5 Dia Berbahaya

N : Kamu terluka?"

I : Gara-gara kamu

***

Brak! Brak! Brak!

"Imoooo, buka pintunya!"

Sudah lima menit Mama menggedor-gedor pintu kamarku. Sementara aku hanya berani menyembunyikan wajah basahku di balik bantal. Entah apa yang ada di pikiranku saat tadi melarikan diri pulang ke rumah dari kantor. Tanpa membawa pulang uang sepeser pun.

Hanya tinggal menunggu hitungan menit hingga kaki Mang Kirno menginjak warung bakso kami.

Aku bingung! Pusing! Bagaimana harus menghadapi Mang Kirno nantinya. Preman lintah darat itu pasti akan mengamuk. Mengacak-acak warung. Bahkan mungkin mengancam nyawa kami.

Otakku mentok. Aku tidak bisa berpikir. Ditambah lagi dengan teriakan Mama di balik pintu yang semakin memberiku beban.

Kenapa juga tadi aku menuruti pikiranku yang sumbunya tidak sampai sejengkal? Andai saja tadi aku memilih diam dan bertahan saat berhadapan dengan si babang-tamvan, pasti uang puluhan juta itu sudah ada di tangan.

Perlahan aku mengangkat wajah dari bantal. Mataku langsung bertemu dengan sketsa wajah Papa yang aku bingkai di meja.

Tidak! Yang aku lakukan tadi sudah benar. Papa pasti bangga karena aku lebih memilih harga diri ketimbang lembaran uang di dalam kresek hitam itu.

Tapi Papa ... sekarang bagaimana solusinya?

Brak! Brak!

"Imooo, Mang Kirno bentar lagi datang. Mama harus gimana?"

Ckrek!

Perlahan aku membuka kunci pintu. Aku tidak mampu menatap mata Mama yang mulai memerah, jadi lebih baik menunduk saja. Membunuh pelan-pelan rasa bersalah yang sejak tadi bergumul di hati dan pikiran.

"Mo, ini gimana urusannya? Mas Neo nggak jadi ngasih kamu kasbon?"

Kembali kaki kulangkahkan ke tempat tidur. Aku terduduk lemas.

"Maaf, Ma."

Mama ikut duduk lemas di sebelahku. Wajahnya menunduk untuk melihat wajahku.

"Kamu nangis?" tanya Mama terkejut.

Tentu saja Mama terkejut. Aku sudah bercerita belum kalau aku ini sangat amat jarang sekali menangis? Apalagi di depan manusia lainnya. Aku si wajah kaku yang juga terkenal berhati kaku.

Tapi tidak hari ini. Sejak aku ribut dengan si babang-tamvan tadi, batinku terus-terusan berteriak. Belum pernah ada orang yang bisa membuatku sejengkel ini. Waktu aku kuliah saja, dosen-dosen killer di kampus, yang suka memberi tugas tanpa ampun, tidak pernah membuatku kesal. Aku menyelesaikan semua tugas itu dengan santai.

"Maaf, Imo udah ngecewain Mama. Kemarin Imo bilang Mama untuk percaya sama Imo. Ternyata ..." Wajahku kini lebih menunduk. Rasanya tak sanggup melihat wajah kecewa Mama.

Meski pelan, aku masih bisa mendengar suara desiran halus napas Mama. Aku tahu arti suara napas yang itu. Napas kecewa.

"Ya udah, Mo. Kita hadapi bareng-bareng aja. Minta maaf sama Mang Kirno. Semoga kali ini hatinya lebih legowo."

Aku kembali teringat pada batang kayu berujung paku yang ditenteng-tentengnya kemarin siang. Bulu kudukku kembali merinding. Ngeri sekali membayangkan luka yang mampu ditimbulkan oleh benda itu.

Wajahku terangkat, kembali menatap gambar Papa di atas meja. Sebutir titik air menetes di mata kananku.

