ke dapur untuk membersihkan sawi hijau yang tadi sudah diantar oleh Pak Bagus, seorang supplier sayuran langganan kami.

"Mbak Imo, biar saya aja. Mbak Imo dipanggil ibu, tuh!" Mbak Asih yang juga salah seorang karyawan warung segera mengambil alih seikat sawi yang sudah kugenggam.

Aku mencuci kedua tangan lalu bergegas menghampiri Mama yang sedang menyapu lantai warung. Biasanya beliau akan menyuruhku membeli segala sesuatu yang berkaitan dengan keperluan warung menggunakan motor butut Papa. Dan hanya Tuhan yang tahu entah apalagi yang harus aku beli kali ini.

"Kenapa, Ma?"

Mama menggenggam gagang sapu erat-erat menggunakan kedua tangannya dengan sorot mata tajam menatapku. Perasaanku makin tak enak.

"Bukannya hari ini harusnya kamu mulai kerja?"

"Ini lagi kerja."

"Imo, kamu ngerti maksud Mama! Harusnya kamu berangkat ke kantor anaknya Pak Rudi kan hari ini?"

Aku terkesiap sejenak. Dari mana Mama tahu aku diterima bekerja di sana? Padahal hari Jum'at kemarin saat aku pulang dari sana, aku tidak memberitahukan kabar itu pada Mama. Saat Mama bertanya aku diterima atau tidak, aku hanya menjawab, "Seperti biasa."

Jadi, seharusnya Mama mengerti maksud jawabanku tiga hari yang lalu itu.

"Imo, kenapa kamu nggak berangkat kesana? Ini sudah jam 9. Jamnya orang ngantor itu jam 8. Kamu telat banget! Belum perjalanan kesananya. Jam segini apalagi, pasti jalanan macet nggak karuan. Kamu mau memberi kesan buruk di hari pertama kamu? Mau ditaruh di mana muka mama nanti? Pak Rudi dan anaknya sudah mau berbaik hati menerima kamu bekerja. Masa kamunya seperti orang nggak tahu diri begini? Mama har —"

"Imo nggak mau bekerja di sana." Kalimat tegasku memotong kalimat panjang Mama yang mengalahkan panjangnya gerbong kereta dan mulai melantur kemana-mana.

"Hah? Kenapa?"

"Bidangnya nggak sesuai."

"Warung bakso ini juga nggak sesuai buat kamu."

Aku mendongak menatap tepat di pupil mata Mama. Sepertinya memang hanya Mama satu-satunya orang yang senang sekali mematahkan argumenku.

"Aku belajar pengolahan makanan, Ma." Aku menjawab singkat. Berharap jawaban singkat itu dapat membantah argumen mama.

"Perusahaan anaknya Pak Rudi itu bergerak di bidang pengemasan makanan. Memangnya itu tidak termasuk bidang kamu?" Mama melepaskan gagang sapu hingga terjatuh ke lantai lalu kedua tangannya terlipat di depan dada. Mama sedang menantang putri semata wayangnya ini.

Aku menggelengkan kepala dengan mantap. Sepertinya Mama sedang membutuhkan lawan main kuis cerdas-cermat.

"Bikin bakso termasuk bidang kamu?" Mama menegaskan sekali lagi dan aku tetap membalas dengan gelengan kepala.

"Asisten Pribadi bukan bidangnya Imo."

Lalu yang terdengar olehku hanyalah helaan napas Mama yang benar-benar panjang, membelah keheningan di antara kami. Oke, ini artinya Mama sudah mengaku lelah berdebat denganku.

"Mo, tolong Mama sekaliii ini aja." Daaan kalimat sakti itu lagi-lagi yang diluncurkan oleh Mama. "Tolong, dicoba dulu kerja di sana untuk beberapa bulan. Mana tahu ternyata kamu cocok kerja di sana. Dikenali dulu pekerjaannya, lingkungan kerjanya, enak apa nggak. Tak kenal maka tak sayang bukan?"

Tidak mau sekalian dicoba dulu bosnya, enak apa nggak? Aku menggerutu dalam hati. Hanya dalam hati. Karena aku tidak pernah benar-benar bisa melawan perkataan orangtuaku.

"Mo, tolong datang kesana dulu, ya. Dicoba dulu. Mana tahu pekerjaan itu jodoh kamu."

Nggak mau sekalian bilang mana tahu bosnya jodoh kamu?

"Mooo! Jangan diem! Mama harus bilang apa sama Pak Rudi kalau beliau telepon lagi?" Kali ini mama setengah merengek. Persis bocah kecil sedang galau mau memilih permen mana untuk dibeli.