Andai Papa masih hidup, aku ingin bilang sama Papa. Ternyata Papa salah. Harta yang paling berharga dan harus dijaga di dunia ini, bukan harga diri. Melainkan orang yang paling kita sayangi.

Aku sayang Mama. Dan aku tidak ingin Mama terluka. Seharusnya aku bisa menurunkan egoku demi Mama. Tinggal Mama seorang hartaku di dunia ini.

Sesak di dada semakin menekan. Tanpa sadar, kedua tanganku sudah mengalungi punggung Mama. Tangisku mengisak kencang seiring dengan kedua tanganku yang semakin mengerat di daster lusuh Mama.

Selama ini ternyata, bukan aku tidak bisa menangis. Bukan aku tidak punya air mata, seperti yang Karin bilang saat aku jatuh dari sepeda tapi masa bodoh dengan luka di kaki.

Selama ini, aku cuma bertahan. Mengunci semua rasa rapat-rapat dalam hati. Dan setelah 25 tahun, mungkin hatiku berdemo karena terlalu kenyang dengan semua rasa itu.

"Maafin Imo, Ma."

Rambutku terasa basah. Aku sedikit menengadah mencari tahu penyebabnya. Ternyata Mama. Sedang ikut nangis bersamaku.

Tuk! Tuk!

Suara dari pintu kamarku yang setengah terbuka diketuk pelan oleh Mbak Sum.

Cepat-cepat aku mengangkat wajah lalu mengusap-usap seluruh wajah dengan kaos yang melekat di badan. Pantang bagiku untuk dilihat orang lain dalam kondisi lemah seperti ini. Sedangkan Mama buru-buru membersihkan matanya dengan punggung tangan.

"Bu, ada tamu di bawah," tutur Mbak Sum sambil mesam-mesem. Mesam-mesemnya ini bikin aku dan Mama curiga.

"Kamu kenapa cengar-cengir, Sum?" tanya Ibu penasaran.

Mbak Sum memelintir rambut ikalnya dengan gaya genit. "Hehe ... ada mas ganteng yang kemarin malam."

Aku dan Mama segera saling tatap.

"Mas Neo."

"Pak Neo."

Aku dan Mama segera merapikan diri lalu bergegas turun ke bawah. Dalam hati harap-harap cemas kalau Pak Neo membawa kresek hitam beserta isinya yang tadi aku ambil di bank. Beserta permintaan maafnya. Meski kecil kemungkinannya untuk pria dengan ego besar seperti dia untuk meminta maaf padaku.

Mama menuruni tangga di depanku. Aku sengaja menempatkan diri di belakang Mama. Tentu saja karena rasa sebal. Tapi aku sadar harus sedikit menurunkan ego. Cuma sedikit. Demi Mama tersayang.

"Assalamu'alaikum, Bu Marni."

Aku ternganga di belakang Mama. Sikapnya sedikit mengejutkan. Begitu Mama menginjak lantai bawah, ia buru-buru menghampiri lalu mencium punggung tangan kanan Mama. Perasaan kemarin waktu ketemu Mama dia tidak begitu.

"Wa'alaikum salam, Mas Neo." Mama membalas sedikit kaku.

Tumben. Biasanya Mama sumringah ceria kalau ada cowok tampan berkunjung ke warung kami. Kenapa jadi ketularan virus datarku?

"Ada apa, ya?" Mama sok-sok'an berbasa-basi.

Kenapa sih nggak to-the-point saja?

Mana duitnya?

Seperti biasa, aku cuma bisa mendongkol dalam hati saja. Wajahku saja sedang berpaling sekarang. Pura-pura memperhatikan pengunjung warung lainnya yang sedang makan di meja.

"Saya mau nganterin miliknya Imo yang ketinggalan." Matanya melirik pada sebuah tas besar yang ia letakkan di atas meja kasir.

Dengan kompak, aku dan Mama mengikuti arah pandang ke tas dengan motif plaid itu.

"Itu tasnya siapa?" cetus Mama dengan mata melebar.

"Punya Imo, Bu."

"Itu bukan tas saya." Aku menjawab jujur.

"Itu tas kamu." Ia membalas tegas padaku. Tapi tidak segalak biasanya. Kali ini, ia agak melunak.

"Mo?" Mama bertanya padaku dengan isyarat mata. Aku pun membalas dengan isyarat mata.

"Ehm, maaf, Bu. Saya harus balik lagi ke kantor. Mau meeting."

"Ooh. Terima kasih, Mas Neo. Maaf lho, ngerepotin."

Meeting apaan? Palingan ketemu Pak Regi. Lalu aku teringat ceritanya Melva dan Mbak Naru. Tanpa sadar, aku tersenyum kecil. Membayangkan si babang-tamvan menjadi pengasuh balita.

Dan tanpa sadar juga, ternyata sejak tadi mata tajamnya memperhatikan sikapku. Aku kembali merapatkan bibir.

"Imo, baca WA!" Itu titahnya untukku sebelum ia akhirnya raib dari warung. Aku hanya mengangguk sekilas.

Mama yang sudah tak sabar, bergegas menghampiri tas plaid itu lalu memeriksa isinya. Dalam sekejap bola mata Mama melebar, disertai dengan mulut membentuk huruf O besar.

"Subhanallah. Duitnya banyak banget, Mo."

Sementara Mama masih memandangi isi tas dengan takjub, aku cepat-cepat merogoh ponsel di kantong celana.

MAAF

Seketika aku tersenyum. Aku memang marah dengan si babang-tamvan. Tapi bukan berarti aku tidak bisa memaafkan. Apalagi dia sudah mengantarkan uang itu sukarela.

Kembali terdengar notifikasi pesan masuk di ponsel.

'Tas itu untuk kamu'

Senyumku tambah lebar.

"Kenapa, Mo?" Suara Mama membuyarkan pikiranku.

"Nggak pa-pa." Aku mengembalikan ponsel ke dalam kantong.

"Hmmm. Mama jadi curiga liat kamu mesam-mesem gitu abis liat HP." Mama mengedikkan bahunya. Seakan senyumku tadi menakutkan.

"Urusan kerjaan," jawabku singkat lalu membalik badan.

Tapi aku tahu Mama. Jawaban seperti itu tidak akan menghilangkan rasa 'kepo'-nya. Aku jadi terpikir untuk mengganti pola kunci ponselku.

Aku mendekati tas itu, menghitung jumlah gepokan yang ada di dalamnya. Lalu memisahkan beberapa untuk urusan pribadiku dan Mama.

"Mo, jangan lupa bilang makasih sama Mas Neo." Mama menaiki tangga dengan membawa gepokan uang yang sudah disembunyikan ke dalam dasternya.

Aku hanya mengangguk cepat lalu segera menyibukkan diri dengan urusan warung. Bertanya-tanya pada Mbak Sum apakah ada yang bisa aku bantu.

Aku tidak mau repot memikirkan masalah ini di kepala. Karena otakku sedang tidak berfungsi normal.

Mbak Sum meminta bantuanku untuk membuatkan tiga es jeruk pesanan pelanggan di salah satu meja. Aku segera memilah-milih beberapa jeruk yang terlihat manis lalu memerasnya. Untuk urusan warung, tanganku sudah terbiasa bekerja dengan cekatan.

"Assalamu'alaikuuum."

Akhirnya ... suara itu. Membuatku bernapas lega. Orang yang sejak tadi membuat neuron inhibitory Mama terganggu hingga menimbulkan kecemasan berlebihan.

"Wa'alaikumussalam. Eh, Mang Kirno." Mama yang sedang turun tangga menyambutnya ramah dengan sebuah tawa kecil.

Terang saja Mama sudah bisa bersikap begitu. Sudah tidak ada lagi yang perlu dicemaskannya.

Aku mengamati Mang Kirno dari kepala hingga kaki. Dia berubah. Tattoo-tattoo di kedua lengan kekarnya sudah tak tampak lagi. Tertutupi oleh lengan panjang dari baju koko yang tengah dikenakannya, bersama sarung sebagai bawahan.