"Pak Rudi telepon Mama?"

"Iya. Katanya anaknya telepon kamu berkali-kali tapi nggak kamu angkat."

Aku mengernyitkan dahi seraya melempar pandang pada ponselku yang terletak di atas meja kasir. Aku berjalan tiga langkah menuju meja lalu meraih ponsel bercasing hitam dengan RAM 1 GB itu. Di layarnya tertera jelas tulisan '29 missed calls' dari sebuah nomor asing tak dikenal.

29 Missed calls??? Niat betul calon bos yang satu itu. Memangnya kenapa juga harus sebanyak itu menghubungiku? Biasanya kalau tiga kali saja panggilan tak dijawab artinya gugur. Perusahaan itu akan mencari pengganti lainnya. Tapi kenapa yang satu ini kesannya ngotot sekali?

Dan tepat saat ponsel sedang berada dalam genggamanku, panggilan ke-30 berdering. Jujur, sebenarnya aku malas menjawab. Ingin rasanya mengabaikan panggilan itu meskipun nantinya menjadi 100 missed calls. Namun saat ini mama tengah melebarkan sayap-sayap matanya menatapku. Kedua alisnya yang terangkat di atas kedua bola matanya yang melebar meminta aku segera mengangkat panggilan itu.

Aku menghela napas pelan sebelum menggulir layar dengan malas.

"Ya?"

"Imogi Astari! Atasan kamu telepon bukannya disambut dengan assalamu'alaikum, halo, atau apa kek! Cuma 'ya'???" Suara di seberang itu terdengar berang sendiri. Hanya gara-gara kata 'ya' ia mengomeliku?

"Maaf, ini siapa?" Aku bertanya dengan tenang.

"Masih bisa-bisanya kamu tanya? Saya bos kamu! Kenapa sampai detik ini kamu belum datang ke kantor? Memangnya ini kantor nenek moyang kamu jadi kamu bisa datang seenaknya? Sekarang juga kamu datang ke kantor!"

"Maaf, saya belum menanda-tangani surat apapun yang menerangkan saya resmi bekerja untuk perusahaan manapun. Jadi anda bukan bos saya."

"D#%$*?@!" Ia sedang sibuk mengumpat sendiri.

"Saya rasa tak ada lagi yang perlu saya bicarakan."

"Kamu! Saya tunggu di kantor sekarang juga!" Panggilan itu langsung terputus setelah kalimat perintah dengan nada ketus itu tercetus.

Terserah orang itu saja. Mau dia menungguku sampai malam pun, sampai dia harus meronda di kantor sekalipun, aku tidak akan datang. Aku sudah memutuskan.

"Imo. Sekarang kamu bersih-bersih, ganti baju yang rapi, berangkat kesana." Mama tiba-tiba mendorongku untuk naik ke atas menuju kamarku.

Lantai dua adalah rumah kami. Tempat kami melepas lelah, melepas beban, dan melepas masalah. Papa selalu berpesan, tidak boleh ada yang naik ke lantai atas dengan membawa masalah di kepala.

"Ma!" Langkahku terhenti di anak tangga pertama lalu membalik badan menghadap mama.

"Imo tidak akan bekerja di sana."

"Imooo! Mau ditaruh di mana muka mama?"

"Tetap di situ."

"Mama harus bilang apa ke Pak Rudi?"

"Kalau anak Mama sudah punya kerjaan lain."

"Mama nggak enak sama Pak Rudi."

"Enakin aja."

"Imooooo!!! Kamu bisa nggak sih nggak sekaku ini? Tolongin Mama! Lagian kamu bakal punya kesempatan karir yang bagus di sana."

"Kalau begitu Mama saja yang kerja di sana."

"Imoooo!!!"

Aku kembali membalik badan, tidak menghiraukan teriakan mama yang mulai terdengar frustasi. Sambil menaiki anak tangga, aku berusaha membuang beban-beban di pikiranku itu satu-persatu. Namun anehnya, hingga anak tangga terakhir yang kutapaki, masalah-masalah itu kian melekat di kepalaku seperti sudah di lem begitu rekat. Aku setengah membalik badan menatap wajah stres mama di bawah tangga. Kedua alisnya turun seiring dengan bibirnya yang melengkung ke bawah. Itu wajah kecewa Mama.

Aku kembali membalik tubuh lalu menapak lantai. Maafkan anakmu ini, Pa. Kali ini, aku terpaksa membawa serta masalah ke lantai atas.