Menyadari mataku yang menatapnya aneh, Mang Kirno langsung berkomentar, "

"Jadi gimana? Uangnya ada?" tanya Mang Kirno tanpa basa-basi.

Wajah gundahnya terpampang jelas. Bulir-bulir peluh mengaliri sisi-sisi wajahnya. Sepertinya ia baru saja berlari jauh.

"Gimana, Neng?" tanyanya lagi tak sabaran.

"Tuh!" Lirikan mataku tertuju pada tas plaid di meja.

"Alhamdulillah, ya Allah. Alhamdulillah." Mang Kirno tertunduk meringkuk. Badannya membungkuk di atas lantai semen kotor ini. Aku pikir ngapain, ternyata sedang sujud syukur.

Tapi aku bersyukur si lintah darat bengis ini mau berubah. Omongan terpanjangku kemarin itu nggak sia-sia jadinya.

"Ya udah, Mang. Buruan sana ke rumah sakit. Biar Hasan segera dioperasi." Mama cepat-cepat mengusirnya.

Aku tahu kenapa Mama berbuat begitu. Karena tidak mau para pelanggan kembali lari ketakutan seperti tempo hari. Wajah pria ini terlalu mengintimidasi.

"Iya. Saya harus segera pergi." Lalu mata Mang Kirno ganti balik menatapku. "Neng Imo ... makasih."

"Hm." Aku hanya mengangguk.

"Semoga cepet dapet jodoh ya, Neng," lanjutnya lagi, membuatku terkesiap.

Tangan kanannya menjinjing tas itu.

"Aamiin." Mama menahan tawa kecilnya. Lalu berhenti saat mataku membelalak.

Kenapa juga ia harus membalas kebaikanku dengan mendo'akanku cepat nikah? Sama seperti Kakek yang aku temui di bis Trans-Jakarta waktu itu. Memangnya tampangku ketuaan sehingga terlihat mengenaskan karena masih berstatus single? Jodoh, kepikiran juga nggak pernah.

Mang Kirno berlalu sambil mengucap salam. Seiring dengan mataku yang mengekori pergerakannya keluar warung.

Uang dua juta yang sudah aku sisihkan tadi, segera aku keluarkan dari dalam laci.

"Ma, ini buat modal warung. Yang ini, buat Imo boleh ya?" Aku mengangkat uang sejuta yang masih kugenggam.

"Buat apa kamu?" Mama bertanya heran.

"Beli kemeja sama rok buat ngantor. Sisanya buat ongkos ke kantor."

Mama bersorak-sorak girang sambil melompat-lompat kecil. Aku baru sadar, mamaku ini ternyata lucu sekali tingkahnya.

Ada yang tahu kenapa Mama girang?

Karena akhirnya aku bersedia bekerja untuk Pak Neo.

Ya setelah kebaikannya tadi, nggak mungkin kan aku tetap menolak jadi bawahannya? Apalagi aku punya kewajiban untuk membayar utang-utang itu dengan tenagaku.

"Ya udah gih, sana kamu ke pasar." Mama mendorong-dorongku menuju pintu keluar.

"Nanti aja, Ma. Imo bantu-bantu Mbak Sum dulu."

"Udah, sana buruan. Urusan warung biar Mama yang ngurus." Mama masih mendorong punggungku.

Aku menarik tubuh lalu berbalik menghadap Mama yang lalu memgangkat kedua alisnya bingung.

"Kenapa Mama ngebet banget, sih?"

"Ngebet apa?"

"Imo kerja di kantor Pak Neo."

Sepasang tangan Mama kembali terengkat menggenggam erat pundakku. "Mo, Mama cuma mau yang terbaik buat kamu. Mama kenal siapa Mas Neo dan orangtuanya. Mama nggak perlu cemas mikirin siapa bos kamu, gimana kerjaan kamu, berapa gaji kamu."

Aku memandang Mama lekat. Tak pernah aku sadari, jika garis-garis keriput di wajahnya semakin tergurat jelas. Kantung matanya membesar. Pipinya semakin menirus. Bahkan warna kulit Mama yang memang kuning langsat, hari ini sedikit memucat. Terhias bulir-bulir peluh yang selalu membasahi wajahnya setiap hari. Wanita tua ini lelah.

Aku tahu Mama selalu menyimpan lelahnya sendirian. Di balik keluh-kesah yang sering ia lontarkan, tak pernah sekalipun kata 'capek' terucap olehnya.

Meskipun aku selalu dingin, tak acuh, seakan tak peduli, tapi aku tahu Mama selama ini kerap bersabar menghadapi sifat kerasku.

Aku mau Mama bahagia. Aku harus bisa buat Mama bahagia. Meskipun itu artinya aku harus menelan egoku bulat-bulat. Meskipun harus menjadi 'pembantu' untuk Pak Neo. Aku harus bisa.

"Iya, Ma. Imo tau. Pergi dulu ya, Ma. Assalamu'alaikum." Aku mengecup punggung tangannya lalu segera berlalu dari Mama.

Untuk kali ini, dan mungkin selanjutnya ... aku akan menuruti setiap permintaan Mama.

Demi Mama, apapun itu.

==========================

Pagi sekali, aku sudah tiba di kantor. Tanpa menunggu penghuni ruangan ini datang, aku langsung merapikan berkas-berkas yang masih berserak asal di atas meja. Mengelap debu-debu yang menemp dengan tisu basah. Berhubung aku tidak menemukan kain lap bermotif kotak yang bisa digunakan, dan juga OB ruangan belum tiba, aku mengorbankan beberapa helai tisu basah yang selalu aku bawa di tas.

Aku berlalu sebentar ke pantry. Bermaksud menyiapkan kopi pagi untuk si bos yang baik hati. Aku tidak mau lagi menganggapnya orang jahat. Karena memang dia sudah berbaik hati padaku.

Sepasang mataku tertuju pada sebuah mug putih susu dengan tulisan 'I'M THE BOSS' bergelantung di atas rak.

Aku menyeringai. Dasar bos narsis!

Aku gunakan mug itu untuk menyeduh kopi. Lalu otakku berpikir sejenak. Bosku ini suka kopi susu? Kopi dengan creamer? Atau kopi tubruk?

Daripada bingung, aku meraih beberapa sachet bertuliskan gula, creamer, dan susu yang tersedia di kabinet. Lalu menempatkannya di atas piring kecil. Tak lupa aku selipkan sendok kecil untuk mengaduk.

Dengan hati-hati, aku bawa mug berisi kopi panas dan pelengkapnya itu ke dalam ruangan Pak Neo.

"Pagiii."

Koclak!

"Auch!"

Kopi panas itu tumpah mengenai punggung tanganku. Aku meringis menahan panasnya yang membakar kulit.

Pak Neo yang melihat kejadian itu langsung menarik nampan yang aku bawa lalu meletakkan di atas mejanya. Dengan gerakan cepat, ia menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

"Pak! Pak! Mau apa?" teriakku berusaha berontak. Namun genggamannya sangat erat di pergelangan tanganku.

Dan disinilah aku sekarang. Berada di dalam kamar mandi dengan punggung tangan terguyur air wastafel.

"Ceroboh banget sih, kamu." Bisa-bisanya Pak Neo menyalahkan aku.

Padahal gara-gara kehadirannya yang mendadak mengejutkan itu, kopi panas itu tumpah hingga melukaiku.

"Kaget denger suara Bapak," jawabku jujur dengan mata menyorotnya tajam.

"Kenapa saya yang salah? Kamu yang nggak hati-hati." Masih saja dia bersikeras.

Sudahlah, aku diam saja. Tidak ada gunanya juga membalas keras kepalanya.

Ketika aku akan menarik tanganku, ia malah menyorotku tajam.

"Ini masih lama. Minimal 20 menit didinginkan di bawah air mengalir."