Aku hanya berdiam diri di kamar selama tiga jam sembari sesekali melirik pada ponsel yang tengah dalam kondisi mati. Sengaja di non-aktifkan, karena firasatku mengatakan pria rese' itu pasti akan kembali menghubungi dengan mencak-mencak.

Mungkin saat ini warung sedang ramai-ramainya. Sayup-sayup suara hingarnya terdengar hingga ke kamar. Warung kami ini dekat lokasinya dengan sebuah SMP swasta dan SMA negeri. Jadi tak heran jika pada waktu istirahat mereka yang bersamaan, para penghuni ruang kelas akan berpindah kesini. Untuk kali ini, biarlah Mama, Mbak Sum, dan Mbak Asih yang mengurus kesibukan di bawah sana. Untuk sekali ini saja, aku sedang ingin menghabiskan waktu berkutat dengan hobiku.

Kugenggam kembali pensil yang tadi tergeletak di atas meja lalu kembali menarik garis halus di atas kertas. Apakah aku sudah memberitahu kalau aku senang sekali menggambar? Meski hanya berupa coretan sketsa sederhana, gambar yang aku buat seringkali mewakili kata-kata yang terpendam dalam kepala dan dada. Inilah caraku menumpahkan segala bentuk emosi yang tak pernah dapat kuungkap. Lana sepupuku yang mengajariku. Sifatnya mirip-mirip denganku. Pendiam, sederhana, murah senyum. Lana yang murah senyum. Aku? Sebaliknya.

Sketsaku selesai. Aku memandangi gambar yang mencetus perasaan galauku saat ini. Wajah kecewa Mama pagi tadi.

"Mbak Imo." Suara itu memanggilku dari luar bersamaan dengan diketuknya pintu kamarku yang terkunci.

"Mbak, ada masalah di bawah." Suara Mbak Sum yang terdengar panik berkata padaku dari luar.

Aku segera bangkit lalu memutar kunci pintu.

"Ada apa, Mbak?"

"Anu ... itu, Mbak. Mang Kirno nagih lagi."

"Kan dia sudah di bayar minggu kemarin."

"Saya nggak tau, Mbak. Dia minta duit lagi. Pake gebrak-gebrak meja. Pembeli pada ketakutan." Wajah Mbak Sum kian memucat. Kedua tangannya sibuk saling meremas kaos lusuh kedodoran yang tengah dikenakannya.

Aku segera turun menuju lantai bawah. Suara Mang Kirno yang menggelegar penuh amarah, terasa menusuk telingaku.

"Pokoknya saya nggak mau tau! Bayar sekarang juga!"

"Ada apa, Mang?" Aku berjalan cepat hingga akhirnya berdiri di sebelah Mama.

"Aku mau tagih sisanya lagi!"

"Mang, minggu kemarin sudah." Aku menjawab dengan tenang.

"Kalian baru bayar setengahnya! Aku minta sisanya sekarang!"

"Nggak bisa. Uangnya belum ada," jawabku datar. Sementara Mamaku diam saja menyimpan ketakutan.

"Aku nggak mau tau! Sekarang bayar, atau aku rusak warung ini!" Tangan kanannya mengetuk-ngetuk sepotong balok kayu dengan paku tajam yang menancap di ujungnya ke lantai. Selalu saja begini ancamannya.

"Mang, anak saya jujur. Uangnya belum ada. Tadi pagi sudah dipake buat belanja daging."

"Aku nggak mau tau!"

"Warung lagi ramai. Banyak orang. Bisa bicaranya baik-baik?" Aku sengaja menegurnya tanpa gentar. Padahal dalam hati takut juga. Ngeri sendiri membayangkan balok itu menyerang seseorang di antara kami. Tapi akulah si manusia manekin yang pintar menyembunyikan segala ekspresi.

"Tadi aku sudah ngomong baik-baik sama ibu kamu. Tapi aku mulai tak sabar sekarang. Mana duitnya?!"

"Bisa kasih kami waktu?"

"Mau sampai kapan aku nunggu? Sampai anakku mati?"

"Anak mamang mau mati?"

"Imooo!" Mama segera mencubit pinggangku. Suaranya persis sedang terjepit sesuatu.

"Semua orang juga pasti mati! Kalian berdua juga bisa mati di tanganku! Mana uangnya??" Gebrakan meja mengakhiri kalimat ancamannya.

Dan ancaman horornya ini benar-benar membuat para pelanggan yang mayoritas bocah berseragam putih abu-abu dan biru itu berlari tunggang-langgang ketakutan, tanpa ingat membayar bola-bola bakso yang sudah masuk ke dalam perut mereka.