Aku mencelos, enggan melawan tatapan hipnotisnya lebih lama.

"Sudah, dikeringin dulu." Ia menarik salah satu handuk kecil yang tersimpan rapi di dalam lemari kabinet.

Handuk itu ia gunakan untuk mengeringkan tanganku yang terluka.

Aku tergelak saat menyadari kalau sejak tadi tangannya masih menempel erat di tanganku.

"Saya bisa sendiri," kataku tegas lalu menarik tanganku yang masih terbalut handuk bersih itu.

Tiba-tiba tubuhku gerah. Seperti tak tersedia cukup oksigen di ruangan kecil itu. Meskipun terdengar suara exhaust-fan menderu dari atas plafon kamar mandi. Cepat-cepat aku melangkahkan kaki keluar. Bisa-bisa kehabisan napas kalau aku terus-menerus di sana.

Bisa kudengar langkah kakinya mengekoriku. Mataku sedikit melirik ke samping, mencari tahu keberadaannya terlalu dekat atau masih berjarak. Jujur, jantungku tiba-tiba nggak normal seperti biasanya.

"Duduk di sana." Pak Neo menunjuk pada sofa panjang di pojok ruang kerjanya.

"Ngapain?" tanyaku polos.

"Sudah, duduk aja."

Aku melengos malas tapi tetap menuruti perintahnya. Meskipun dalam hati bertanya-tanya.

Tak lama ia menghampiriku dengan menjinjing sebuah kotak kayu berwarna putih. Aku tahu di dalamnya pasti berisi obat-obatan.

Ia mengambil cotton bud lalu mengoleskan sedikit salep di ujungnya. Aku menebak-nebak, ini serius dia mau mengobatiku?

"Sini, tangan kamu."

"Apa itu?" Tatapanku menunjuk pada salep yang dioleskannya ke bekas lukaku.

"Obat luka bakar." Selesai mengoles, ia meniup pelan permukaan kulit yang mulai melepuh itu. Nyeri tapi anehnya sekujur kulitku yang lain ikut merinding.

"Sudah, Pak." Aku menarik tangan karena merasa tidak nyaman.

Apa-apaan, nih? Macam adegan di drama-drama Korea. Padahal dia bukan Lee Jong-suk dan aku bukan Park Shin-hye.

Aku bisa melihat ia menghela napas saat aku bersikap antipati.

"Nih, diminum." Ia memberiku sebutir obat dan air mineral kemasan.

"Obat apa?" tanyaku was-was.

"Anti nyeri." Ia bangkit setelah menjawab. Tapi tak beranjak dari dekatku. Ia tetap berdiri di sana. Menunggu aku melaksanakan titahnya.

Daripada aku kena omelan si bibit cabe ini, lebih baik aku menurut. Memang di lapisan kulitku mulai terasa panas dan perih. Jadi sepertinya aku memang membutuhkan medikasi dari obat ini. Aku segera menenggak obat dengan kandungan parasetamol itu.

"Ya sudah, hari ini kamu istirahat aja."

"Hah?"

"Lagian percuma kamu di sini. Bisa apa dengan tangan begitu?"

Aku menunduk sedih. Omongannya memang benar. Tapi kenapa terasa menyakitkan?

"Saya tetap mau kerja," ucapku pelan.

Ia kembali membuang napas. Sepertinya terlalu lelah berdebat denganku. "Terserah kamu aja. Tapi, jangan ganggu saya."

Aku mendongak menatapnya tersinggung. Aku? Ganggu dia? Yang benar saja? Bukannya dia yang sudah mengganggu kehidupanku?

Tapi setelah bertemu mata tajamnya, aku justru kembali menunduk. Aku lupa, sudah berjanji akan bersikap baik padanya. Meskipun memang dia menyebalkan, setidaknya dia sudah membantu permasalahanku. Permasalahan Mama lebih tepatnya.

"Baik, Pak." Aku mengangguk patuh. "Tapi kalo Bapak butuh bantuan saya, bilang aja. Akan saya usahakan."

"Kenapa? Kamu merasa utang budi sama saya?"

Aku tertegun. Jengkel banget rasanya. Kenapa sih ada orang se-menyebalkan dia di bumi nusantara ini? Tapi lagi-lagi, kalimatnya tadi benar. Aku memang berutang-budi padanya.

"Karena Bapak sudah menggaji saya," kilahku akhirnya.

Ia tampak berpikir sejenak. "Hmm, benar juga. Kamu kan sudah terima gaji di muka."

"Oke. Nanti saya pikirkan tugas apa yang bisa kamu lakukan."

Aku mengangguk mengiyakan lalu segera bangkit untuk keluar dari ruangannya.

"Mau kemana kamu?"

Ke mejaku-lah. Memangnya mau kemana lagi? Minggat? Pertanyaan yang aneh.

"Kembali ke meja saya."

Dengan tatapan membunuh, ia mendekatiku. Membuat bulu kudukku meremang takut. Aku tidak tahu apa yang mau dia lakukan. Jaraknya kini sangat dekat denganku. Mana wajahnya dicondongkan mendekat. Membuat jantungku memompa darah dua kali lebih cepat.

"Duduk di sini," ucapnya perlahan namun penuh intimidasi.

"Tapi—"

"Duduk di sini."

Baiklah. Aku menuruti maunya. Cepat-cepat berjalan melewatinya untuk kembali duduk di sofa. Daripada harus bersitatap lebih lama lagi dengan wajah tampan itu. Kasihan jantungku, tersiksa.

"Terus ... saya ngapain di sini?" tanyaku datar untuk meredakan ketegangan.

"Duduk saja. Diam di situ," jawabnya sambil berlalu menuju meja kerjanya.

Oke. Tugas yang sangat mudah untukku. Tinggal duduk diam saja kan? Seperti manekin-manekin di toko. Aku sudah terbiasa dengan tugas yang seperti ini.

Membunuh waktu dengan menghitung detak-detik di kepala, seperti biasa. Untuk satu jam di awal, hiburanku cuma dering telepon di mejanya. Pemandangan Pak Neo yang sibuk bolak-balik angkat telepon yang disambungkan oleh sekretarisnya. Telepon-laptop-telepon-laptop. Cuma itu siklus kesibukannya.

Merasa bosan, mataku seliweran meneliti benda-benda di ruang kerjanya. Ada sebuah lemari berpintu kaca di seberang ruangan ini. Di dalamnya terdapat berbagai pernak-pernik, figurine, miniatur tempat-tempat wisata dunia. Tebakku pasti lemari itu isinya oleh-oleh dari luar negeri semua. Beda memang kehidupan si miskin dan si kaya. Itu realita.

Kalau aku sih, bisa jalan-jalan ke Dufan saja sudah senang. Terakhir kali ke sana waktu masih berusia delapan tahun. Diajak oleh Om Damar dan istrinya. Saat itu status sosial mereka masih tinggi dan belum bercerai. Kalau tidak dibayari, mana mungkin orangtuaku mampu membeli tiket masuknya. Orang-orang seperti kami, bahkan untuk menikmati wanawisata lokal saja tidak mampu.

Makanya aku tahu diri. Tidak pernah berani bermimpi untuk bisa jalan-jalan keluar negeri. Jangankan keluar negeri, keluar pulau saja tidak pernah. Sudah syukur pernah keluar provinsi. Itupun karena tempat kuliahku di Bogor dan tempat PKL-ku di Malang. Kalau tidak, mana mungkin aku punya kesempatan melarikan diri dari ibukota.

"Kamu kalo ngantuk, tiduran aja," lontar Pak Neo tiba-tiba, mengagetkanku dari lamunanku yang penuh keluh-kesah.

"Gimana, Pak?" tanyaku memastikan. Takutnya salah dengar omongannya tadi.

"Tiduran aja kalo ngantuk. Habis minum obat, kan?" Ia mengulang tanpa menoleh padaku. Matanya terlalu terpaku pada layar laptop.