"Mamang maksa sekarang ya nggak bisa. Nggak ada duitnya. Lihat akibat ulah Mamang, pelanggan pada kabur tanpa bayar."

Setelah menyadari maksud kalimatku, Mang Kirno memonitor sekeliling warung dan melihat situasi meja yang langsung kosong-melompong.

Ia lalu duduk di kursi panjang yang terdekat dengan meja kasir sembari menghela napas lelah.

"Maaf. Aku sedang butuh uang untuk anakku. Kali ini aku benar-benar butuh. Dia harus segera dioperasi. Aku tak mau dia mati. Lebih baik aku yang mati." Intonasi suaranya mulai merendah. Melemah. Lirih. Lalu menangis. Menangis? Preman macam Mang Kirno bisa cengeng juga?

"Hasan? Sakit apa?" celetuk Mama untuk pertama kalinya setelah sekian menit bungkam.

"Tumor otak," jawab Mang Kirno sembari menyeka air matanya. "Aku tak tahu mau cari duit kemana lagi selain menagih utang-utang lebih awal."

Aku bergidik ngeri sendiri membayangkan bocah berusia sepuluh tahun itu harus cepat meregang nyawa. Sejahat-jahatnya Mang Kirno, dia juga manusia biasa yang punya kebutuhan menafkahi keluarganya.

"Kapan harus dioperasi?" tanyaku penasaran.

"Kalau sampai besok kondisinya masih stabil, mungkin besok. Tapi aku harus melunasi dulu biaya pengobatan sebelumnya. Ditambah lagi untuk biaya operasi nantinya." Ia mulai tenang. Melihat padaku dengan tatapan penuh harap.

"Butuh berapa, Mang?"

Mama melirik tajam padaku. Mungkin karena aku yang sok tanya-tanya seperti bisa membayar saja.

"Kalau kata perawatnya kira-kira tujuh puluh juta. Dari mana aku uang sebanyak itu? Rumah saja masih ngontrak. Cicilan motor belum lunas."

Makanya Mang, jangan jadi lintah darat. Jadi susah kan hidupnya akibat menghisap darah orang banyak. Aku hanya berujar dalam hati. Tapi setidaknya tatapanku bisa mengisyaratkan kata-kata itu.

Tapi salah Om-ku juga sih. Bisa-bisanya adik mama itu ngutang pinjaman sama Mang Kirno yang terkenal bengis saat menagih. Giliran Om Damar meninggal, jadi mama yang kena tulah.

"Uangnya harus ada besok?" Aku bertanya lagi.

"Kira-kira begitu," jawabnya tak yakin. Mungkin kepalanya sudah terlalu mumet.

"Mamang punya uang berapa sekarang?"

Mama melotot tajam padaku. Kelihatan sekali tatapannya melarangku untuk membantu preman lintah darat ini.

"Paling cuma sepuluh juta. Itu juga hasil nagih sana-sini. Yang tiga juta harus segera di setor ke Bu Yati."

Naaah, Ibu Yati itu ratunya para lintah darat. Sumbernya uang panas. Gembongnya Membagikan uang panasnya pada para renternir untuk disebar-sebar lalu meminta dibayar dengan bunga-berbunga. Mang Kirno mana punya uang kalau bukan hasil infusan Bu Yati.

"Saya akan usahakan besok siang. Tapi ... saya nggak janji juga akan berhasil. Saya cuma minta dibantu sedikit," kataku terkesan percaya diri.

Aku berani berkata seperti ini karena tiba-tiba terlintas suatu ide di otakku yang biasanya lemot. Sementara Mama terduduk lemas setelah mendengar perkataanku. Mungkin mama pikir anaknya ini sudah gila berpikir bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu 24 jam. Ya memang ideku ini termasuk gila, sih.

"Dibantu apa, Neng?" tanyanya lirih.

"Bantu saya dengan sholat dan do'a."

Mimik wajah Mang Kirno berubah seketika. Berkeringat dingin. Seakan setan-setan dalam tubuhnya sedang merinding karena mendengar kata-kata itu. Dan mungkin setan-setan itu sedang sibuk berdiskusi di kepalanya.

"Tapi ..."

"Terserah Mamang. Karena usaha saya ini berhasil atau tidaknya tergantung seberapa besar Tuhan mau menolong Mamang. Dan itu tergantung bagaimana Mamang mau merayu Tuhan."

Mang Kirno tercenung mendengar perkataanku. Sebenarnya aku takut saat mengucapkan kalimat itu. Khawatir Mang Kirno merasa didikte oleh bocah bau kencur. Terutama saat melihat benda yang masih setia menempel di tangan kanannya. Bayangan akan balok panjang itu menimpuk kepalaku terlintas sekilas. Kulitku merinding seketika.