"Saya nggak ngantuk," bohongku. Padahal daritadi aku sudah beberapa kali menahan nguap.

"Kalo ngantuk jangan ditahan. Nanti pusing."

"Saya baik-baik aja," ulangku tegas. Lagi-lagi aku teringat pesan Papa. Jangan pernah menunjukkan diri kita lemah di hadapan orang lain.

Pernyataan tegasku membuatnya akhirnya memandangku tajam. Lagi-lagi tatapan membunuh itu. Membuat nyaliku menciut saja.

"Jangan membantah. Sana, tiduran di kamar." Matanya kembali fokus ke laptop.

Kamar??? Maksudnya kamar yang ada kamar mandinya tadi? Wah, tak bisa dibiarkan. Dia mau modus? Apalagi di ruangan ini cuma kita berdua.

"Tidak, terima kasih." Aku menolak tegas. Daripada dia mengharuskan aku ke kamarnya, lebih baik ia mengijinkanku keluar dari ruangan itu. Untuk apa juga sedari pagi aku mematung di sini?

Mungkin ia sedang fokus dengan pekerjaannya sehingga malas meladeni debatku. Yang terdengar olehku hanya helaan napas lelahnya saja. Kini wajahnya kembali berhadapan dengan layar dan sama sekali tidak menggubris penolakanku.

Aku kembali melayangkan pandangan ke sekitar. Tapi fokus mataku tertuju pada pemandangan cakrawala yang menjadi latar Pak Neo. Sesekali aku melihat ada burung yang melintas. Ternyata, masih ada spesies aves yang sudi mengitari langit Jakarta yang sudah terpolusi. Pemandangan yang secara tidak sengaja membuatku melebarkan mulut. Aku tersenyum.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Pak Neo dengan tangan sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

"Langitnya bagus." Aku menjawab kaku.

Lalu seketika, ia tersenyum padaku. Senyumnya kali ini, terlihat ... manis? Aku mengalihkan pandangan kembali pada lemari suvenir. Bisa kacau pikiranku lama-lama di sini.

"Waktunya makan siang."

Alhamdulillah ya Allah. Rasanya ingin sujud syukur. Terima kasih juga pada jarum panjang yang menunjukkan angka 12 di dinding.

"Baik, Pak." Akhirnya, aku bebas bergerak. Tidak perlu lagi menjadi patung. Punggungku rasanya pegal karena terlalu lama menegakkan badan.

Aku segera berdiri lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Memutar-mutar kaki di lantai untuk melakukan peregangan. Lagi-lagi, Pak Neo tersenyum ke arahku. Membuatku menghentikan gerakan.

"Kalo gitu, saya permisi dulu."

"Mau kemana kamu?" Ia berjalan mendekatiku. Tapi aku mundur perlahan. Belajar dari pengalaman, gerak-geriknya terlalu berbahaya bagi kesehatan jantungku.

"Makan siang."

"Hm, kamu masih ingat kan tadi pagi bilang apa?" Ia menghentikan langkahnya. Untungnya jarak kami masih terbilang jauh. Lebih dari semeter.

"Eh? Yang mana?"

"Kalo saya butuh bantuan, saya tinggal bilang kan?"

Aku mengangguk sekaligus menatapnya curiga.

"Sekarang saya butuh bantuan kamu."

"Bantuan apa, Pak?" tanyaku mendelik curiga. Entah kenapa tiba-tiba otakku memikirkan yang aneh-aneh.

"Ikut saya." Tanpa mau menjawab, Pak Neo dengan santainya meninggalkan ruangan. Membuatku kembali berpikiran yang tidak-tidak. Sepertinya aku harus jaga-jaga.

Aku meraih ponsel di tas lalu mengetik sebuah pesan untuk Resta.

Ta, kalo dlm setengah jam gue nggak ngasih kbr, lo kasitau Mama kalo gue dlm bahaya di tangan Pak Neo.

==================================

avataravatar
Next chapter