Tapi jika melihat wajah sendunya saat ini, sepertinya ia benar-benar sedang berusaha melawan rayuan pulau kelapa setan-setan yang setia mendampingi langkahnya selama ini.

"Allahu akbar ... Allahu akbar ..." Gema adzan Dzuhur berkumandang dari masjid di belakang warung.

"Nah, tuh udah langsung dipanggil sama Tuhan. Ayo buruan, Mang!" seru Mbak Sum yang sejak awal tadi hanya berani berdiri di ujung tangga.

Ia menyimak suara adzan baik-baik lalu mendengkus kesal setelah bangkit berdiri. "Ya ... nanti sajalah di rumah." Balok kayu yang tadi mengayun di tangan kanannya, berpindah ke atas bahu.

"Kalo laki-laki sholatnya di masjid. Yang sholat di rumah itu perempuan. Mamang laki-laki apa perempuan?" tembakku langsung.

Sontak balok kembali diturunkan dari bahunya seiring dengan matanya yang menatap nanar setelah mendengar sindiranku itu. Mama yang tadinya sudah tenang kembali ketakutan. Pun sama halnya dengan Mbak Sum. Kakinya sudah siap sedia pasang kuda-kuda untuk marathon melarikan diri.

Balok itu terangkat menunjuk ke batang hidungku. Membuat Mama dan Mbak Sum serempak tarik napas. "Itu urusanku! Neng Imo, besok pagi aku kembali kesini duitnya harus sudah ada! Kamu yang sudah janji!"

"Mbak Imo sih, sembarangan sesumbar." Aku bisa mendengar bisikan Mbak Sum yang mencemooh.

"Mang, saya kan sudah bilang. Saya nggak janji. Itu tergantung —"

"Aku sudah paham! Tak perlu diulang-ulang lagi!" hardiknya penuh amarah. "Permisi!"

Dan Mang Kirno sang preman lintah darat segera meluncur keluar dari warung. Bisa kulihat sebuah semburat senyum muncul di wajahnya.

"Imoooo! Kamu itu apaan, sih? Ngapain pake nawarin diri buat bantuin dia segala? Duit dari mana sebanyak itu?" Mama menghentakkan kaki sembari marah-marah padaku. Beneran, persis kelakuan bocah tua nakal.

"Mbak, daripada nyariin duit buat penjahat kayak dia, mending bantuin saya bayarin kontrakan yang udah nunggak dua bulan." Mbak Sum ikutan memprotes. Tapi aku abaikan saja.

"Mama mau utangnya Om Damar segera lunas? Nggak mau kan dikejar-kejar Mang Kirno terus?" tanyaku datar.

Mama terduduk lemas lalu memijat-mijat kepalanya yang mendadak pusing. Mungkin karena memikirkan pemasukan hari ini yang melayang seketika. "Ya mau. Tapi kan kita nggak punya uang segitu, Imo. Mana pelanggan pada kabur."

"Ya anggap saja ini hari bersedekah," jawabku enteng.

"Ya kamu bisa ngomong begitu. Terus gimana ini urusannya? Mana kamu nggak jadi kerja. Padahal bisa lumayan bantu mama." Mama mencibir, mencemooh, menyindir, satu paket komplit.

Aku pun segera bergerak untuk menepis segala kejengkelan mama itu. Berlari keatas untuk meraih ponselku. Saat kuaktifkan terlihat banyak notifikasi masuk. Segera kuhubungi nomor yang sepanjang hari ini terus-menerus menghubungiku.

"Halo." Suara di ujung telepon menjawab.

"Assalamu'alaikum." Aku menyapa sesuai perintahnya tadi pagi.

"Ehem ... Wa'alaikum salam. Ada perlu apa kamu?" Suara itu terdengar berusaha menenangkan diri.

"Pak, apa tawaran pekerjaan untuk saya masih berlaku?" tanyaku sambil menelan gengsi mentah-mentah.

"Kenapa? Berubah pikiran?" sindirnya sinis.

"Mungkin. Pak Neo bisa mampir ke rumah saya?"

"Hah? Untuk apa saya ke rumah kamu?"

"Untuk membicarakan semuanya."

"Lho? Kamu yang perlu, ya kamu lah yang ke kantor."

"Nggak bisa, Pak."

"Kenapa nggak bisa?"

"Saya nggak punya uang untuk ongkos, Pak."

------‐------------------------------------------------

avataravatar
Next chapter